Belakangan jika kita mengamati masyarakat di sekeliling kita, kita akan mendapati sebuah kelompok yang dengan mudahnya menolak perbuatan yang mereka anggap salah. Ketika melihat satu hal yang tidak mereka pahami serta belum pernah mereka dengar hujah dan dalilnya dari pemuka kelompok mereka, mereka dengan serta-merta akan menolak dan membidah-bidahkan amaliyah tersebut. Mereka dengan lantang akan mengatakan, “Hai, perbuatan itu tidak boleh. Perbuatan itu tidak pernah dikerjakan oleh Nabi!”. Akibatnya, beragam amaliyah khas Ahlusunah menjadi korban tuduhan jahat mereka. Tahlilan, Maulidan, Manaqiban, dan beragam perayaan hari besar Islam disalahkan, dibidah-bidahkan. Pertanyaannya, apakah benar bahwasannya apa-apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW bisa dipastikan bahwa hal itu tidak boleh dilakukan? Apa benar jika ada suatu hal tidak pernah diperbuat oleh Rasulullah SAW berarti perbuatan itu haram atau makruh?
Sebelum membahas lebih dalam, perlu diketahui bahwasannya perbuatan yang ditinggalkan oleh Nabi adakalanya disengaja, atau diistilahkan dengan Tarku Wujudi, dan adakalanya tidak disengaja atau juga disebut dengan Tarku Adami. Pembahasan di sini adalah mengenai Tarku Adami, karena jenis inilah yang sering dijadikan hujjah oleh kelompok Salafi -Wahabi. Sedangkan jenis yang pertama, Tarku Wujudi sudah banyak dibahas oleh ulama Ushul Fiqh. (Lihat Manhajus-Salaf Bayna Nazhariyah wa Tazhbiq li Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki)
Baca Juga: Ideologi Ngawur Syiah
Lebih lanjut, Tarku Adami adalah perbuatan ataupun ucapan yang tidak pernah disinggung sama sekali oleh Nabi, karena memang belum pernah terbesit di benak Nabi, atau baru terjadi sepeninggal Nabi. Contoh mudahnya, doa ketika i’tidal, dalam sebuah hadis disebutkan, “Pernah suatu ketika kami melaksanakan shalat di belakang Rasulullah SAW. Kemudian saat beliau i’tidal, beliau berkata: Sami’allahu liman hamidah. (Tiba-tiba) seseorang di belakang beliau mengucapkan: Hamdan katsīran thayyiban mubārakan fīh. Kemudian setelah selesai salat Rasulullah SAW bertanya: Siapa yang bicara tadi? Makmum tadi menjawab: Saya. Rasulullah SAW pun berkata: Aku melihat sekitar tiga puluh malaikat saling berebut, siapakah diantara mereka yang mencatatnya duluan.” (HR. al-Bukhari). Contoh lain semisal pengumpulan mushaf al-Quran yang merupakan inisiatif Sayidina Umar RA.
Bacaan i’tidal dan inisiatif Sayyidina Umar RA tersebut merupakan jenis Tarku Adami. Rasulullah SAW yang belum pernah mengajarkan doa yang dibaca oleh sahabat tersebut justru mengapresiasi dan memuji bacaan tersebut. Begitu juga inisiatif Sayyidina Umar RA untuk mengumpulkan al-Quran, jika memang segala perbuatan yang tidak pernah dilakukan Nabi adalah perbuatan yang buruk tentu Sayyidina Umar RA sebagai sahabat dekat Nabi tidak akan melakukannya. Begitu juga Sayyidina Abu Bakar RA, beliau yang mulanya ragu, justru kemudian mendukung inisiatif tersebut.
Jadi diakui atau tidak, logika mereka yang menjadikan Tarku Adami sebagai hujjah merupakan logika yang keliru. Logika tersebut tidak akan menjadi benar baik menurut tinjauan syara’ maupun tinjauan akal. Pun jika kita melihat dalil-dalil syariat, baik yang mujma’ ‘alaih seperti al-Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas, ataupun yang mukhtalaf fih. Kita tidak akan pernah menjumpai Tarku Adami dijadikan sebagai dalil. Penggunaan dalil semacam ini tidak pernah dikenal di kalangan ulama. Penggunaan Tarku sebagai dalil baru diadakan oleh tokoh Salafi – Wahabi, Ibnu Taimiyah, kemudian terus diikuti oleh para pengikutnya. Bahkan penggunaan dalil Tarku saat ini telah menjadi semacam manhaj pemikiran kelompok Salafi -Wahabi. Jika tidak pernah diperbuat Nabi dan para salafus-salih berarti haram. Bidah. Sesat. (Lihat Husnut-Tafahumi wa ad-Darki li Mas’alatit-Tarki lil Imam Abdullah Shidiq al-Ghumary).
Baca Juga: Membungkam Wahabi Dengan Al-Ikhlas
Ungkapan di atas (Nabi tidak pernah melakukannya, berarti hal itu haram) merupakan sebuah ucapan yang awalnya haq, namun akhirnya batil. Memang benar, Nabi tidak pernah melakukannya. Namun jika disimpulkan, karena Nabi tidak pernah melakukannya, lantas perbuatan tersebut menjadi haram dan bid’ah, tentu hal itu merupakan tuduhan yang batil. Pengharaman akan suatu perbuatan membutuhkan nash sarih yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut dilarang.
Al-Allamah al-Muhaddits Syaikh Abdullah bin Shiddiq al-Ghumari berkomentar: “Ketiadaan perbuatan Nabi (Tarku Adami) jika tidak disertai nash yang sarih bahwasannya perbuatan yang ditinggalkan itu dilarang, maka tidak dapat dijadikan hujah (untuk melarang perbuatan tersebut). Bahkan paling jauh Tarku tersebut memberi pemahaman bahwa meninggalkan perbuatan tersebut masyru’ (tidak sampai dilarang untuk melakukannya). Dan jika memang ada perbuatan yang ditinggalkan Nabi yang terlarang, maka tentunya larangan tersebut muncul dari dalil lain yang menunjukkan adanya larangan itu.”
Jadi, memvonis haram dan bidah sebuah perbuatan hanya karena tidak dilakukan oleh Nabi dan salafus-salih adalah sebuah tindakan gegabah. Tidak semua hal yang ditinggalkan Nabi adalah perbuatan buruk. Apalagi haram. Terbukti, banyak bidah hasanah yang kemudian dimunculkan oleh para ulama pewaris Ahlusunah wal Jamaah. Seperti Tahlilan, Maulidan, Manaqiban dan lain sebagainya. Wallahu A’lam.
Mustafid Ibnu Khozin/sidogiri