Musuh Islam tidak bosan-bosan berupaya mencari kelemahan Islam dari berbagai aspeknya, hingga di titik terkecil sekalipun. Seakan-akan tidak ada waktu kecuali terus membuka lembaran Islam demi tujuannya itu. Padahal, Islam yang sudah tertata rapi nan sempurna tidak akan dijumpai celah kekurangannya.
Di antara yang dibuka dan diotak-atik oleh musuh Islam adalah kisah Isranya Rasulullah dari Masjidil Haram ke Baitul Maqdis dan Mikrajnya dari Baitul Maqdis ke langit tujuh hingga ke Sidratil Muntaha. Di setiap celah ceritanya mereka otak-atik dan kemudian disimpulkan sesuai dengan selera mereka.
Semisal, mereka berujar begini, “Yang menjalankan Isra Rasulullah itu bukan Rasulullah sendiri, melaikan Allah-lah yang berperan di sana. Terbukti, dalam ayat al-Quran disebutkan ‘asrâ’ bukan ‘yasrî’. Terlebih lagi, tambah mereka, dalam mengawali ayat itu Allah menggunakan kata ‘subhâna’ yang mengindikasikan, logika manusia tidak berlaku di sini. Jika demikina adanya, mengapa kita harus kagum dan menjadikannya sebagai mukjizat?”. Dan, masih banyak lagi asumsi-asumsi mereka mengenai peristiwa ini.
Untuk menjawab semacam asumsi-asumsi miring tentang Isra dan Mikrajnya Rasulullah ini sangat baik penulis tawarkan buku yang ditulis intelek Mesir, Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi yang bertajuk, al-Isrâ’ wal-Mikrâj. Buku ini sangat apik guna menambah wawasan kita mengenai peristiwa Isra dan Mikrajnya Rasulullah, utamanya seputar syubuhâtnya.
Baca juga: Al-Ghazali Dan Tantangan Para Filsuf
Di dalam buku setebal 109 hlm ini, Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi lebih konsentrasi pada sisi falsafah ilmunya daripada kronolagi ceritanya. Bahkan, cerita yang disebutkan di dalamnya terkesan pengantar pada kajian falsafah, yang dimaksudkan sebagai penegas, kenapa cerita Isra dan Mikrajnya Rasulullah itu dibikin seperti itu.
Selain itu, konsentrasi buku al-Isrâ’ wal-Mi’râj ini lebih menitik-beratkan pada jawaban tudingan-tudingan yang menyeruak terkait kisah hebat ini. Tidak heran jika nalar logika sering kali dimainkan oleh Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’wawi dalam menguraikan kisah ini.
Tidak lupa juga buku setebal 109 hlm ini mengupas ayat yang menjelaskan Isranya Rasulullah dari Masjidil Haram menuju ke Baitul Maqdis dan ayat yang menjelaskan Mikrajnya dari Baitul Maqdis menuju ke Langit yang tujuh. Metode untuk mengurai dua ayat ini Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi memilih cara tahlili, mempreteli kata demi kata, sehingga kesimpulan utuhnya akan ketemu diakhir pembahasannya.
Guna melengkapi kajian tahlili ini, Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi juga mengurai kandungan dua ayat tersebut dengan kajian falsafahnya serta mengaitkan dengan keyakinan para filsuf. Sehingga, uraiannya pun dapat diterima oleh mereka yang menganderungi ilmu filsafat sekalipun.
Baca juga: Lentera Umat Islam Dari Bumi Syam
Adapun sistematika penulisan buku ini selain yang disebutkan di atas adalah, sebelum masuk dalam pembahasan Isra dan Mikrajnya Rasulullah terlebih dahulu diurai peristiwa sebelumnya yang erat sekali kaitannya dengan peristiwa besar ini. Semisal, perlakukan orang kafir Quraisy yang selalu berbuat semena-mena kepada Rasulullah dan shahabatnya, perlakukan orang Thaif yang membuat gunung hendak menghujam mereka dengan batu dan wafatnya dua orang yang sangat dicintai dan menjadi pelindung beliau melancarkan misi dakwahnya. Yang mana beberapa deretan kisah ini merupakan latar belakang Rasulullah diisra-mikrajkan oleh Allah.
Untuk pembahasan, apakah Rasulullah melihat Allah pada saat Mikraj, juga dikupas secara khusus dalam buku setebal 109 hlm ini. Bahkan, masalah ini juga dikaitkan dengan ‘ru’yah’ yang dialami oleh Nabi Musa. Hanya saja, dalam menguraikan masalah ini Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’wari menggunakan metode janya-jawab, sehingga uraiannya pun terkesan terpaku pada pertanyaannya itu.
Cara seperti inilah yang menurut penulis menjadi nilai minus dari buku ini. Karena walau bagaimanapun, sitematika penulisan seperti ini dinilai penulis buku tidak leluasa membeberkan sebuah pembahasan karena mementingkan efisiensi jawaban. Selamat membaca!
Achmad Sudaisi/sidogiri