“Washington berinvestasi puluhan juta dolar dalam kampanye untuk mempengaruhi bukan saja masyarakat Islam, tapi juga Islam sendiri dan apa yang terjadi dalam Islam.” David E. Kaplan dalam Hearts, Minds and Dollar.
Ketika Charles Kurzman merilis bukunya, Liberal Islam: a Source Book kemudian disusul oleh dengan buku Islamic Liberlism: a Critique of Development Ideologies oleh Leonard Binder, istilah Islam Liberal mencuat hebat. Dunia gegap gempita menyambutnya tak terkecuali di Indonesia. Tak lama kemudian, merebaklah wacana-wacana keagamaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal oleh para ulama. Selain dua buku tersebut, liberalisasi di Indonesia juga tak lepas dari pengaruh Nurcholish Majid yang oleh Tempo pernah dujuluki sebagai “Penarik Gerbong Kaum Pembaharu” karena kepeloporan dan kecanggihannya dalam mengolah gagasan pembaharuan Islam di Indonesia. Dua artikelnya, Pembaharuan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan yang ditulis pada kurun tahun 1970 dan 1972 cukup membuat resah karena gagasan pluralisme agamanya. Meski mencuat sejak kemunculannya di era 70-an, sebenarnya istilah Islam Liberal telah muncul sejak abad ke-18 yang pada awalnya berserakan dalam diskusidiskusi para Orientalis.
Imbas dari pemikiran Cak Nur itu, pada tahun 2000-an, sekelompok akademisi di Indonesia yang terinspirasi dari kedua buku tersebut mendirikan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang akhirnya menjadi provokator liberalisasi di Indonesia. Kelompok ini memulai aksinya dengan diskusi di dunia maya dan dilanjutkan dengan talkshow seputar Islam Liberal melalui Kantor Berita Radio 68H kemudian memengaruhi media-media arus utama. “Penerus” Cak Nur inilah yang menjadi kepanjangan tangan dari pemikiran Kurzman, Binder, John Hick, Fritjhof Schuon, W. C. Smith dll. Tak lama kemudian, di mana-mana muncul tulisan “Islam Liberal”, “liberalisasi pemikiran Islam”, “dekonstruksi syariat”. Ironisnya, semua ide aneh tersebut disebut sebagai pembaharuan dalam Islam.
“Pembaharuan” juga terjadi di kalangan akademisi. “Pembaharuan” yang dimaksud adalah menggugat aspek-aspek penting dalam akidah (teologi) sekaligus syariat termasuk di dalamnya Hadis Nabi Muhammad dan juga al-Quran. Menganggap semua agama benar, keluar dari Islam alias murtad dianggap sepele, halalnya perkawinan beda agama dll.
Sederatan nama seperti Nasr Hamid Abu Zayd (Studi Al-Quran), Muhammad Syahrur (Hukum Islam), Muhammad Arkoun (Studi Al-Quran), Syed Hossein Nasr (Pluralisme), Aminah Wadud, Asghar Ali, Fatimah Mernisi (Feminisme), Abdullahi Ahmad an-Naim (politik), dll. menjadi rujukan para akademisi di Indonesia dalam menerapakan ideide liberalisme. Mereka tidak hanya mempengaruhi, melainkan juga terus berupaya mengampanyekan pemikiranpemikiran yang sudah tidak sejalan lagi dengan apa yang sudah diajarkan ulama. Sebagai contoh, gara-gara bukunya yang kontroversial, Islâm wa Ushul al Hukmi, Ali Abdul Raziq dipecat dari anggota ulama Al-Azhar oleh Hai’ah Kibâril Ulama (anggota dewan ulama terkemuka). Salah satu poin yang dipermasalahkan adalah pendapatnya tentang jihad Rasulullah yang menurutnya ditujukan untuk meraih kekuasaan setingkat raja dan bukan untuk menyiarkan agama ke seluruh dunia.
