Dalam Qonun Asasi Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asyari berkata; “Sayyid Ahmad bin Abdullah bin Muchsin Assegaf berkata: Jam’iyyah ini (NU) adalah perhimpunan yang telah menampakkan tanda-tanda menggembirakan, daerah-daerah menyatu, bangunan–bangunannya telah berdiri tegak, lalu kemana kamu akan pergi?. Kemana?”. “Wahai orang-orang yang berpaling, jadilah kamu orang-orang yang pertama, kalau tidak orang-orang yang menyusul masuk (Jam’iyyah NU ini). Jangan sampai ketinggalan, nanti suara penggoncang akan menyerumu dengan goncangan-goncangan”. Demikin salah satu petikan bunyi Qonun Asasi Nahdlatul Ulama yang disampaikan KH. Hasyim Asyari dengan menukil perkataan Habib Ahmad bin Abdullah bin Muchsin Assegaf. Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaf dikenal seorang yang alim sekaligus pernah ikut berjuang melawan penjajah di Indonesia.
Beliau lahir pada tahun 1299 H di kota Syihr Hadramaut.
Setelah sekitar 40 tahun menetap di Indonesia, Habib Ahmad berniat kembali ke tempat kelahirannya Hadramaut Yaman. Dalam perjalanan menggunakan kapal laut dari Batavia (red, Jakarta) menuju Hadramaut, di tengah perjalanan tepatnya Selasa 26 Jumadil Awal 1369 H ia berpulang ke haribaan-Nya.
Jauh sebelum KH. Hasyim Asyari berkeinginan mendirikan organisasi NU, beliau terlebih dahulu istikharakh di Makkah. Dari istikharahnya dihasilkan keputusan oleh para ulama yang ada di sana seperti Kiai Ahmad Nahrawi, Kiai Mahfudz at-Turmusi, dan beberapa ulama lainnya, bahwa, “di Jawa, keputusannya hanya ada di dua orang. Yang pertama Habib Hasyim bin Umar bin Yahya Pekalongan dan yang kedua Mbah Kiai Cholil Bangkalan. Jika dua orang ini setuju, maka dirikanlah Nahdlatul Ulama, tetapi apabila dua orang ini tidak berkenan, jangan dibantah”. Akhirnya kedua ulama itu sama-sama menyetujuinya.
Baca juga: Atas Nama Islam Nusantara
Cerita berikutnya, konon Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (1870- 1968), atau akrab dipanggil Habib Ali Kwitang Jakarta, sebenarnya sudah tahu dan paham dengan gerakan Kiai Hasyim Asyari, tetapi Habib Ali tetap mengirimkan santrinya untuk meneliti lebih detail tentang NU. KH Achmad Marzuqi adalah santri Habib Ali yang sowan langsung ke Tebuireng untuk bertanya soal NU kepada Kiai Hasyim.
Dari penelitian langsung muridnya ini, Habib Ali menegaskan dan mengajak murid dan jamaahnya untuk bergabung dengan NU. Dari sinilah, NU tersebar luas di Jakarta dan sekitarnya.
Pimpinan PBNU saat itu selalu mendekat kepada Habib Ali Kwitang. Para tokoh PBNU yang sering hadir dalam majelis Kwitang adalah KH. Wahab Chasbullah, KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur, KH. Saefudin Zuhri, KH. Fatah Yasin, KH. Achmad Saichu, KH. Dahlan, KH. Idham Chalid, KH. Abdurrahman Wahid, dan KH. Hasyim Muzadi.
Cerita di atas, bisa mewakili cerita di tempat lain, tentang semangat dakwah dan romantisme hubungan ulama (baca, Kiyai) dengan habaib. Tradisi saling hormat dan bahu membahu untuk sama-sama mengobarkan semangat dakwah menguatkan Islam Ahlusunah wal Jamaah di nusantara melalui organisasi NU, sudah dicontohkan oleh ulama dan habaib dari zaman ke zaman.
Baca juga: Habaib Bangga Pada Identitas Keindonesiaan
Mewaspadai Penghasut di Luar Ulama NU dan Habaib
Dalam realitas sejarah, salah satu langkah yang paling ampuh untuk memecah belah adalah dengan cara politik devide et impera (politik belah bambu) yang biasa dilakukan oleh para penghasut.
Pada zaman shahabat, Abdullah bin Saba, Rabi (pendeta) Yahudi yang masuk Islam, lebih tepatnya pura-pura masuk Islam pada masa Khalifah Utsman bin Affan dan kemudian menyulut pemberontakan terhadap Khalifah (pemimpin) yang sah waktu itu. Abdullah bin Saba berhasil mengadu domba umat Islam hingga puncaknya umat Islam terbelah menjadi beberapa kelompok dan sekte. Pada zaman Majapahit, penghasut itu bernama Mahapati.
Mahapati diceritakan sebagai tokoh yang licik, suka menebar fitnah dan mengadu domba demi ambisinya menjadi patih Majapahit. Pada tahun 1295 Mahapati menghasut Ranggalawe agar melakukan makar atas dasar pengangkatan Nambi sebagai patih. Sebaliknya, ia juga menghasut Nambi agar menghukum kelancangan Ranggalawe. Akhirnya perang saudara pun meletus dan Ranggalawe tewas mengenaskan di Sungai Tambak Beras.
Zaman Kolonial Belanda, penjajah Belanda mampu mengadu domba rakyat pribumi di Nusantara. Satu sisi Belanda mengikat perjanjian damai dengan Jawa Mataram, tetapi diam-diam mereka juga mengadakan perjanjian rahasia dengan Raden Trunojoyo dari Madura dan kelompok orang Makassar. Akibatnya, perang saudara -yang merupakan mayoritas Muslim- tak dapat terelakkan. Dan yang diuntungkan dalam konfl ik ini adalah penjajah.
Cerita yang bertali-temali di atas, memberikan ibrah (pelajaran) sekaligus tadzkirah (peringatan) kepada kita, bahwa di saat ulama dan habaib (umat Islam) berada dalam satu garda barisan yang sama; semangat menjaga NKRI dan mempertahankan Islam Ahlusunah wal Jamaah an-Nahdliyah, sangat mungkin ada “kelompok lain” dengan kekuatan besar, massif, dan terencana yang sengaja menghasut ulama dan habaib dengan tujuan ingin melemahkan Islam dan bangsa Indoensia dengan cara menjadikan NU sebagai sasaran utamanya. Jika NU kalah, maka Islam di Nusantara akan lemah.
Abdul Muis Ali/sidogiri