Lebih mudah mengagumi orang-orang di sekeliling kita dibanding mengagumi tokoh sejarah. Padahal, orang-orang yang kita kagumi seringkali tidak ada apa-apanya dibanding tokoh-tokoh dalam sejarah.

Lebih mudah mencintai ayah, ibu, istri, anak, teman, tetangga, dan guru kita dibanding mencintai Rasulullah. Kita lebih mudah mengingat mereka dari pada mengingat Rasulullah.

Ayah, ibu dan anak memang secara langsung menghuni pikiran kita. Mereka memiliki ikatan yang lebih nyata dibanding tokoh-tokoh sejarah. Perasaan, pikiran, benak, cinta dan kekaguman lebih mudah menangkap dan menampung obyek yang secara langsung bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari.

BERMAULID NABI DI DETAK JANTUNG KITA

Para shahabat lebih mudah mencintai Rasulullah dibanding yang bukan shahabat. Karena mereka menyaksikan dan merasakan secara langsung keagungan dan kemuliaan beliau, sedangkan kita tidak.

Oleh karena itu, Rasulullah memberikan posisi istimewa untuk kita yang mempercayai beliau padahal tidak pernah melihat beliau. “Mereka saudara-saudaraku,” sabda beliau dalam sebuah hadis. Untuk para shahabat yang sehari-hari bersama Rasulullah SAW, beliau tidak menyebut “saudara”, tapi “teman” (shahabat).

Keyakinan terhadap tokoh sejarah yang tidak pernah kita lihat (Nabi Muhammad) menjadi salah satu bagian paling inti dari agama Islam. Dalam ad-Durrul-Mantsûr Imam as-Suyuthi menyebutnya sebagai keimanan terhadap aI-ghaib, dalam arti tidak hadir dalam realitas hidup sehari-hari. Kepercayaan terhadap al-ghaib ini merupakan bagian pokok dari akidah Islam.

Di sinilah peran sejarah dipertaruhkan. Di antara tugas sejarah adalah membentuk keyakinan, kecintaan dan pengidolaan terhadap tokoh-tokoh masa lampau. Tokoh idola merupakan salah satu bagian dari jati diri seseorang. Seseorang akan cenderung mengagumi tokoh yang menggambarkan idealismenya. Sebab, idola sebetulnya adalah bentuk beku dari idealisme itu sendiri. Ketika kita mengagumi si A, misalnya, tentu karena dalam diri si A ada sesuatu yang mencerminkan kesukaan, idealisme, pandangan hidup, atau cita-cita kita.

Baca Juga: MERESAPI MAKNA KEAJAIBAN MAULID

Maka, untuk menanamkan hal ini diperlukan penekanan sejarah. Tidak sekadar membaca dan menyerap, tapi kadang perlu juga mengondisikan suasananya. Dulu, Shalahuddin al-Ayyubi, pahlawan yang sangat masyhur dalam Perang Salib itu, menjadikan pembacaan sejarah Rasulullah sebagai strategi untuk menanam, menumbuhkan, dan mengobarkan semangat kepahlawanan para prajuritnya. Dalam hidup Rasulullah hampir tidak pernah ada waktu istirahat, penuh dengan kisah-kisah perjuangan untuk meraih kemuliaan Islam dan Muslimin. Penggalan-penggalan sejarah beliau itu sangat menyentuh, menjadi api yang mudah menyulut jiwa kepahlawanan prajurit Shalahuddin.

Barangkali cara ini merupakan salah satu faktor penting di balik kesuksesan Shalahuddin mengusir Pasukan Salib dari Palestina dan wilayah-wilayah Muslim yang lain. Bersama dengan Muzhaffaruddin, penguasa lrbil, Shalahuddin aI-Ayyubi kemudian dianggap sebagai tokoh penting di balik adanya tradisi peringatan Maulid Rasulullah Muhammad di beberapa negara Islam.

