Seiring perkembangan teknologi, masyarakat mulai menggandrungi ngaji daring melalui Youtube dan sosial media. Kebutuhan ilmu agama yang mendesak serta pentingnya sanad, membuat pengajian daring seperti buah simalakama. Seperti apa pandangan Kiai Bahauddin Nur Salim, yang biasa dikenal Gus Baha’, Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA (Lembaga Pembinaan, Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Al-Quran), Narukan Kragan Rembang Jawa Tengah, mengenai hal itu? Berikut hasil wawancara N. Shalihin Damiri dari Sidogiri Media dengan beliau di kediamannya.
Melihat fenomena ngaji online.
Jadi intinya begini, kita tahunya—sebagai ulama, kiai, mubalig, penyampai ajaran Rasulullah—itu al-i’lam; memaklumatkan bahwa Allah itu Kuasa, Esa, Sempurna, bahwa syariatullah itu harus jadi ajaran secara masif, sebagai rahmatan lil alamin.
Lalu dari kata i’lam itu terjadi hukum fikih yaitu wujubut-tabligh (kewajiban menyampaikan). Kemudian, beberapa kiai memakai metode ngaji bandongan, pidato, macem-macem. Dalam konteks online, itu sebenarnya kita tidak perlu memakai istilah baru. Karena itu bagian dari tabligh, penyampaian.
Kita harus membiasakan sesuatu yang modern tidak selalu dikaitkan dengan sesuatu yang baku. Jadi misalnya menyangkut online, itu (apakah termasuk) min shiyaghi tabligh, min wasaili tabligh, atau min wasaili khairi ila ummah? Sehingga kita tidak apriori terhadap sesuatu yang modern atau tidak. Karena yang benar itu adalah yang dikatakan Allah dan Rasul-Nya. Sehingga jika ada hal baru seperti ngaji secara online, (tak perlu bertanya) ‘ini masuk apa?’
Baca Juga: Pendidikan Untuk Indonesia Beradil Dan Beradab Solusi
Kan ada sanad dalam mengaji?
Sanad itu, kan, ada kelas-kelasnya. Kalau sanad untuk menjadi mufti, kiai, guru ngaji, ya aturannya lebih detail. Ada sanad dengan makna umum. Itu ibarat fatwa. Fatwa tentang sesuatu yang njelimet, itu (aturannya) detail. Kalau fatwa hal yang lazim, ya semua orang harus ngomong bahwa zina itu haram, nyolong haram. Kalau ndak boleh ngomong, malah kita membatasi agama, karena yang boleh bicara hanya ulama saja. (Akhirnya) kebaikan tidak menjadi ‘ammah. Ngaji online juga begitu.
Memakai kaidah, الميسور لا يسقط بالمعسور.Kalau mereka mudahnya mengaji begitu, ya silakan. Juga kaidah ما لا يدرك كله لا يترك جله. Kalau sanad (untuk) ‘jadi mufti, kiai’, ya harus mulazamah, mubasyarah.
Kata Rasulullah, umat ini dijaga oleh Allah. Nabi juga berkata, ‘umatku tak akan sepakat dalam kesesatan’. Sehingga fenomenanya luar biasa. Ada ustaz/kiai yang terkenal, kemudian tersangkut hal-hal yang buruk. Itu yang jatuh kiainya bukan ajarannya. Kenapa? Karena sebenarnya masyarakat sudah punya filter dari ajaran yang diterima dari kiai itu.
Kan banyak, misalnya, tokoh jatuh karena kasus tertentu. Orang tidak langsung anti pada semua ajaran tokoh itu. Karena sebagian ajarannya merupakan sesuatu yang lazim saja. Misalnya, dia bilang, ‘masyarakat harus seneng ngaji, istighasah, suka mendoakan orang yang sudah meninggal.’ Ketika sang kiai atau siapa saja yang mengatakan hal itu terlibat kasus, ya hanya dia saja yang jatuh, ajarannya tidak. Kenapa? Ya karena orang tahu, kiai ini hanya penyambung. Sehingga kalau jatuh, ya jatuh saja dia, bukan ajarannya.
Menurut saya, para alumni pesantren tak perlu khawatir kalau suatu saat, namanya manusia, terpeleset atau apalah. Karena agama ini dijaga. Agama ini fitrah, sehingga sebetulnya masyarakat mendukung agama ini, dengan tanda kutip ya, tidak peduli-peduli amat sama tokohnya. Mereka lebih peduli ke fitrah salimah.
Baca Juga: Pendidikan Tepat Untuk Generasi Selamat
Kalau ada umat Nabi yang fasik, potensinya ada dua: kita bina mereka atau kita tinggalkan dan biarkan dibina orang yang menyesatkan. Meskipun alasan Anda tidak membina karena merasa kurang sempurna, ini-itu, tetapi problemnya di luar kita (mereka) mungkin lebih buruk. Bukan masalah su’uzhan, tetapi memang faktanya begitu.
Nah, ngaji online juga begitu. Coba sekarang masalah pornografi, urusan merakit bom untuk ekstremisme, macem-macem itu, kenapa kita (malah) menyoal mengaji online yang dalam hal kebaikan, meskipun di dalamnya tidak ada talaqqi fi asanid, talaqqi ma’al masyayikh? Itu standar ideal. Kalau tidak sampai ke ideal, ya, ndak apa-apa. Standar pokok dalam agama itu al-i’lam, memaklumatkan bahwa Allah itu haq, Rasulullah haq, syariat itu haq.
Kalau barakah bagaimana?
Lha, barakah itu kaidahnya sama. Kita mengikuti ulama dahulu: ikhlas beramal, semua karena Allah. Saya dulu tidak mengira kalau pengajian saya diikuti sekian ribu orang. Niat saya cuma satu, hajat saya supaya Allah disembah terus di bumi dan syariat-Nya dikenal. Kebetulan saya dititipi ilmu, ya sudah saya sebarkan seluas-luasnya. Soal akhirnya saya sebagai pribadi yang tidak ideal, mungkin riya’ dan lain-lain, itu tidak penting. Karena itu kesalahan biasa. Kesalahan yang bisa kita istighfari. Pas kita ikhlas, kita (harus) semangat, pas salah ya minta maaf. Jangan karena kesalahan kemudian kita tidak i’lam. Jadi barang batil itu tidak boleh menghalangi barang hak.
Dulu ibadah sir itu terbaik, tetapi ketika orang maksiat secara terbuka, ulama mengaji secara terbuka, bahkan besar-besaran. Kata Imam Abu Hasan Asy-Syadili, “Kamu kalau taat harus ditampakkan, sebagaimana mereka menampakkan maksiat.” Karena setiap kali kita tidak menampakkan ketaatan, maka yang akan tampak di dunia ini kemaksiatan.
Sama seperti media online itu jika digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat. Kita tidak melihat online-nya, kita melihat wajibnya menyampaikan ilmu.