لَا تَتَرَقَّبْ فَرَاغَ الْأَغْيَارِ فَإِنَّ ذَلِكَ يَقْطَعُكَ عَنْ وُجُودِ الْمُرَاقَبَةِ لَهُ فِيْمَا هُوَ مُقِيْمُكَ فِيْهِ
“Beramal jangan menunggu kosongnya penghalang, sebab demikian itu memutus muraqabah, padahal Allah menempatkanmu di dalamnya.”
Telah kita ketahui bahwa kehidupan dunia ini dipenuhi dengan fatamorgana. Betapa banyak hal yang dapat menghalangi seorang salik untuk fokus kepada satu titik: takwa kepada Allah. Dalam QS. Ali Imrân; [3: 14] Allah berfirman yang artinya: “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan kehidupan di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik.” Sebesar apapun usaha seseorang untuk menghindar dari hingar bingar dunia, ia tak akan mampu terlepas dari jerat-jerat godaan nafsu selama ia bernafas di dunia.
Kesibukan duniawi adalah medan laga bagi setiap manusia dalam menghadapi ujian dari Allah. Jika ia mampu menundukkan kesibukan itu serta bisa terbebas dari dampak negatif yang ditimbulkannya, berarti ia beruntung dengan memperoleh janji dari Allah; pahala dan surga. Tapi, apabila ia justru tunduk kepada kesibukannya, membiarkan kesibukan itu merampas sebagian besar masa hidupnya dalam kelalaian maka ia pantas mendapatkan ancaman dan menjadi sengasara selama-selamanya.
Maka tak ada tempat mengungsi bagi seorang hamba. Ia pasti akan berhadapan dengan kesibukan aktivitas duniawi. Yang membikin berbeda adalah sikap seorang hamba tersebut. Apakah ia akan menguasai kendali atau bahkan dikuasai tanpa sanggup mengatur alur hidupnya sendiri. Bagaimanapun seorang hamba tidak akan mungkin bisa lari, menjauh atau menghindar dari kesibukankesibukan itu. Yang mesti dilakukan adalah mengarahkan kesibukan duniawi tersebut pada hal-hal yang dapat mengundang keridhaan Allah. Yang seharusnya diupayakan adalah membawa kesibukan itu pada halhal yang sesuai perintah Allah. Tidak membiarkannya terjerembab dalam lumpur hawa nafsu.
Sekali lagi, adalah sesuatu yang mustahil untuk lari dari keragaman kesibukan duniawi, sedang ia masih berpijak dengan kedua kakinya di muka bumi. Yang Allah tuntut dari hambanya bukanlah enyah dari kesibukan dunia sama sekali. Tapi bagaimana sekiranya hal-hal yang rentan menyeretnya jauh dari Allah itu tidak sampai terjadi. Tentu dengan mengarahkannya pada upaya-upaya untuk mentaati perintah dan menjauhi larangan. Allah tidak meminta kita untuk uzlah di bukit gunung. Allah juga tidak meminta kita menyepi ke pulau-pulau terpencil. Sehingga dengan pikiran ceteknya ia menganggap memutus interaksi dengan sarana yang dapat menghubung pada hal-hal duniawi adalah jalan satu-satunya untuk bisa benar-benar menghamba kepada Allah.
Allah akan lebih senang seandainya kita justru mempraktekkan khalwah fi jalwah. Yaitu menyendiri dalam keramaian. Yaitu berusaha mengkosongkan hati dari mengikuti hawa nafsu di tengah gencarnya hujaman syahwat yang menggoda. Hal ini bisa dilakukan dengan menghilangkan ta’alluq atau ketergantungan kepada benda. Sehingga sebesar apapun godaannya, kita selalu cerdas mensenjatai hati untuk mengganyangnya. Sayangnya tidak banyak salik yang mengerti aturan dan kebijakan rabbani ini. Mereka cenderung mengalah dan pasrah pada ajakan hawa nafsu justru di laga awal pertandingan.
