SERIBU MISTERI DI MASJID PINTU SERIBU
Setelah mengintip beberapa destinasi religi di wilayah Jakarta, para pembaca akan kami ajak sedikit berkeliling di Propinsi Banten yaitu wilayah yang terletak di ujung barat Pulau Jawa. Dimulai dari Masjid Pintu Seribu yang terletak di RT. 01 RW. 03 Kampung Bayur, Priuk Jaya, Jatiuwung, Kabupaten Tangerang, Banten.
Ketika tiba di lokasi yang dituju, sebuah bagunan tua berwarna coklat menyambut kedatangan kami. Itulah Masjid Pintu Seribu. Agak mirip dengan benteng kerajaan Banten, tapi dipenuhi dengan kaligrafi indah yang nampak memudar.
Setelah mengisi buku tamu, segera kami mendapat izin liputan dan diarahkan menuju pusara pelopor pembangunan Masjid tersebut, yakni Syekh Ami Al-Faqir Mahdi Hasan AlQudratillah Al-Muqaddam, seorang ulama keturunan Arab yang tinggal di daerah Batu Ceper Tanggerang. Warga sekitar mengenalnya dengan Al-Faqir atau Ami Al-Muqaddam. Yang lebih mengesankan, masjid yang berukuran besar di atas tanah sekitar dua hektar ini, dibagun di atas tanah pribadi dengan biaya sendiri.
Masjid yang terkenal dengan Masjid Pintu Seribu ini. Terdiri dari dua bangunan utama. Bangunan pertama mirip gedung sekolah. Jendela dan pintu berjejer kaku, tampak rusak bagian atapnya. Di dalamnya terdapat ruang majelis taklim, majelis dzikir, pesarean pendiri dan kediaman pengelola masjid yang sekarang dilanjutkan oleh putra putri dan mediang istri Al-Faqir. Di gedung ini juga ada ruangan khusus musafir yang dilengkapi dengan kamar mandi dan dapur dengan perlengkapan masak.
Sementara bagunan kedua, agak mirip benteng. Arsitektur kedua bangunan ini tak banyak memperlihatkan ciri-ciri sebuah masjid. Bahkan hampir menyerupai puing-puing peninggalan masjid pada zaman kuno. Kami tidak begitu berani menyusuri masjid ini tanpa seorang gaude. Khawatir tersesat. Selain disebabkan terlalu banyaknya pintu dan ruangan, lorong-lorongnya juga gelap, tak ada sinar lampu. Dengan berbekal cahaya hanphone, kami menyusuri lorong-lorong layaknya gua yang berada di bawah tanah.
Kami juga berhasil naik ke lantai dua dan tiga. Ternyata, di dalamnya ditemukan sebuah ruang terbuka seluas lapangan futsal. Di tempat inilah kami temukan mimbar dan garis-garis shof yang sudah mengelupas. Di ujung arah kiblat terdapat bagunan yang menyerupai menara yang tak selesai. Tampak banyak tembok yang tidak berplester dan berlubang.
Setelah melewati beberapa pintu masjid dan lorong sempit gelap, kami merasa bahwa bangunan masjid ini menyerupai labirin. Di ujung lorong ada banyak ruang, bersekat-sekat hingga membentuk mushalla atau bilik-bilik pemukiman santri. Setiap ruang dipenuhi kaligrafi. Yang kami tangkap ada banyak ruangan dengan namanama kitab yang mungkin menjadi materi pelajaran saat Al-Faqir masih hidup. Di antaranya adalah Fathul-Qarîb, Tanbîhul-Ghâfilîn, Dzurratun-Nâshihîn, dan Safînatun-Najâ.
Bahkan menurut Ustadz Khairuz Zaman, salah satu putra Al-Faqir, nama sesungguhnya dari masjid ini adalah Masjid Nurul Yakin. Nurul Yakin adalah nama sebuah kitab sejarah kenabian, kamudian diringkas menjadi Khulâshah Nurul Yaqîn yang familiar dipelajari di jenjang Madrasah Ibtidaiyah. Sejak kapan masjid ini berganti nama menjadi Masjid Pintu Seibu? “Nama masjid pintu seribu sebenarnya terkenal karena kesalahan wartawan media massa pada tahun 2000-an yang menjuluki masjid ini dengan masjid seribu pintu. Bukan berarti masjid ini ada seribu pintu.” Ungkap Ustadz Khairuz Zaman. “Kami sendiri dari pihak pengelola bahkan dari masa hidup Ami Al-Muqaddam tidak mengetahui jelasnya berapa banyak pintu di masjid ini.” tambahnya.
Setelah banyak melihat-lihat bagian dalam masjid dan menemukan banyak kaligrafi kuno di berbagai ruangan yang dindingnya retak dan rusak, mulai muncul banyak tanda tanya. Apalagi setelah kerap menemukan foto dari Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan tulisan angka 999 di setiap sudut ruangan. Sempat kami terka masjid ini dibangun pada tahun sesuai dengan tahun di angka tersebut. Ternyata pemuda alumnus salah satu pesantren di Gondanglegi Malang tersebut menjelaskan bahwa angka tersebut adalah gabungan jumlah Asmâul-husnâ dan jumlah Walisongo. Jadi, bukan tahun berdirinya.
“Berdirinya masjid ini, terbilang baru, yaitu pada tahun 1978 M. Akan tetapi banyak bangunan yang belum terselesaikan,” jelas Ustadz Khairuz Zaman. Sementara terkait foto Syekh Abdul Qadir al-Jailani itu terpajang semenjak masa Al-Faqir. Membaca Manaqib Nûrul-Burhâni menjadi keistikamahan Al-Faqir bersama masyarakat setempat sampai saat ini.
Anehnya, masjid tersebut saat ini tidak dimanfaatkan sebagai tempat shalat Jumat, walau pun sudah tersedia ruang shalat laki-laki dan perempuan. Tapi masjid tersebut tetap digunakan sebagai majelis dzikir dan taklim. Pada waktu Ramadhan, masjid itu digunakan untuk shalat Tarawih dan shalat Idul Fitri atau ‘Idul Adha. Selain itu, juga dimanfaatkan sebagai acara peringatan hari besar Islam, santunan anak yatim dan fakir miskin serta berbagai event islami lomba anak yang biasa digelar secara berkala setiap tahunnya dengan mendatangkan muballigh untuk memberikan siraman rohani terhadap para pengunjung dan masyarakat setempat.
Menurut penuturan salah satu pengunjung, di bawah aula terbuka ada ruangan gelap lagi yang disebut dengan Makam Tasbih. Konon di dalam ruangan tersebut terdapat tasbih raksasa sebanyak 99 butir. Setiap tasbih berdiameter 10 centimeter dengan ukiran bertuliskan Asmâul Husnâ. Akan tetapi, sayang sekali karena keterbatasan waktu, kita tidak sempat menengok langsung keberadan tasbih besar ini. Karena keterbatasan waktu dan tenaga yang kami miliki harus bersegera menuju lokasi liputan selanjutnya. Nantikan di edisi berikutnya!