Dalam dua bulan terakhir, kita menyaksikan dua fenomena ilmiah keagamaan yang sungguh suram. Pertama, ketika seorang ustaz menyampaikan ceramah kepada jamaahnya, menjelaskan tentang salib dalam perspektif agama Islam. Ketika penjelasan ustaz tersebut viral, sebagian dari orang Islam malah mem-bully beliau, mencaci-maki, bahkan melaporkannya ke polisi. Padahal, memberikan penjelasan keagamaan oleh seorang ahli agama kepada umatnya adalah suatu keniscayaan, dan karena itu ini merupakan hak asasi bagi setiap umat beragama.
Peristiwa kedua adalah ketika sebuah Universitas Islam Negeri (UIN) meluluskan disertasi doktoral seorang mahasiswa, berisi teori yang membolehkan perzinahan. Tentu saja disertasi itu mendapat penolakan keras dari umat Islam di Indonesia, sebab jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang sudah paten, berupa larangan berzina. Akan tetapi naif, ternyata sebagian kecil umat Islam yang berpemikiran liberal, malah tidak senang dengan penolakan dari mayoritas umat, bahkan penolakan dari MUI, atas nama kajian ilmiah.
Baca Juga: Apakah Nabi Pernah Sesat?
Dari dua fenomena di atas, setidak-nya kita bisa melihat ada problem yang sangat serius terjadi pada diri umat. Pertama, problem ketidak-tahuan atau kebodohan pada ajaran agama mereka sendiri. Problem ini menjangkiti begitu banyak umat Islam awam, atau kelas abangan, atau siapapun yang tidak pernah mengenyam pendidikan agama Islam dengan semestinya, bahkan mungkin mereka tak mengenal agama Islam selain kulit luarnya saja. Karena itu, mereka tidak bisa membedakan mana yang merupakan penjelasan keagamaan, dan mana yang merupakan ujaran kebencian.
Jika ustaz yang menjelaskan tentang salib kepada umat dianggap sebagai ujaran kebencian, maka setiap orang yang membaca al-Quran pasti akan terkena delik ujaran kebencian. Karena, misalnya, al-Quran menyebut berhala-berhala yang disembah kaum pagan sebagai setan-setan. Dalam al-Quran surah Maryam 44, misalnya: “Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah”. Apakah dengan begitu, umat penyembah berhala di Indonesia bisa melaporkan semua umat Islam ke polisi?
Namun, yang lebih parah dari problem kebodohan di atas adalah problem kesesatan ilmiah, sebagaimana terjadi pada kasus kedua. Karena dalam Islam, dalil haramnya perzinahan termasuk dalam kategori qath’iyyat (bukan zhanniyyât) sehingga bukan merupakan objek ijtihad. Itu sebabnya, hukum haramnya perzinahan adalah sesuatu yang sudah paten (tsawâbit), sehingga tak bisa berubah sampai kapanpun. Karena itu, dalam sepanjang sejarah, tak pernah ada mujtahid yang berijtihad dalam soal ini, sebab memang sudah bukan objek ijtihad.
Baca Juga: Menepis Hujah Sesat Wahabi
Bahkan, dalam Islam, status perzinahan termasuk dalam kategori al-ma‘lûm minaddîn bidh-dharûrah (pengetahuan agama yang aksiomatis), sehingga semua umat Islam bahkan yang paling awam sekalipun tahu bahwa agama melarangnya, dan hukumnya haram. Karena itu barangkali sebagian dari kita ada yang heran dan bertanya, lalu kenapa justru ada mahasiswa berpendidikan yang malah berijtihad tentang itu, lalu melegalkannya? Nah, inilah yang kita sebut dengan “kesesatan ilmiah”. Dia bukannya tidak tahu status hukum perzinahan menurut Islam, namun akalnya telah dikerangkeng oleh hawa nafsunya, sehingga Allah menyesatkan dia dalam keadaan tahu.
Tak ada kesesatan ilmiah yang lebih berbahaya ketimbang kesesatan ilmiah yang melembaga di suatu institusi pendidikan, karena dengan demikian, lembaga itu akan terus memproduksi pikiran-pikiran sesat atas nama ilmu pengetahuan.
Moh. Achyat Ahmad/sidogiri