Sejarah dibaca memang untuk “melahirkan” tokoh dari masa silam. lni menjadi salah satu tujuan pokok dari sejarah itu sendiri. Dalam tradisi pembacaan dan peringatan Maulid yang biasa dilakukan oleh Muslimin Nusantara, hal itu sangat kental, jika diresapi dengan benar. Bahkan, tidak hanya melahirkan, tapi juga menyegarkan kembali bahwa hanya ada satu tokoh kunci dalam keyakinan kita: Nabi Muhammad SAW. Menciptakan idola dari tokoh dalam sejarah adalah hal yang cukup sulit. Tokoh sejarah hanya digambarkan dalam bentuk cerita-cerita, tidak bersentuhan secara langsung dengan kehidupan yang sedang kita alami.

Gambaran dalam sejarah tidak sekonkret ketika secara langsung bertemu atau merasakan sendiri bagaimana sepak terjang tokoh itu. Maka, diperlukan pemilihan atau bahkan penciptaan momen yang tepat agar sejarahnya hadir, menyentuh dan meninggalkan pengaruh terhadap diri dan hati seseorang. Pemilihan momen inilah barangkali yang melandasi Muzhaffaruddin merayakan secara massal tanggal 12 Rabiul AwaI dengan menampakkan kegembiraan: menceritakan sejarah Rasulullah SAW, bersedekah, bersilaturahim dan menunjukkan kegembiraan.

Baca Juga: MENEPIS HUJAH SESAT WAHABI

Dengan begitu, setidaknya Muzhaffaruddin bisa membawa orang lain untuk turut bergembira atas kelahiran Rasulullah dalam sejarah. Maka, Iahirlah tradisi yang baik, di mana masyarakat terbiasa menyambut hari kelahiran Rasulullah dengan melakukan hal-hal yang menampakkan kegembiraan secara serentak dan massal.

Memang, pada dasarnya, kecintaan dan pengagungan terhadap Rasulullah tertanam kokoh di hati seorang Muslim dalam setiap detak jantung dan aliran darahnya. Tidak hanya pada saat 12 Rabiul Awal. Rasulullah bersabda:

“Tidak beriman seorang hamba sampai aku lebih ia cintai dibanding keluarganya, hartanya dan seluruh umat manusia.” (HR. Muslim)

Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa hari kelahiran beliau ini adalah momen yang sangat tepat untuk membangkitkan perasaan itu secara massal. Karena, untuk membawa masyarakat mencintai Rasulullah, dibutuhkan strategi dan perangkat yang bisa menggerakkan dan membangkitkan mereka. Dan, momen yang paling tepat untuk melakukan itu adalah pada tanggal kelahirannya.

Baca Juga: MAULID DI ANTARA BIDAH DAN MASLAHAH

Maka, barangkali kurang tepat jika sebagian saudara-saudara kita ada yang masih suka menggelar perdebatan mengenai bid’ah-tidaknya peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tidak akan pernah ada titik temu dalam perdebatan-perdebatan itu, karena cara pandangnya memang berbeda. Barangkali lebih bijak; kalau misalnya kita bersama-sama berjuang agar peringatan Maulid Nabi Muhammad yang sudah menjadi tradisi kental di masyarakat diarahkan menjadi lebih baik dan terarah. Agar, masyarakat tidak memahami acara Maulid Nabi sebagai upacara. Setelah selesai lalu bubar. Atau, agar tidak memahami sejarah Rasulullah sebagai ‘mantra’. Dibaca bukan untuk diresapi.

Kita perlu melangkah untuk menjadikan tradisi peringatan Maulid sebagai momen untuk mengasah hati kita, saudara-saudara dan anak-cucu kita: bahwa seharusnya di hati kita. Rasulullah melebihi keluarga, teman, tetangga, kekayaan, pekerjaan dan bahkan diri kita sendiri.

Ahmad Dairobi/sidogiri

Spread the love