Belakangan ini kita sering mendengar istilah ‘hijrah’, baik di sosial media maupun di telivisi. Ada yang mengajak hijrah dengan menampilkan foto-foto gadis berhijab dan dibubuhi keterangan dari petikan al-Quran, Hadis dan kalam hikmah. Ada pula yang bilang hijrah hanya karena sudah berkerudung atau berhijab. Bagaimana seharusnya kita memaknai dan memahami ‘hijrah’? Berikut pandangan KHR. Abdus Salam Mujib, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran Sidoarjo, saat diwawancarai N Shalihin Damiri dari Sidogiri Media.
Bagaimana kita memaknai hijrah?
Bismillahirrahmanirrahim. Seperti di dalam Hadis sebetulnya makna hijrah yang hakiki itu adalah perpindahan dari yang tidak baik menuju yang baik. Orang yang hijrah adalah orang yang pindah dari hal yang dilarang oleh Allah menuju ketaatan pada Allah. Itu inti daripada hijrah.
Adapun hijrah yang dilakukan oleh para Shahabat mulai sebelum hijrahnya Nabi, yaitu hijrah Shahabat menuju Habasyah, umpamanya, itu memang dalam rangka menyelamatkan agama. Dalam rangka itu. Dan kemudian hijrah lagi menuju Madinah.
Itu (hijrah menuju Madinah) adalah hijrah terakhir Nabi dan Shahabat. Kenapa? Karena Rasulullah pun juga menyampaikan bahwa,
لا هجرة بعد الفتح
setelah fath makkah, sudah tidak ada hijrah lagi.
Umpama masih ada umat Islam yang mualaf berdomisili di daerah-daerah yang tidak aman bagi dia melaksanakan ibadah, dia masih berkewajiban melaksanakan hijrah. Seperti itulah. Itulah garis besar daripada hijrah.
Ada artis tidak berkerudung lalu berkerudung dan mengatakan ‘hijrah
Lha, ya itu tadi hakikatnya,
المهاجر من هجر ما نهى الله عنه
‘orang yang hijrah adalah orang yang pindah dari sesuatu yang dilarang oleh Allah’. Artinya menuju ketaatan. Dari tidak berhijab, ya mudah-mudahan bisa terus berhijab.
Dan memang hijrah itu sendiri memiliki tujuan-tujuan dan mudah-mudahan tujuan itu baik. Jangan bertujuan: (merasa) tidak begitu populer karena tidak pakai kerudung. Lalu ingin lebih populer lagi dengan pakai kerudung. Nanti kalau sudah populer enggak pakai kerudung lagi. (tertawa) Jangan sampai seperti itu.
Bagaimana kaum santri harus menyikapinya?
Sikap kita pada seseorang atau golongan yang sudah menyatakan hijrah atau mempunyai perilaku yang sudah berubah, ya tidak boleh tajassus. Kita terima saja. Toh, yang menilai semuanya Allah. Kita tidak berhak menilai atau menjustifikasi seseorang; ‘paling-paling’. Jangan seperti itulah.
Jadi sikap kita, jangan terlalu pro atau kontra terhadap orang yang seperti itu. Tidak perlu itu. Kita, ya, sementara husnuzhzhan saja. Mudah-mudahan niatnya baik. Tidak perlu tajassus, apalagi menghujat. Sudah bukan zamannya.
Di tengah zaman fitnah ini, apa yang perlu kita ‘hijrah’kan?
Kalau sudah zaman seperti ini, fitnah sudah luar biasa. Kadang siang hari masih beriman, malam hari sudah kafir. Sudah terlalu banyak hal-hal yang sangat merugikan keagamaan kita. Intinya santri harus kembali kepada literatur-literatur pesantren. Ndak usah ikut-ikutan luar.
Kalau kita terpancing keluar mungkin kita bisa terseret dan lebih banyak tidak selamatnya daripada kita selamat kalau sudah masuk ke arena orang lain. Jadi kembali, santri harus menyikapi fitnah yang macam-macam ini, apakah fitnah dunia atau siyasah, dengan kembali ke literatur pesantren. Mengikuti guru kita. Makanya di pesantren-pesantren itu banyak yang membentuk komunitas alumni. Ini apa? Untuk menyelamatkan yang lain agar jangan sampai keluar. Kalau bisa justru yang di luar itu silakan masuk. Kita pengaruhi agar mengirim putra-putrinya ke pesantren.
Saya kira ini yang paling penting, apalagi bagi alumni! Kalau masih santri insyaallah masih aman. Tapi kalau sudah alumni, mengkhawatirkan. Kadang hanya diiming-imingi roti saja sudah ikut. Lha, ini yang repot. Jadi idealisme santri harus mampu kita bawa sekali pun kita ada di luar. Jangan terpengaruh.
Saya kira inilah yang membuat santri itu menjadi anggun di tengah-tengah masyarakat.
Berarti inti hijrah adalah pindah dari keburukan menuju kebaikan?
Ya, saya kira itu inti hijrah. Makanya tidak dikatakan; artis itu hijrah. Dulu berkerudung sekarang pakai pakaian mini. Tidak ada. Yang ada, (dulu) pakai pakaian mini tapi sudah berhijab.
Pesan jenengan buat masyarakat?
Jadi hendaknya memang, memakai istilah hijrah ini jangan secara umum. Nanti semua ‘pindah’ namanya (disebut) ‘hijrah’. Jangan sampai seperti itu. Karena hijrah itu adalah istilah Islam, walau pun secara lughawi ada, tetapi terbentuknya pemakaian istilah ini menggunakan istilah Islam. Jadi harus memaknai ‘hijrah’ dengan (istilah) yang Islami. Saya kira itu.
Baca juga: Barat pun Mengakui Keagungan Nabi Muhammad SAW
Baca juga: https://id.wikipedia.org/w/index.php?search=hijab