Dibandingkan dengan kabupaten Lumajang, Banyuwangi dan Bondowoso, Jember merupakan sebuah kabupaten yang bisa terbilang baru diresmikan. Meski demikian, Jember termasuk daerah yang cukup pesat perkembangannya, baik dari aspek ekonomi, pendidikan, budaya, politik D dan berbagai aktifi tas sosial lainnya. Bahkan, Jember termasuk daerah yang relatif paling banyak pendidikan formalnya, mulai setingkat MI/SD sampai setingkat perguruan tinggi, negeri dan swasta. Karenanya, selain mendapatkan julukan kota Suwarsuwir, kota karnaval, kota seribu bukit, dan kota tembakau, Jember juga dikenal dengan kota pendidikan.

Masjid Jamik al-Baitul Amin Jember adalah suatu masjid yang terletak di jantung kota Jember, terdiri dari dua bangunan masjid, yang dipisahkan oleh jalan protokol jurusan JemberSurabaya.

Bangunan masjid lama di bangun sejak zaman kolonial Belanda dahulu, di sebelah selatan jalan raya protokol Jember–Surabaya, di atas sebidang tanah Eigendom Verpoding No 981 tanggal 19 Desember 1894, seluas 2.760 meter persegi. Tidak diketahui siapa yang membangun masjid ini dan kapan mulai dibangun pertama kali. Hanya ada catatan bahwa masjid ini pernah mengalami renovasi pada tahun 1939 (sebelum perang dunia II).

Bangunan masjid yang baru dibangun dan diresmikan pada tanggal 3 Mei 1976 oleh Menteri Agama RI, Prof. KH. Mukti Ali. Bangunan yang baru ini terletak di atas tanah wakaf seluas 9.600 meter persegi, meliputi 7 (tujuh) buah kopel/kubah dalam bentuk bundar.

Pada sekitar tahun 1970-an, sejalan dengan perkembangan kota Jember, Masjid Jamik Jember tidak mampu lagi menampung banyaknya jamaah yang semakin bertambah setiap tahun. Hal ini dapat dilihat pada setiap pelaksanaan shalat Jumat. Jamaahnya meluber memenuhi Jl. Kartini yang terletak di sebelah timur Masjid Jamik. Bupati Jember yang waktu itu dijabat oleh Bapak Letkol H. Abdul Hadi, menjadi jamaah shalat Jumat yang selalu bertempat di bawah pohon asam di sebelah timur Jl. Kartini (sebelah barat alun-alun Jember). Hal ini menyebabkan timbulnya gagasan Bupati, yakni perlunya segera memperluas dan membangun Masjid Jamik Jember agar tidak menggangu pejalan kaki di jalan Kartini dan jamaah shalat Jumat tidak lagi kepanasan.

Menurut Y. Setiyo Hadi, keberadaan masjid di wilayah Jember telah terinput dalam peta sejak 1922, sehingga keberadaan Masjid Jamik Jember (lama) al-Baitul Amin sudah barang tentu berdiri jauh sebelum tahun 1922. Dan keberadaan masjid ini berada pada titik 0 kota/ Kabupaten Jember. Masjid Jamik yang lama diorientasikan menjadi induk dari semua masjid yang berada di Jember. Sebagaimana dalam laporan koran yang berbahasa Belanda yang dijabarkan dalam tulisan Y. Setiyo Hadi tersebut. Namun sampai saat ini, belum ditemukan dokumen yang agak lengkap tentang sejarah Masjid Jamik (lama) al-Baitul Amin Jember. Sehingga dalam proses perkembangannya, satu-satunya dokumen lengkap adalah catatan yang pernah dibuat oleh H. Moch. Ichsan, BA., itupun hanya terkait dengan proses berdiri dan perkembangan Masjid Jamik al-Baitul Amin yang baru. Walaupun demikian, untuk tetap merawat dan menjaga peninggalan sejarah umat Muslim yang sangat berharga tersebut, Masjid Jamik yang lama tetap dirawat dan tetap ditempati pelaksanaan shalat, khususnya shalat Dhuha, shalat Dzuhur dan shalat Ashar secara berjamaah oleh peserta didik SD al-Baitul Amin full day schooll. Bahkan khusus malam bulan Ramadan, Masjid Jamik yang lama tetap dipergunakan sebagai tempat qiyâmul-lail (shalat malam) dan i’tikaf oleh masyarakat Muslim Jember, sebab Masjid Jamik yang baru tidak mampu menampung banyaknya jamaah yang ikut menghidupkan qiyâmul-lail di bulan Ramadan, khususnya pada malam tanggal 21, 23, 25, 27 dan 29 Ramadan.

Sebenarnya, menurut keterangan H. M. Hasin Syafrawi, para kiai tidak berkenan untuk mendirikan atau membangun masjid baru, dikhawatirkan menghilangkan jariyah orang-orang terdahulu yang telah membangun Masjid Jamik yang lama. Namun demikian, KH. Ahmad Shiddiq, tampil memberikan rasionalisasi dan memberikan persetujuan untuk membangun masjid baru dengan catatan tidak membongkar masjid lama dan membangun masjid baru di seberang jalan, dengan catatan dibuatkan jembatan sebagai penghubung jamaah dari masjid baru ke masjid lama, sehingga rasionalisasi tersebut disetujui oleh para ulama dan pejabat di Jember. Bukan hanya itu, yang memberikan nama “Masjid Jamik al-Baitul Amin” Jember adalah KH. Ahmad Shiddiq, sebagaimana keterangan H. M. Hasien Syafrawi yang merupakan salah satu santri KH. Ahmad Shiddiq yang kini tercatat sebagai ketua umum Yayasan Masjid Jamik al-Baitul Amin Jember.

Selain gagasan untuk memiliki masjid yang representatif untuk umat Muslim Jember, tentu saja keberadaan masjid yang dibangun oleh para kiai dan umara (pemerintah) Jember ini bertujuan agar masjid ini juga dapat membina moral, akhlak dan perilaku umat Muslim Jember.

Dalam sejarah peradaban umat Islam, setidaknya ada beberapa masjid penting yang menjadi pusat peribadatan, pusat pendidikan dan berbagai kegiatan positif lainnya. Di Arab, kita mengenal tentang Masjid al-Haram Makkah dan Masjid Nabawi Madinah yang setiap harinya selalu padat dengan umat Muslim yang melaksanakan ibadah. Tidak kalah menarik pula, Masjid al-Azhar Mesir. Masjid al-Haram Mekkah dan Masjid Nabawi Madinah tidak hanya sebagai pusat kegiatan ibadah, akan tetapi dari dua masjid itu pula lahir banyak ilmuan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk para ulama nusantara. Begitu juga dengan al-Azhar yang telah melahirkan banyak ulama untuk dunia. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan hal itu, maka Masjid Jamik al-Baitul Amin menyediakan lembaga pendidikan mulai dari TPA, TPQ, PAUD, TK, SD dan SMP dan berbagai kegiatan pelatihan dan pendidikan untuk masyarakat Jember dan sekitarnya. Tentu saja, Masjid Jamik al-Baitul Amin masih berusaha keras untuk mewujudkan lembaga pendidikan setingkat MA/SMA sampai perguruan tinggi seperti yang ditorehkan oleh tiga masjid bersejarah tersebut.

Ali Wafa Yasin/sidogiri

Spread the love