Entah apa penyebabnya, akhir-akhir ini, seolah-olah muncul kecenderungan bersikap sinis terhadap para habaib. Lebih-lebih para habaib yang dianggap memiliki manhaj dakwah berbeda, apalagi kecenderungan politik yang juga berbeda. Semenjak dahulu, tidak pernah terdengar orang yang mempersoalkan penampilan kearab-araban para habaib, sekarang hal itu mulai sering terdengar. Semenjak dahulu, tidak pernah terdengar orang yang melakukan polarisasi terhadap habaib dan kiai, sekarang kecenderungan semacam itu mulai bermunculan.

Sebagai umat Islam, sudah semestinya kita menaruh hormat kepada para keturunan Rasulullah (Ahlul Bait), karena ada darah Rasulullah yang mengalir pada diri mereka. Atas dasar hal itulah ulama-ulama Ahlusunah mengistimewakan mereka dalam batas-batas tertentu. Apalagi, jika Ahlul Bait tersebut tergolong ulama, juru dakwah dan orang-orang saleh.

Landasan utama sikap hormat kita terhadap para keturunan Rasulullah adalah ayat:

قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَ 

Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” (QS as-Syura [42]:23)

Menurut Imam Fakhruddin ar-Razi, salah satu penafsiran terhadap kata al-mawaddah fil-qurbâ adalah bahwa Rasulullah meminta kepada umatnya agar memperlakukan keluarga dan kerabat beliau dengan baik. Penafsiran yang sama diuraikan dengan lebih panjang oleh Syekh Ismail Haqqi dalam Rûhul-Bayân dan Ibnu Ajîbah dalam al-Bahr al-Madîd.

Penafsiran di atas didukung oleh beberapa hadis Rasulullah dan beberapa atsâr dari para shahabat, serta kisah-kisah teladan para ulama. Di antara hadis Rasulullah adalah:

إنِّيْ تَارِكٌ فِيْكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِيْ. أَحَدُهُمَا أَعْظَمُ مِنَ الآخَرِ. كِتَابَ اللهِ، حَبْلٌ مَمْدُوْدٌ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الأَرْضِ، وَعِتْرَتِيْ أَهْلَ بَيْتِيْ. وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَى الحَوْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ تَخْلُفُوْنِيْ فِيْهِمَا

” Aku meninggalkan untuk kalian pegangan yang menyelamatkan kalian dari kesesatan sepeninggalku. Yang satu lebih agung daripada yang lain. Yaitu, Kitab Allah, sebagai tali yang memanjang dari langit ke bumi; dan keturunanku, keluargaku. Keduanya tidak akan berpisah hingga datang ke telaga. Maka, renungkanlah bagaimana kalian memperlakukan keduanya sepeninggalku.” (HR at-Tirmidzi).

Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul- Ahwadzi mengaitkan hadis tersebut dengan ayat di atas. Bahwa salah satu bentuk terima kasih kita kepada Rasulullah atas segala perjuangannya menyelamatkan kita adalah dengan mencintai segenap keluarga dan keturunan beliau, menghormati mereka dan memperlakukan mereka dengan baik.

Baca Juga: Romantisme Ulama Dan Habaib Nusantara

Menurut al-Mubarakfuri, penghormatan dan perlakuan baik kita terhadap Ahlul Bait merupakan jalan lapang dan pintu terbuka untuk bisa mendatangi telaga Rasulullah. Hal itu, tersirat dalam pernyataan beliau, “Keduanya tidak akan berpisah hingga datang ke telaga.” Maksudnya, al-Quran dan Ahlul Bait akan mengantarkan para pecintanya untuk menghadap kepada Rasulullah di telaga beliau.

