Tak ada hal lain yang membikin Sayyidina Umar bin al-Khattab menamai kalender Islam dengan “Hijriah”, selain bahwa karena peristiwa hijrahnya Nabi dari Mekah ke Madinah itu merupakan peristiwa yang teramat istimewa, memberikan dampak dan pengaruh yang luar biasa bagi agama dan umat Islam, dan karenanya sangat penting untuk terus dikenang dan diabadikan. Dan, yang terjadi selanjutnya adalah, bahwa hijrah senantiasa hadir sebagai inspirasi dan semangat yang menjiwai kehidupan umat; selalu menjadi titik balik perjalanan mereka menuju tahapan yang lebih baik.
Inspirasi dan semangat dari hijrah inilah yang perlu untuk terus ditumbuhkan dan dihidupkan dalam diri umat, agar umat senantiasa survive dan terus berjuang menuju capaian yang lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Hal ini menemukan justifikasinya dari penegasan Nabi, di mana setelah beliau berhasil menaklukkan kota Mekah, sehingga kota kelahiran beliau itu menjadi negeri Islam, maka tak ada lagi kewajiban berhijrah dari Mekah ke Madinah. Namun yang tersisa adalah jihad dan niat. Beliau bersabda, “Tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan kota Mekah; yang ada adalah jihad dan niat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Artinya, meski sudah tak diwajibkan hijrah, umat harus terus berjihad, berjuang dengan penuh kesungguhan, serta harus selalu menanamkan niat perjuangan dengan penuh kesungguhan itu dalam jiwa mereka.
Lebih tegas lagi, Nabi justru menyatakan bahwa hijrah itu tidak akan terhapus sampai hari kiamat. Jadi yang dihapus hanya hijrah fisik dari Mekah ke Madinah, sebab Mekah sudah menjadi negara Islam. Adapun hijrah dalam bentuk dan dimensinya yang berbeda, maka ia tetap diharuskan dan tetap dibutuhkan oleh umat. Beliau bersabda, “Hijrah tidak dihapus sebelum taubat dihapus, dan taubat tidak akan dihapus sebelum matahari terbit dari arah barat.” (HR. Abu Daud dan Ahmad).
Baca Juga: Melanjutkan Semangat Hijrah
Lalu, dalam hal dan untuk apakah kita perlu mengangkat semangat hijrah di tengah-tengah umat hari ini? Menurut hemat penulis, hal paling pokok yang dibutuhkan oleh umat dewasa ini adalah tuntutan akan kebangkitan umat dari keadaan yang terpuruk di banyak bidang kehidupan mereka. Di sinilah kita perlu menggali inspirasi dari semangat hijrah Nabi, agar kita bisa berhijrah meninggalkan keadaan yang terpuruk itu menuju kebangkitan, kemajuan, dan kejayaan di berbagai bidang dan lini kehidupan.
Itu sebabnya, cara yang mesti kita tempuh dalam usaha mencapai tujuan ini adalah cara Islami yang telah diajarkan oleh Nabi dan sudah terbukti sukses, sehingga upaya yang kita lakukan menuju kebangkitan umat ini layak disebut sebagai “Berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya”, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadis di mana Nabi bersabda, “Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasulnya. Dan barangsiapa yang berhijrah pada dunia untuk dia raih, atau pada wanita untuk dia nikahi, maka hijrahnya adalah pada apa yang menjadi tujuannya itu.”
Ringkasnya, umat Islam meraih kejayaan di masa lalu dengan nilai-nilai kebaikan yang Islami, bukan dengan tumpukan materi dan kekayaan duniawi; umat Islam meraih kejayaannya dengan zuhud dan wara terhadap dunia, bukan dengan cara menumpuk harta dan kekayaan, serta berjuang mengejar akhirat dan bukan mencita-citakan dunia. Maka, dalam hijrah ini, langkah paling awal yang mesti ditempuh sebelum yang lain adalah membersihkan diri, mencegah serta menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebab di situlah makna hakiki dari hijrah, sebagaimana disabdakan Nabi dalam sebuah hadis, “Orang yang berhijrah (muhajir) adalah orang yang berhijrah dari apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Al-Bukhari).
Baca Juga: Jangan Semua ‘Pindah’ Disebut Hijrah
Mari kita masuk pada satu sub yang lebih spesifik guna mendapatkan gambaran yang lebih detail dan aktual tentang diskursus kita ini. Tentu kita semua sepakat bahwa salah satu faktor penting yang bisa berperan memajukan umat adalah faktor kepemimpinan. Jika umat berhasil menghadirkan pemimpin yang tepat di tengah-tengah mereka, maka kemajuan dan kejayaan mereka hanyalah soal waktu. Namun sebaliknya, jika umat gagal menghadirkan pemimpin yang tepat untuk mengatasi berbagai masalah mereka, maka tentunya keterpurukan sudah ada di depan mata. Lalu, mengingat umat dewasa ini tengah terjebak dalam keterpurukan di berbagai bidang, yang salah satunya adalah krisis kepemimpinan, maka bagaimana mestinya kita menggali inspirasi dari hijrah guna menghasilkan pemimpin yang tepat bagi kita, yang bisa mengantarkan umat menuju gerbang kejayaan?
Jawabannya sederhana, meski tentu realisasinya amat sangat sulit. Masing-masing individu umat harus melakukan hijrah dengan meninggalkan segala apa yang dilarang oleh agama, terutama -dalam hal ini adalah- money politic, kecurangan, penyebaran hoax, pencitraan palsu, menyebarkan aib pihak lain, menjanjikan program-program hebat yang pada akhirnya tak ditepati (PHP), dan hal-hal yang semacamnya. Bagaimanapun kita harus segera menyadari bahwa terlalu banyak dosa yang berkelindan di sekitar kita dalam kaitannya dengan usaha menemukan pemimpin yang tepat, dan dosa-dosa ini tampaknya sudah terlanjur dianggap sebagai tradisi yang wajar, sehingga semakin sulit untuk ditinggalkan. Bahkan, meninggalkan dosa itu malah dianggap sebagai sesuatu yang tidak lazim, saking sudah mengakarnya. Maka, jika kita tidak segera hijrah meninggalkan apa yang dilarang oleh agama dalam hal mencari pemimpin, maka sampai kapanpun kita tak pernah menemukan pemimpin yang tepat.
Money politic, misalnya. Dosa ini sungguh sudah sangat mewabah dalam dunia politik, dan sudah benar-benar mengakar hingga sulit ditinggalkan. Bahkan bagi sebagian orang, pemberian sejumlah uang dari para calon pemimpin, baik calon Kepala Desa atau yang lain, sudah menjadi syarat mutlak baginya untuk datang ke TPS guna menentukan pilihan. Jika tidak, maka ia tidak merasa perlu dan tidak memiliki alasan untuk capek-capek datang ke TPS guna menentukan pilihannya. Nah, jika watak seperti ini masih tertanam di benak masyarakat kita, maka selama itu para politikus tetap akan menggunakan uang bukan sebagai dana kampanye yang wajar, melainkan sebagai alat menyogok dan membeli suara, dan selama itu pula pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang sejak awal memang korup, dan akan melanjutkan korupsinya saat menjabat sebagai pemimpin.
Achyat Ahmad/sidogiri