Ketika memasuki jenjang pernikahan, kebersamaan dengan pasangan adalah dambaan setiap manusia. Siang dan malam ingin selalu dilewati bersama. Senang ataupun susah tidak rela untuk berpisah. Bahkan tidak jarang sebuah keluarga rela hidup susah, asal tetap bisa berkumpul bersama keluarga. Istilah orang Jawa, “mangan ora mangan seng penting kumpul.”

Namun takdir siapa yang bisa memilih. Tidak jarang pasangan suami isteri dihadapkan pada persoalan yang membuat mereka harus menjalin hubungan secara terpisah, entah hal itu disebabkan karena sebuah pekerjaan ataupun karena ada tugas yang mengharuskannya untuk meninggalkan keluarga di rumah. Baik perpisahan itu dalam jangka relatif pendek ataupun perpisahan dalam jangka panjang. Berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

Dalam posisi seperti ini, seorang istri dituntut lebih tegar dan lebih sabar dari pada biasanya. Karena sebagai makmum dalam keluarga, dia terpisah jarak dengan imam yang sedianya selalu membimbingnya. Istri harus pandai menjaga diri, menjaga keluarga, menjaga kehormatan suami, serta menjaga semua harta yang ditinggalkan suami. Bila tidak, maka berbagai godaan bisa mengancam dan mencabik-cabik keimanan serta kehormatan seorang istri.

Maka, ketika hubungan jarak jauh terpaksa menjadi satu-satunya pilihan buat suami dan istri, Islam telah memberikan tuntunan terutama kepada istri selama ditinggal suaminya. Allah berfirman didalam al-Quran:

فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ

Artinya: “Maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” QS. An-Nisa’ [4]: 34

Dalam ayat ini, Allah telah menjelaskan diantara sifat-sifat wanita shalihah. Seorang wanita shalihah adalah mereka yang menjaga kehormatan diri terutama jika sang suami tidak ada. Seorang istri wajib menjaga kehormatan diri dari segala keburukan, terutama keburukan zina.

Sebagai langkah preventif agar tidak terjerumus dalam zina, agama telah mengatur agar para istri  dilarang berhias berlebihan saat keluar rumah. Baik karena ada tujuan penting, apalagi untuk tujuan yang tidak terlalu penting. Lebih-lebih ketika akan keluar di malam hari.

Ketika suami tidak ada, seorang istri hendaklah meminta izin pada suami saat ia hendak bepergian dari rumah. Dalam hadits riwayat al-Bazzar, seorang wanita datang dan bertanya kepada Rasulullah mengenai apa hak seorang suami atas istrinya, Rasulullah menjawab, “Haknya adalah istri tidak keluar rumah kecuali atas izinnya. Kalau istrinya nekat keluar juga, maka malaikat langit, malaikat kasih sayang dan malaikat azab akan melaknatnya sampai dia pulang.”

Kewajiban meminta izin pada suami tentu bukan izin setiap detik dan setiap saat dia keluar rumah. Tentu hal ini bukan hanya menyulitkan istri, melainkan juga menyulitkan pada suami. Jika istri keluar rumah karena rutinitas yang sudah dimaklumi, dan suami memang sudah mengizinkannya, maka ia tidak perlu meminta izin pada suaminya setiap waktu.

Apabila setiap hari istri rutin berangkat bekerja di mana suaminya sudah mengetahui jam kerja istri dan ridha atas rutinitas itu, maka istri tak perlu meminta izin setiap hari untuk berangkat kerja. Sebab isteri sudah mengantongi izin dari suami berupa ‘boleh ke pasar atau berangkat kerja setiap pagi’, misalnya.

Selain itu, seorang istri yang suaminya sedang tidak ada dirumah, dilarang untuk menerima tamu laki-laki kecuali tamu tersebut keluarga atau mahramnya sendiri, dan suami memaklumi serta meridhai. Hal ini sebagaimana hadis riwayat Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sunah padahal suaminya bersamanya, kecuali jika suaminya mengizinkan. Dan janganlah wanita itu mengizinkan seseorang masuk ke rumahnya kecuali atas izin suaminya juga.”HR. Bukhari Muslim

Di dalam sebuah kisah, suatu hari Sayidah Fatimah bertanya kepada Rasulullah, “Siapakah perempuan pertama yang memasuki surga setelah Ummahatul Mukminin istri-istri Nabi?” Rasulullah menjawab: “Wahai Fatimah, jika engkau ingin mengetahui perempuan pertama yang masuk surga setelah Ummahatul Mukminin, ia adalah Ummu Mutiah”.

Mendengar jawaban Rasulullah, Sayidah Fatimah penasaran dan mencari tahu amalan apa yang dilakukan Ummu Mutiah hingga membuatnya mendapatkan anugerah yang luar biasa itu. Untuk memenuhi rasa penasaran tersebut, Sayidah Fatimah berkunjung ke rumah Ummu Mutiah di pinggiran Madinah.

Keesokan harinya, Fatimah pamit kepada suaminya mengunjungi kediaman Mutiah. Dia mengajak putranya Hasan. Setelah mengetuk pintu, memberi salam, terdengar suara dari dalam rumah. “Siapa di luar?” tanya Mutiah. Fatimah menjawab, “Saya Fatimah, putri Rasulullah.”

Mutiah belum mau membuka pintu, malah balik bertanya, “Ada keperluan apa?” Fatimah menjawab, ingin bersilaturahim saja. Dari dalam rumah Mutiah kembali bertanya, “Anda seorang diri atau bersama yang lain?”

“Saya bersama Hasan, putra saya,” jawab Fatimah dengan sabar. “Maaf, Fatimah,” kata Mutiah, “Saya belum mendapat izin dari suami untuk menerima tamu laki-laki.”

“Tetapi Hasan anak-anak,” balas Fatimah. “Walaupun anak-anak, dia lelaki juga. Besok saja kembali lagi setelah saya mendapat izin dari suami saya,” timpal Mutiah. Fatimah tidak bisa menolak. Setelah mengucapkan salam ia bersama Hasan meninggalkan kediaman Mutiah.

Keesokan harinya, Sayidah Fatimah datang lagi ke rumah Mutiah. Selain membawa Hasan, dia juga membawa Husain. Dan lagi-lagi Mutiah hanya mempersilahkan Sayidah Fatimah dan putranya Hasan. “Maaf, saya belum memintakan izin untuk Husain,” Mutiha menjelaskan.

Hingga akhirnya Sayidah Fatimah mengerti kesempurnaan akhlak Mutiah dalam menjaga amanah suaminya. Jangankan orang biasa, putri Rasulullah saja tidak bisa dengan mudah datang bertamu. Jangankan laki-laki dewasa, anak kecil seperti Sayidina Hasan dan Husain saja tidak mendapatkan izin masuk rumahnya.

Maka wahai para muslimah shalihah, tetaplah tangguh saat engkau bersama suami ataupun saat engkau sendiri. Semoga Allah senantiasa menjaga kita semua. Amin.

Spread the love