Suatu ketika, Muhammad bin Abid berjalan di pinggiran kota Bashrah. Tiba-tiba, tidak terlalu jauh darinya melintas seorang pemuda membawa wadah yang biasa dibawa untuk perbekalan musafir. Saat itu, pemuda tersebut berkata, “Demi Allah, aku akan diambil.” Muhammad pun menengoknya, dan dia terkejut melihat pemuda tersebut ditelan bumi, dan tersisa wadah yang ia bawa.
Melihat kejadian tersebut, Muhammad bin Abid terheranheran. Ia duduk dengan penuh tanda tanya, kenapa pemuda tersebut mengalami hal seperti itu? Di tengah kekalutan pikir tersebut, datanglah seorang lekaki tua dengan mata terbalut kain. Ia mengucapkan salam dan bertanya, “Apakah ada pemuda yang lewat dengan membawa wadah perbekalan?”
Muhammad bin Abid menjawab, ya, kemudian menceritakan hal yang ia saksikan perihal pemuda dimaksud. Lelaki tua itu berkata, “Inna lillahi wainna ilaihi raji’un.” Kemudian ia berkata, “Demi Allah, itu adalah anak saya. Dia telah membantahku dalam satu urusan dan memukul mataku. Aku pun berkata, ‘Allah tidak akan mengeluarkanmu dari daerah Bashrah, atau menenggelamkanmu ke bumi.’ Ia pun mengambil perbekalan itu lalu pergi.”
Kisah nyata ini ditulis oleh Ibnul-Jauziy dalam Tadzkirah Ulil Basha’ir-nya, tentang pengalaman yang diceritakan oleh Muhammad bin Abid.
***
Kehadiran anak dalam sebuah keluarga adalah bagian dari kebahagiaan sempurna. Ketika menikah menjadi sebuah pilihan maka anak adalah bagian terpenting yang ditunggu. Rasa kasih sayang dan kenikmatan berhubungan intim setelah menikah merupakan dorongan atas kehadiran buah hati di tengah mereka. Disebut buah hati, karena hati simbol rasa cinta dan sayang, sementara anak lahir lantaran ada cinta dari suami-istri.
Jika dilihat secara lahir, kehadiran anak terbilang menyulitkan karena menyita banyak waktu atau bahkan terbilang menyusahkan. Terkadang, orang tua tidak tidur semalaman, hanya lantaran sang anak sakit. Rasa susah pun dirasakan orang tua. Semakin bertambah usia anak, semakin berat beban yang diderita orang tua. Sebuah rasa yang tidak pernah dirasakan saat masih sendiri.
Akan tetapi, meski secara lahir terlihat demikian, orang tua tetap merasa bahagia merawat hingga sang anak tumbuh dewasa. Senyum anak adalah kebahagiaan orang tua, sementara susah anak adalah petaka bagi mereka. Terkadang, setelah menikah pun, orang tua masih memikirkan nasibnya. Semuanya, dilakukan tanpa mengharap imbalan sepeser pun. “Bagaikan surya menyinari dunia”, begitu lagu anak-anak menyebutkan
Sebab itulah, kenapa anak berkewajiban menghormati dua orang tuanya. Durhaka kepada mereka, merupakan tindakan dosa besar. Bukan hanya lantaran tidak tahu balas budi, tetapi karena merupakan bentuk penghianatan terbesar atas kasih-sayang yang telah diberikan oleh mereka, bahkan memutus harapan orang tua yang tumbuh sejak sebelum lahir.
Sebagai gambaran dari itu, setelah perintah berbuat baik kepada dua orang tua, al-Qur’an menyebut perjuangan seorang ibu saat mengandung hingga melahirkan. Setelahnya, ada perintah bersyukur atas kasih sayang mereka: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibubapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman: 14)
Dalam al-Quran, kita banyak mendapati perintah Allah untuk berbuat baik kepada dua orang tua. Bukan dalam satu atau dua surah, melainkan ada beberapa dalam Surah Al Quran, di antaranya ayat di atas. Seolah mememberi gambaran, akan ada banyak anak yang durhaka kepada orang tuanya. Kenyataannya, dari dulu hingga saat ini sudah banyak kisah dan kasus tentang anak durhaka kepada orang tuanya, sebagaimana kisah di atas.
Setiap negara pasti memiliki kisah balasan Allah terhadap anak durhaka. Termasuk di Indonesia dengan kisah populer adalah Maling Kundang; seorang anak yang dikutuk oleh ibunya menjadi batu. Terlepas itu mitos atau legenda, cerita itu memberi gambaran betapa dahsyat doa buruk dari orang tua terhadap anaknya.
Dari beberapa kisah anak durhaka, ibu lebih populer dibanding dengan ayah. Ini lantaran, dalam hal mengasuh anak, ibu adalah manusia paling susah dan payah. Sembilan bulan ia mengandung, melahirkan dengan penuh perjuangan dan nyawa menjadi taruhannya, menyusui setidaknya hingga dua tahun, menggendong saat rewel, hingga harus kehilangan wajah cantik yang sangat ia jaga saat sebelum punya anak.
Dari itulah, ketika Rasulullah ditanya oleh seorang shahabat mengenai orang yang wajib dihormati, beliau menjawab “Ibumu”. Jawaban itu beliau ulangi hingga tiga kali, barulah beliau menjawab “Ayahmu”. Sebuah gambaran, betapa kedudukan ibu berada di tiga tingkat di atas ayah. Seorang ibu ketika disakiti dan didurhakai, tidak heran jika demikian dahsyat akibatnya.
Soal kedahsyatan doa orang tua, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis, “Tiga macam golongan yang doanya mustajab dan tidak diragukan lagi kedahsyatannya, yakni doa orang tua kepada anaknya, doa musafir (orang yang sedang berpergian), dan orang yang dizalimi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Semua orang tua pasti menginginkan anaknya sukses dan bahagia. Doa adalah bagian dari ikhtiar yang paling dahsyat untuk mewujudkan keinginan itu. Akan tetapi, bukan hanya doa kebaikan saja yang terbilang dahsyat, doa buruk pada anaknya bahkan lebih dahsyat. Terkadang, bersifat kontan, terkabulkan seketika itu.
Kenapa demikian? Ketika orang tua didurhakai, dua golongan dari tiga macam golongan di atas menyatu padanya; orang tua dan terzalimi, sehingga doa yang diucapkan melesat demikian cepat. Terlebih itu jika doa itu diucapkan oleh seorang ibu dengan tiga kali kekuatan dibanding ayah. Makanya, kita mendengar beberapa kisah tentang anak durhaka pada ibunya, demikian kontan tertimpa musibah padanya.
Doa buruk yang bisa menjadi kutukan bagi anak ini bukan berarti sebagai anak harus menghindar dan mewaspadai. Hal itu tak lebih merupakan kemurkaan Allah, sebagai balasan atas kezaliman anak pada orang tua saat mendurhakai mereka. Allah murka, karena sang anak tidak bisa membalas jasa dan kasih sayang yang telah diberikan.
Oleh karena itu, keberadaan orang tua jangan dipandang sebagai beban hidup, karena orang tua kita tidak pernah menjadikan kita sebagai beban hidup mereka. Justru kita harus bersyukur, karena mereka adalah jimat kebahagiaan melalui doa yang dipanjatkan. Semoga kita tercatat sebagai anak yang berbakti. Amin.
M. Masyhuri Mochtar/sidogiri