Ada ulama yang menyatakan bahwa berita palsu merupakan kejahatan yang mirip dengan kekafiran, sebab inti dari kekafiran adalah dusta, yakni kedustaan dalam masalah ketuhanan dan pokok-pokok akidah. Oleh karena itu, terlalu banyak dalil yang mesti diurai untuk menjelaskan betapa Islam itu sangat menjunjung tinggi kejujuran dan sangat membenci kedustakaan. Hal itu, karena kejujuran adalah pondasi utama dari kebenaran, sedangan kedustaan merupakan unsur utama dalam kekafiran.
Karena itulah, ketika para ulama kita merumuskan tentang sifat wajib para Rasul, maka semuanya merujuk kepada kejujuran, baik secara langsung maupun tidak langsung. Shidq adalah kejujuran atau kebenaran dalam perkataan. Amânah adalah kejujuran dan kebenaran dalam tindakan. Fathânah adalah kebenaran dan kecerdasan dalam memahami masalah dan berargumentasi. Tablîgh adalah tanggung jawab dalam menyampaikan amanat ajaran, tanpa ada satupun yang disembunyikan. Semua sifat itu intinya adalah merujuk kepada kejujuran sebagai pondasi kebenaran.
Dalam al-Quran tentu sangat banyak kecaman terhadap kedustaan. Pada intinya ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa kedustaan merupakan sifat utama orang kafir, orang munafik, dan orang fasik. Mari kita simak sekelumit saja tentang beberapa konteks kedustaan dan berita palsu yang dikecam dalam al-Quran.
Pertama, berita palsu yang dibuatbuat oleh kaum Yahudi mengenai tuduhan zina terhadap Sayidah Maryam. Allah berfirman:
وَبِكُفْرِهِمْ وَقَوْلِهِمْ عَلَى مَرْيَمَ بُهْتَانًا عَظِيمًا
“Dan karena kekafiran mereka (terhadap Isa), dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan besar (tuduhan zina).” (QS an-Nisa’ [4]: 156)
Kedua, berita palsu yang dibuat oleh orang-orang munafik, menuduh Sayidah Aisyah berselingkuh dengan Shafwan bin Muatthal. Allah berfirman:
وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
“Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.” (QS an-Nur [24]: 16)
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS al-Ahzab [33]: 58)
Ketiga, larangan membuat atau menyebarkan berita palsu yang diikrarkan oleh Rasulullah r kepada kaum Muslimah yang baru masuk Islam. Ikrar ini dikenal dengan Bai’atun-Nisâ’, sebagaimana disebutkan dalam QS al-Mumtahanah: 12.
Keempat, tuduhan pencurian yang dilakukan oleh Thu’mah bin Ubairiq kepada seorang Yahudi, padahal yang melakukan pencurian itu adalah Thu’mah sendiri. Allah berfirman:
وَمَنْ يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan barang siapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS an-Nisâ’ [4]: 112)
Kelima, berita palsu dalam perceraian dan masalah rumah tangga. Allah berfirman (terjemahnya): “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun.” (QS an-Nisâ’ [4]: 20)
Keenam, berita palsu dalam konteks politik dan militer. Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya”. (QS al-Hujurat [49]: 6)
Ayat ini turun ketika Nabi berencana menyerang Bani Mushtaliq, karena menurut informasi yang disampaikan oleh Walid bin Uqbah mereka menolak untuk patuh kepada pemerintahan Madinah. Walid diutus oleh Nabi untuk mengumpulkan zakat dan menjadi petugas pemerintah di sana. Saat Walid datang, orang Bani Mushtaliq berkumpul untuk menyambutnya, tapi Walid salah paham. Dia mengira bahwa mereka menghadangnya. Sehingga, dia pulang ke Madinah dan menyampaikan informasi yang salah kepada Nabi.
Menurut Imam ar-Razi, meskipun turun pasca peristiwa Bani Mushtaliq, bukan berarti ayat ini ditujukan untuk kejadian tersebut, baik secara khusus maupun secara umum. Ayat ini adalah panduan umum untuk segenap kaum Muslimin yang kebetulan diturunkan pasca kejadian Bani Mushtaliq. Intinya agar kaum muslimin senantiasa melakukan tabayyun dan tatsabbut (meneliti dengan hati-hati) ketika mendapat berita dari sumber yang tidak meyakinkan. Jangan terburu-buru menyimpulkan atau berburuk sangka sebelum benar-benar mendapatkan bukti yang sangat kuat.
Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’ Ulûmiddîn menyatakan bahwa prasangka buruk (suuzan) kepada sesama Muslim termasuk bagian dari berita palsu. Buruk sangka tanpa bukti yang kuat merupakan kedustaaan yang dihembuskan oleh rajanya orang-orang fasik, yakni setan. Oleh karena itu, jika seseorang memelihara prasangka buruk tanpa didasari bukti-bukti yang kuat, maka sama halnya dengan percaya kepada isu-isu liar yang dihembuskan oleh orang-orang bejat. Rasulullah bersabda:
إيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الحَدِيْثِ
“Hindarilah prasangka (yang buruk), karena prasangka (yang buruk) merupakan ucapan yang paling dusta.” (HR al-Bukhari)
Syekh Abu Said a-Khadimi dalam Barîqah Mahmûdiyah menyebutkan:
أَسْوَأُ النَّاسِ حَالًا مَنْ لَا يَثِقُ بِأَحَدٍ لِسُوْءِ ظَنِّهِ وَلَا يَثِقُ بِهِ أَحَدٌ لِسُوْءِ فِعْلِهِ
“Yang paling buruk adalah orang yang tidak percaya kepada orang lain karena prasangkanya buruk; dan tidak dipercaya oleh orang lain karena perbuatannya juga buruk.”
Setidaknya, ada dua tuntunan yang bisa disimpulkan dari ayat-ayat di atas dalam menyikapi isu-isu yang muncul dari sumber yang tidak jelas kebenarannya. Yang pertama adalah tabayyun seperti disebut dalam Surat al-Hujurat: 6. Yang kedua, jangan sampai ikut-ikutan menyebarkan isu yang belum jelas kebenarannya—seperti ditegaskan dalam Surat an-Nur: 16.
Baca juga: Benang Kusut Polemik Cadar
Selanjutnya dalam QS al-Hujurat: 12, Allah berpesan agar orang-orang yang beriman menjauhi prasangka-prasangka, jangan suka mencari-cari kesalahan orang lain, dan jangan gemar membicarakan kekurangan, kesalahan serta aib orang lain. Sungguh, pesan-pesan al-Quran ini merupakan panduan yang sangatlah sempurna untuk menangkal isu-isu murahan yang berpotensi besar memecah belah umat dan bangsa, seperti yang terjadi di masa kita saat ini!
Ahmad Dairobi/sidogiri
Baca juga: Ayat dan Hadis tentang Kebersihan
Baca juga: Terbelahnya Bulan