Dalam riwayat Muslim, Rasulullah pernah berceramah di hadapan kaum Muslimin di perairan Khum, antara Makkah dan Madinah. Beliau menyatakan bahwa beliau meninggalkan dua pegangan untuk umatnya, yaitu kitab Allah sebagai pegangan utama. Lalu beliau menyatakan:

وَأَهْلُ بَيْتِى، أُذَكِّرُكُمُ الله فِى أَهْلِ بَيْتِى

” Dan keluargaku. Aku mengingatkan kalian (agar takut) kepada Allah dalam (memperlakukan) keluargaku.” (HR Muslim).

Selain dua hadis di atas masih banyak hadis-hadis yang lain. Oleh karena itu, para shahabat sangat menghormati kerabat Rasulullah, lebih-lebih keturunan beliau. Dalam riwyat Imam al-Bukhari, Sayidina Abu Bakar ash-Shiddiq menyatakan:

وَاللهِ لَقَرَابَةُ رَسُوْلِ اللهِ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَهُمْ مِنْ قَرَابَتِيْ

“Demi Allah, menyambung (berbuat baik) terhadap kerabat Rasulullah SAW jauh lebih aku sukai daripada menyambung kerabatku sendiri.”

Abu Bakar juga menyatakan:

اُرْقُبُوْا مُحَمَّدًا فِيْ أَهْلِ بَيْتِهِ

“Muliakanlah Nabi Muhammad dengan memuliakan keluarga Beliau.”

Sayidina Umar bin al-Khatthab ketika melakukan istisqâ’ selalu menjadikan Sayidina al-Abbas, paman Rasulullah, sebagai wasilah. Hal itu beliau lakukan sebagai bentuk penghormatan yang luar biasa terhadap keluarga Rasulullah.

Baca Juga: Fenomena Kiai Nyeleneh

Allah memberikan keistimewaan pada nasab Rasulullah yang tidak diberikan kepada nasab-nasab yang lain. Bernasab kepada Rasulullah memiliki nilai lebih dan nilai mulia di dunia maupun di akhirat. Rasulullah bersabda:

كُلُّ سَبَبٍ وَنَسَبٍ مُنْقَطِعٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، إِلَّا نَسَبِيْ وَسَبَبِيْ

“Semua perantara dan nasab akan terputus di Hari Kiamat kecuali nasabku dan perantaraku.” (HR al-Baihaqi).

Mengenai Hadis ini, al-Munawi menyatakan dalam at-Taisîr, bahwa hubungan nasab dengan Rasulullah akan memberikan manfaat pada hari kiamat pada saat nasab-nasab yang lain tidak bisa memberikan manfaat apa-apa.

Pesan-pesan Rasulullah di atas tidak perlu dipertentangkan dengan prinsip ketakwaan sebagai pedoman kemuliaan di sisi Allah. Semua orang sepakat bahwa pedoman kemuliaan derajat seseorang tentu saja adalah keimanan dan ketakwaan. Namun, jika ketakwaan itu disertai dengan hubungan nasab kepada Rasulullah, maka nilai menjadi semakin tinggi. Sebagaimana amal baik yang dilakukan di tempat atau waktu-waktu mulia, maka pahalanya akan semakin berlipat ganda.

Rasa hormat kita kepada para keturunan Nabi adalah karena melihat ikatan nasabnya dengan Rasulullah. Sama halnya dengan rasa hormat anak kepada orang tua. Anak tetap harus menghormati orang tuanya meskipun keilmuan dan kesalehan si anak sudah jauh melampaui orang tuanya. Kalau orang tua melakukan keburukan, maka bencilah pada perbuatan buruknya, bukan benci pada orangnya. Berikanlah nasehat dengan bahasa yang halus dan santun.

Pedoman ini adalah untuk pegangan kita yang bukan keturunan Nabi. Sedangkan untuk para keturunan Nabi, tentu sudah ada pegangannya sendiri. Intinya mereka dituntut untuk berada di garda terdepan dalam meneladani Rasulullah dan memperjuangkan ajaran beliau. Masing-masing punya pedoman yang tidak layak dipegang oleh pihak lain agar semuanya berjalan kondusif, serta tidak saling menuntut dan menyalahkan.

Ahmad Dairobi/sidogiri

Spread the love