Pada edisi sebelumnya, telah dibahas hukum memelihara burung berkicau yang hukumnya diperbolehkan. Hukum boleh didasarkan pada sebuah hadis dan pendapat dari Imam Qaffal yang dikutip Ibnu Hajar dalam kitab Mughni al-Muhtaj (V/547). Tidak hanya diperbolehkan memelihara, juga tidak ada kewajiban mengawinkannya, sebagaimana di-ilhaq-kan pada hukum kepemilikan budak yang tidak berkewajiban mengawinkannya.

Hanya kemudian, bagaimana jika burung piaraan tersebut tetap dimiliki oleh seseorang yang berihram. Hal ini bukan pada hukum pemeliharaannya, melainkan keterkaitan dengan hukum larangan orang yang sedang berihram untuk berburu hewan liar. Dalam hukum ihram, dalam al-Quran dijelaskan larangan berburu hewan liar bagi orang yang berihram. Dalam al-Ma’idah ayat 95 disebutkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ. أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ ٱلْبَحْرِ وَطَعَامُهُۥ مَتَٰعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ ٱلْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا ۗ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِىٓ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.“ (QS. Al-Maidah [5]: 95-96).

Hanya kemudian, apakah larangan tersebut mencakup pada pemeliharaan burung liar di rumah, di tanah air, atau hanya saat pelaksanaan ihram dilarang memburu hewan liar di tanah haram?

Dalam Ahkamul Fuqaha no. 290 yang merangkum Keputusan Konferensi Besar Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama Ke 1 Di Jakarta Pada Tanggal 21–25 Syawal 1379 H./18–22 April 1960 M. diputuskan bahwa orang yang sedang ihram, baik haji atau umrah wajib melepaskan burungnya yang halal dagingnya dan semua hewan wahsyi (liar) yang dimiliki, karena sewaktu ihram hak kepemilikan burung tersebut hilang. Referensi keputusan ini diambil dari kitab Hasyiyah al-Bajuri (I/330) yang redaksinya demikian:

)قَوْلُهُ وَوَضْعُ الْيَدِّ عَلَيْهِ) أَيْ بِحَيْثُ يَكُوْنُ فِيْ تَصَرُّفِهِ وَلَوْ بِشِرَاءٍ أَوْهِبَةٍ أَوْ إِجَارَةٍ أَوْ إِعَارَةٍ فَيَجِبُ عَلَى مَالِكِهِ إِرْسَالُهُ إِذَا أَحْرَمَ لِزَوَالِ مِلْكِهِ عَنْهُ بِاْلإِحْرَامِ وَلاَ يَعُوْدُ لَهُ بِالتَّحَلُّلِ مِنَ النُّسُكِ إِلاَّ بِتَمَلُّكٍ جَدِيْدٍ .

“(Ungkapan Syaikh Ibn Qasim al-Ghazi: ‘Dan haram menguasai hewan buruan- ketika ihram)’” ‘Maksudnya sekira hewan itu berada dalam pemeliharaannya, meskipun dengan membeli, hibah, menyewa, atau meminjam. Maka si pemilik wajib melepasnya ketika dirinya ihram, karena hilangnya hak milik dari hewan tersebut disebabkan ihramnya. Dan hak milik hewan itu tidak kembali lagi padanya dengan sebab ia tahallul dari manasik, kecuali dengan kepemilikan baru.’”

Dari redaksi keputusan dan referensinya, larangan dimaksud mencakup pada kepemilikan hewan liar di rumah. Meski sebenarnya, soal kepemilikan yang hilang saat ihram ini, ulama masih berselisih pendapat. Dalam pandangan al-Ashah dalam redaksi di atas memang hilang sejak pemiliknya ihram. Akan tetapi, menurut al-Ashah dalam pandangan al-Jurjawi dalam kitabnya at-Tahrir, sebagaimana dikutip oleh Imam Nawawi dalam al-Majmu’-nya, menyatakan bahwa kepemilikan burung tidak hilang ketika ihram.

Ternyata, selisih pendapat ini tidak hanya menyangkut hilang dan tidaknya kepemilikan saat pelaksanaan ihram. Soal kewajiban melepas hewan piaraan di rumah juga terjadi khilaf pendapat. Dalam Tafsir al-Qurthubi (6:323) ditemukan redaksi demikian:

(الثامنة) إذا أحرم وبيده صيد أو في بيته عند أهله—إلى أن قال—وقال الشافعي في أحد قوليه سواء كان في يده أو في بيته ليس عليه أن يرسله وبه قال أبو ثور وروي عن مجاهد وعبد الله بن الحرث مثله وروي عن مالك

“Jika seseorang ihram dan ia memiliki hewan buruan atau di rumah bersama keluarganya….. di salah satu dua pendapat Imam Syafi’i, baik di tangan atau di rumahnya, hewan tersebut tidak wajib dilepas. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Abu Tsur, demikian pula diriwayatkan dari Imam Mujahid dan Imam Abdullah bin al-Harts, dan diceritakan dari Imam Malik.”

Dari keterangan ini, ditemukan pendapat yang memang berbeda dalam madzab Syafii; wajib dan tidak melepas hewan atau burung yang ada di rumah saat ihram. Satu pendapat wajib melepas dan satu pendapat lain tidak wajib. Selain redaksi dalam pendapat al-Bajuri di atas, kelanjutan dalam Tafsir al-Qurthubi juga menyebut adanya dua pendapat teresebut:

وقال إبن أبي ليلى والثوري والشافعي في القول الأخر عليه أن يرسله سواء كا في بيته أو في يده فإن لم يرسله ضمن

“Abu Laila, ats-Tsauri dan asy-Syafi’i dalam satu pendapat yang lain, orang yang ihram wajib melepaskan hewan buruan di rumahnya atau di tangannya. Jika tidak dilepas, mewajibkan dhaman (ganti rugi).”

Baca juga: Memelihara Burung Berkicau

Motif perbedaan pandang ini, disebabkan perbedaan sisi pandang dalam menyikapi larangan pada ayat di atas, terutama pada kalimat:

وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ ٱلْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا

Menurut ulama yang mewajibkan melepas hewan buruan atau burung di rumah karena ayat ini bersifat umum, mencakup hak kepemilikan dan penggunaan (tasharruf). Dengan demikian, meski hewan buruan di rumah jika statusnya masih dalam kepemilikan wajib dilepas saat ihram. Tentu saja, hukum ini berlaku sejak niat dalam ihram, termasuk hak kepemilkan menjadi hilang seketika saat ihram dimulai.

Adapun pendapat yang menyatakan tidak wajib melepas memiliki pandangan dari sudut makna ayat tersebut. Maksudnya, secara makna ayat di atas tidak ada larangan memiliki hewan sejak permulaan ihram dan tidak juga melarang menetapkan hak kepemilikan hewan. Artinya, jika hewan buruan, seperti burung sudah dimiliki sejak sebelum niat ihram, baik haji atau umrah, maka tidak wajib melepasnya.

Menyikapi dua pendapat ini, alangkah baiknya mengikuti pendapat yang mewajibkan untuk melepasnya. Terlebih maksud melepas di sini bukan berarti harus dilepas ke alam terbuka, melainkan kepemilikannya. Bisa jadi, sebelum berangkat haji atau umrah diberikan kepada saudara atau anaknya yang ada di rumah. Setelah selesai ibadah, sesampai di rumah, diminta kembali. Wallahu a’lam.

M. Masyhuri Mochtar/sidogiri

Baca juga: Orang Sakit Mengqashar Salat

Baca juga:

Spread the love