Setiap tanggal 12 Rabiul Awal, umat Islam seluruh dunia antusias dan bersuka cita merayakan Maulid Nabi Muhammad. Ada beragam cara yang diekspresikan oleh masyarakat dalam menghormati hari kelahiran Nabi Muhammad, sesuai adat dan budaya masing-masing.
Sejarawan Muslim berbeda pandangan mengenai sosok yang pertama kali memperingati Maulid Nabi. Pendapat yang paling masyhur dan disepakati oleh para pengkaji sejarah menyatakan bahwa Sultan Muzhaffaruddin Gakbari (lebih dikenal sebagai Sultan al-Muzhaffar), Raja Irbil (sekarang masuk wilayah Irak), adalah pelopor peringatan maulid pada awal abad ke-7 Hijriyah. Pendapat ini didukung oleh pakar sejarah seperti Ibnu Khallikan, Sibth Ibnul-Jauzi, Ibnu Katsir, al-Hafizh al-Sakhawi, al-Hafizh as-Suyuthi dan lainnya.
Sultan al-Muzhaffar disebut-sebut memiliki perhatian yang begitu besar terhadap perayaan Maulid Nabi. Konon, perayaan maulid merupakan usaha mengimbangi maraknya perayaan natal yang dilakukan oleh kaum Nasrani di daerah kekuasaan Sultan al-Muzhaffar. Beliau menyembelih ribuan kambing dan unta sebagai hidangan bagi semua rakyat dan para ulama yang hadir.
Ibnu Katsir memberikan kesaksian, “Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal. Dia merayakannya secara besar-besaran. Dia adalah seorang yang berani, pahlawan, alim dan seorang yang adil–semoga Allah merahmatinya.”
Baca Juga: Maulid Diantara Bidah Dan Maslahah
Sementara itu, sebagian sejarawan mengatakan bahwa yang pertama mengadakan Maulid Nabi adalah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Pendapat ini merujuk pada sejarah Perang Salib kala itu. Disebutkan bahwa pada masa Sultan Shalahuddin, perayaan maulid diadakan untuk membangkitkan semangat pasukan Islam yang mulai padam dalam menghadapi pasukan Salib.
Sultan Shalahuddin menilai bahwa peringatan Maulid Nabi mampu membangkitkan kembali semangat juang pasukan Islam. Sebab dalam peringatan maulid diungkapkan kegigihan Rasulullah dan para shahabat dalam menghadapi serangan kaum kafir. Usaha mengenang perjuangan Rasulullah melalui medium perayaan maulid tersebut dianggap mampu mengembalikan semangat juang pasukan.
Pendapat bahwa Sultan Shalahuddin adalah ‘orang pertama’ yang merayakan Maulid Nabi ini dapat dibenarkan jika yang dimaksud adalah ‘pertama menghidupkan kembali tradisi yang telah lama mati dan membebaskan dari kepentingan politik’. Untuk diketahui, para sejarawan ada yang berpendapat bahwa maulid sudah pernah dirayakan sebelumnya. Namun saat itu maulid masih dipenuhi kepentingan pribadi dan politis, akhirnya banyak ulama yang menentang pelaksanaannya.
Al-Imam as-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi berpendapat bahwa gagasan menghidupkan kembali peringatan maulid bukan semata-mata berasal dari Sultan Shalahuddin, melainkan usulan dari saudara iparnya, Muzhaffaruddin di Irbil, Irak. Jadi anggapan bahwa Sultan Shalahuddin adalah pelopor perayaan maulid dirasa kurang tepat. Untuk itulah, dapat disimpulkan bahwa Sultan al-Mudzaffar orang pertama yang melaksanakan peringatan Maulid Nabi.
Baca Juga: Bermaulid Di Detak Jantung Kita
Sumber lain menjelaskan bahwa perayaan Maulid Nabi sebenarnya diprakarsai oleh pemerintahan beraliran Syiah yakni Dinasti Fatimiyyun. Syekh ‘Ali Mahfuzh dalam kitab al-Ibda’ fi Madharil-Ibtida’ (hal. 251) mengatakan bahwa perayaan maulid pertama kali digelar oleh ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun). Pendapat ini sebenarnya semakin menguatkan pandangan sejarawan bahwa Sultan Shalahuddin bukan pelopor perayaan maulid, tetapi sosok yang ‘menghidupkan kembali’ dan membersihkan dari kepentingan pribadi.
Ahmad bin ‘Abdul Halim al-Harani menguatkan, “Negeri Mesir kemudian ditaklukkan oleh raja yang berpegang teguh dengan Sunah yaitu Shalahuddin. Dia yang menampakkan ajaran Nabi yang sahih di kala itu, berseberangan dengan ajaran Rafidhah (Syi’ah). Pada masa dia, akhirnya ilmu dan ajaran Nabi semakin terbesar luas.”
Ada banyak ulama yang menganggap baik dan mendukung perayaan Maulid Nabi sebab mengandung hal-hal positif di dalamnya. Namun, tak sedikit yang melarangnya karena dianggap bid’ah terlarang.
N. Shalihin Damiri/sidogiri