Ingatkah pada suatu malam, di mana Tasik Sava yang dianggap mulia itu teggelam ke dalam tanah, Di Negeri Persia api sesembahan bangsanya yang tidak pernah padam selama hampir seribu tahun padam dengan sendirinya, Berhala-berhala di sekitar Kakbah tiba-tiba hancur berantakan. Selain itu di waktu yang sama mahligai Kisra beserta empat belas tiang serinya runtuh. Malam itu adalah malam kelahiran Muhammad bin Abdillah. Nabi mulia dari tanah Arab yang selanjutnya menjadi reformis dunia. Kelahirnya menjadi perbincangan penghuni bumi; tumbuh-tumbuhan, hewan serta para penghuni langit.
Kejadian itu disebut dengan irhas. Sebuah peristiwa menakjubkan yang hanya bisa disaksikan oleh manusia normal dan hanya terjadi kepada Baginda Nabi. Dinyatakan ‘hanya bisa disaksisakan oleh manusia normal’, Sebab, masih banyak hal yang tidak kasat mata yang tidak bisa disaksikan oleh manusia pada umumnya.
Kita tahu bahwa di dalam al-Quran sering kali kita dapati Allah menyerukan nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad langsung dengan nama-nama mereka, seperti, “Ya Adam” (QS. 2:33, 35), “Ya Musa”(QS. 5:22, 24), “Ya Ibrahim” (QS. 19:46) dan “Ya Isa” (QS. 3:55). Bedahalnya dengan Nabi Muhammad, Allah tidak menyerukan namanya kecuali dengan gelar kehormatan baginya, seperti, “Ya Ayuhan-Nabi” atau “Ya Ayyuhar-Rasul”. Bahkan tidak jarang Allah memanggilnya dengan panggilan mesra. Seperti, “Ya Ayyuhal-Muzammil” atau “Ya Ayuhal-Muddatstsir”.
Sejarah adalah saksi terbaik dalam kehidupan manusia, sehingga setiap kali ada distorsi sejarah, akan segera ditemukan kebohongannya. Nabi Muhammad di mata para sejarawan Muslim ataupun non-Muslim sekalipun diakui sebagai manusia teragung di sepanjang sejarah kemanusiaan. Bahkan, tak pelak, jika kemudian Nabi Muhammad menjadi simbol keadilan dunia.
Sebagaimana kesimpulan para pakar Barat terhadap keagungannya. Seperti, Thomas Carlyle dalam bukunya One Heroes, Hero Worship And The Heros In History yang menggunakan karakter kepahlawanan (heroisme) sebagai tolok ukurnya. Demikian pula Will Durant dalam The Story of Civilization In The Word dengan tolak ukur “hasil karya” Nabi. Marcus Dodds dalam Muhammad, Budha and Christ, dengan tolok ukur “keberanian moral”-nya. Nezmeluke dalam Muhammad ar-Rasul waal-Risalah dengan tolok ukur “metode pembuktian sejarah”. Dan sederatan pakar lainnya.
Jika saja dari umatnya, ada yang mengaku mencintanya melebihi apapun juga tentu tidak seujung kuku pun dapat melampawi kecintaannya pada umatnya. “Ummati, ummati, ummati..”. Pekiknya di tengah rasa sakit di penghujung ajalnya. “Ummati, ummati, ummati..”. Sekali lagi ia serukan kata itu di saat semua orang mengatakan “Nafsi, Nafsi” (diriku, diriku) di hari pembangkitan kelak. Bayangkan siapa dia yang rela menitikkan air matanya demi seorang umat yang tak kian mengingatnya. Setetes air mata yang jatuh dari pelupuk mata mulianya tidak akan pernah sebanding dengan lautan air mata manusia yang membasahi bumi untuknya.
Baca juga: Membangunkan Nyali Hijrah
Kendati demikian, mencintainya adalah sebuah kelaziman bagi umatnya, tidak sekadar di lisan tetapi juga dengan perbuatan. Sebab, sebagiamana dijelaskan di edisi sebelumnya, bahwa di antara tanda-tanda cinta adalah, berperangai dengan perangai sang kekasih. Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya jika ada sebuah ungkapan “Orang yang mencintai Nabi Muhammad dengan cinta yang sesungguhnya adalah sebuah pertanda orang itu akan menjadi sosok yang memiliki pekerti yang baik”. Sebab bagaimanapun juga Nabi Muhammad adalah seorang yang diakui dunia sebagai seorang yang memiliki pekerti yang luhur penuh kasih sayang dengan siapapun itu bahkan kepada orang kafir sekalipun.
Sanusi Baisuni
Baca juga: Kemudahan Dalam Kesulitan Syariah