Kata “Islam Liberal” sendiri cukup aneh di telinga karena makna yang dikandungnya kontradiktif. Islam adalah tunduk dan patuh terhadap apa yang disampaikan oleh Rasulullah sebagaiamana yang disampaikan oleh al-Jurjani dalam at-Ta’rîfât. Sedangkan Liberal bermakna bebas yang berakhir terhadap kebebasan memperlakukan agama sesuai kehendak. Kata Liberal konotasinya merujuk pada pandangan Barat yang berawal dari keterkungkungan dalam berpikir dan bertindak yang selama ini dibatasi oleh Gereja.
liberalisasi Pemikiran Islam
Sebagaimana disinggung pada tulisan di edisi sebelumnya, jika kebebasan diartikan sebagai bebas dalam menafsirkan agama sesuai dengan pikiran masing-masing orang, akibatnya hal-hal yang jelas haram hukumnya menjadi halal, yang wajib menjadi sunah. Inilah yang memicu MUI untuk mengeluarkan fatwa diharamkannnya pluralisme dan liberalisme di Indonesia.
Gerakan liberalisasi di Indonesia terjadi karena impor pemikiran liberal Barat yang tidak terbendung. Para cendikiawan Muslim Indonesia yang berangkat ke Barat dan belajar langsung kepada Orientalis Barat tanpa dibekali dengan pemahaman ilmu agama yang baik.
Setelah kembali ke Indonesia mereka cenderung memahami ajaran agama tanpa mengikuti otoritas ulama dan menggunakan akal sebebas-bebasnya. Memahami cara berpikir orang Barat, Filsafat Barat, dan ideologi Barat untuk memahami Islam. Menggunakan filsafat interpretasi yang disebut dengan hermeneutika yang berujung dengan lahirnya paham pluralisme, kesetaraan gender, feminisme, humanisme.
Sederet LSM didirikan sebagai salah satu cara untuk menyebarkan ide-ide liberal tersebut. Selain JIL sendiri sebagai provokator gerakan liberalisasi hadir pula International Center for Religious Pluralism (ICRP), pembawa bendera plurasime agama. Fahmina Institute, pengusung paham kesetaraan gender dan feminisme ke dalam ranah fikih Islam. Freedom Insitute yang bergerak dalam proyek liberalisasi. Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA), Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan, International Center for Religious Pluralism (ICIP).
Orang-orang tersebut berusaha menyebarkan konsep-konsep yang selama ini menjadi misi utama orang Liberal; pluralisme, multikulturalisme, kesetaraan gender, feminisme, demokratisasi, humanisme, kebebasan, dan HAM. Wacana-wacana itu tersebar melalui diskusi di kalangan akademis, makalah, skripsi, tesis, hingga desertasi. Tulisan-tulisan di media massa juga memberi sumbangsih yang tidak sedikit bagi penyebaran ide ini. Puluhan buku diterbitkan hanya ingin membenarkan wacana-wacana mereka yang sangat dekat sekali hubungannya dengan ideide pemikir Barat.
Alhasil, apa yang selama ini menjadi huru-hara pemikiran dan sempat membuat gusar para pemuka agama yakni kesalahan berpikir para akademisi dalam memahami Islam. Memahami Islam dengan pola pikir Barat diperparah dengan pondasi keilmuan yang rapuh akan menimbulkan kelompok-kelompok yang bukan mendukung Islam, melainkan akan merusak agama ini. Di samping itu, proyek-proyek teologis yang bernilai puluhan juta dolar masih terus mengalir deras dari Amerika sebagai penyokong utama terlebih pasca tragedi 11 September. Selama mereka masih gencar dengan berbagai misinya, selama itu pula Islam akan terus mendapatkan tekanan.
Akhiran, ketika mereka menyerang masyarakat Islam melaui wacana pemikiran dan gerakan keilmuan baik melalui media massa atau kajian serius atau dengan penerbitan buku, maka seorang Muslim perlu menyerangnya dengan cara yang sama.
Isom Rusydi/sidogiri
5
1.5
5