Maka sering kita dapati mereka terlena dengan masa muda. Mereka berfikir bahwa masa muda adalah masa indah yang sudah sepatutnya dihabiskan dengan bersantai dan mengikuti arus. Kerap kali masa muda menjadi kambing hitam dari rasa malas untuk menuntut ilmu dan tekun beribadah yang bersarang di hati mereka. Sehingga ia menghayal penuh harap masa tua akan jauh lebih religius dari keadaan sekarang. Masa tua adalah momen tepat untuk berubah dari kelamnya masa muda yang dihabiskan dengan berfoya-foya.
Seseorang yang tinggal di Eropa atau Amerika untuk keperluan studi, bisnis atau kegiatan lain barangkali akan berfikir untuk mendiamkan keadaan dari pada harus susah payah membuat perlawanan pada hegemoni gaya hidup di sana. Mereka akan pasrah dan merasa bahwa di hadapannya tidak ada pilihan lain selain menunggu kapan tiba waktu ia keluar dari Benua yang sangat menuhankan fantasi dunia itu. Tanpa sadar, pada kondisi tersebut ia tidak merasa butuh pada perlindungan dan pertolongan Allah. Demikian pula keadaan sebagian besar hamba ketika berhadapan dengan kesibukankesibukannya; lupa dari Allah Sang Maha Pencipta.
Adakah solusi bagi orang yang sering salah menempatkan sikap pasrah seperti yang dicontohkan di atas? Apa yang disampaikan oleh Ibnu Athaillah dalam hikmah kali ini adalah solusi jitu untuk keluar dari kondisi tersebut. Masing-masing dari kita mestinya memahami bahwa menunggu terbebas sama sekali dari kesyugulan dunia adalah menunggu sesuatu yang mustahil. Dan bisa jadi hal itu lantaran ketidak fahaman tentang hakikat dunia itu sendiri. Sampai kapanpun rintangan untuk sampai di haribaan Allah akan senantiasa ada. Tak bisa dihindari apa lagi diberangus sama sekali. Hanya bentuk rintangan demi rintangan itu bisa saja berbeda antar satu dengan yang lain. Rintangan masa muda tentu saja berbeda dengan rintangan di masa tua. Rintangan penuntut ilmu tentu saja tidak sama dengan rintangan yang dihadapi pelaku bisnis dan seterusnya.
Jika memang lari dari kesibukan dunia itu bisa dilakukan, maka satusatunya cara adalah dengan lari menuju Allah. Sesuai kandungan ayat dalam QS. Adz-Dzariyât: [51: 50] yang artinya: “Maka segeralah lari (kembali) kepada Allah. Sungguh aku seorang pemberi peringatan yang jelas dari Allah untukmu.” Dalam ayat tersebut kita diperintahkan untuk lari (kembali) kepada Allah dengan cara berlindung kepada-Nya. Hal itu bisa diwujudkan dengan banyak berdoa dan mengadu dalam munajat bersama Allah. Kita perlu mengadukan keadaan nafsu yang tak henti membujuk pada kelalaian sedang jiwa begitu ringkih untuk menolak ajakannya yang begitu dahsyat. Maka tak diragukan lagi jika seseorang mengambil cara ini untuk mengobati ketergantungannya pada hal-hal materi maka jalan keselamatan akan tampak begitu nyata.
Dengan banyak meminta perlindungan kepada Allah atau dalam bahasa kitab suci disebut aksi lari menuju Allah inilah tak sedikit daari para shahabat Rasul serta generasi salaf saleh berikutnya memberikan keteladanan kepada kita. Bukan dengan mengungsi dari gua ke gua yang lain upaya mereka untuk mempertebal keimanan. Melainkan dengan banyak berzikir dan merasa selalu diawasi dan diperhatikan oleh Allah. Sehingga perasaan selalu di awasi itu membuahkan rasa malu untuk sekejap saja lalai dari Allah Rabbul Izzati. Wallahu a’lam
2
3
0.5
3.5
4.5