لَا تَرْفَعَنَّ إِلَى غَيْرِهِ حَاجَةً هُوَ مُوْرِدُهَا. فَكَيْفَ يَرْفَعُ غَيْرُهُ مَا كَانَ هُوَ لَهُ وَاضِعًا؟
مَنْ لَا يَسْتَطِيْعُ أَنْ يَرْفَعَ حَاجَةً عَنْ نَفْسِهِ فَكَيْفَ يَسْتَطِيْعُ أَنْ يَكُوْنَ لَهَا عَنْ غَيْرِهِ رَافِعًا؟
“Jangan sekali-kali panjatkan pinta pada selain Dzat yang menyebabkan engkau meminta! Bagaimana mungkin seseorang mampu menghilangkan sesuatu, sementara dia bukan penyebab munculnya sesuatu itu? Orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, bagaimana mungkin dia mampu memenuhi kebutuhan orang lain?”
Sejatinya kalam hikmah ini adalah bukti dan uraian lebih lanjut keesaan Allah, baik dalam Dzat, sifat, atau perbuatan. Dialah pengatur semesta jagat raya, tempat mengadu dan meminta. Dialah Sang Maha Esa. Tiada sekutu bagi-Nya. Seyogyanya seorang hamba memusatkan angan, keluh-kesah, dan harapan hanya kepada-Nya. Tidak berbagi dengan orang lain yang sama-sama lemah tak berdaya karena itu bagian dari ‘menyekutukan’-Nya.
Dalam kalam hikmahnya ini, Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari mengajak pembaca sekalian menggunakan logika sebagai bukti atas keesaan-Nya. Beliau berujar, “Jika engkau membutuhkan sesuatu atau menghadapi kesulitan, mulailah dengan mencari siapa penyebab kebutuhan dan kesulitan itu. Kalau engkau sudah menemukannya, maka kembalikan semua urusanmu kepadanya.” Sebab, bagaimana mungkin seseorang mampu memenuhi kebutuhan atau menghilangkan kesusahan, sementara ia bukan penyebab timbulnya kesusahan atau kebutuhan itu? Tentu penyebabnyalah yang mampu memenuhi dan menyudahi semua.
Jika pada edisi sebelumnya telah dijabarkan panjang-lebar bahwa segala kekuatan yang nampak di mata hakikatnya dari Allah semua, yang seandainya kekuatan itu dicabut, niscaya benda-benda itu tak berguna. Maka setelah keyakinan ini dipahami secara sempurna, nyatalah bagi kita semua kebutuhan yang melilit dan kesulitan hidup yang menjepit bermuara dari-Nya. Apabila demikian adanya, lalu kemanakah kita akan mengiba untuk mengabulkan segenap pinta dan menyudahi semua derita? Apa jawab logika?
Secara logika, untuk menyelesaikan sebuah persoalan harus dikembalikan pada titik awal munculnya persoalan itu. Maka, menjawab pertanyaan di atas hanya Dzat yang menyebabkan kebutuan itulah yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Hanya Dia yang menguji dengan kesulitan yang bisa menghilangkan kesulitan itu. Hanya Dia yang memberi kenikmatan yang patut menerima uangkapan syukur. Siapa lagi penyebab kebutuhan, penguji kesulitan, dan pemberi kenikmatan, kalau bukan Allah Sang Maha Esa? Jelaslah semua harus dikembalikan kepada-Nya karena hakikatnya semua bermuara dari-Nya.
Agar kesimpulan logika ini kian mengena, patutlah bagi kita membuka mata lebih terbuka. Mari sejenak kita lupakan pelantara dan menerawang jauh dari potongan gambar kehidupan yang terus bergerak pada rahasia yang terkandung di dalamnya. Bukankah terlalu biasa kita melupakan aktor di balik layar dan fokus pada pertunjukan yang tersaji di depan mata. Sebagai contoh kecil adalah orang miskin yang menerima santunan dari yayasan yang menghimpun donasi dan sedekah orang-orang kaya yang sadar berbagi. Ketika si miskin itu menerima bantuan, ia berucap syukur penuh bahagia kepada pihak yayasan yang menyerahkan bantuan itu. Sementara orang kaya yang sudah ikhlas menyisihkan sebagian rezekinya kerap luput dari perhatian. Tak terbesit dalam angan si miskin bahwa sejatinya orang kaya itulah pemberi sebenarnya. Bukan pihak yayasan yang hanya sekadar kepanjangan tangan.
Baca juga: Bagaimana Cara Terbaik Berlindung Kepada Allah ?
Maksud mengembalikan semua kepada Allah adalah kita tidak menggantungkan angan-angan kecuali kepada-Nya dan meyakini secara pasti pelantara apapun tidak punya kekuatan secuilpun. Dengan demikian hijab penghalang berupa pelantara sirna dari pandangan kita dan teranglah cahaya hakikat kekuasaan Allah di mata yang sempat tertutupi buram pelantara. Tampak jelas hukum dan pengaturan Allah dalam setiap gerakan suatu benda. Benar-benar nyata kuasa Allah dalam setiap inci tubuh kita. Pada kondisi seperti ini, yang menjadi pusat perhatian kita adalah Allah yang berada dibalik semua hukum sebab-akibat. Allah berfirman (artinya), “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-A’raf [07] : 54)
Kisah hijrah Rasulullah dengan sahabat karib Beliau, Sayidina Abu Bakar bisa dibuat teladan. Saat itu Baginda dan Sayidina Abu Bakar terdesak kejaran musuh sampai ke sudut goa Hira’, sementara di bibir goa musuh menyisir menyusuri jejak kaki mengendus keberadaan mereka berdua. Di tengah gusaran dan ketegangan Sayidina Abu Bakar yang begitu tampak dari wajahnya, Baginda berucap, “Wahai Abu Bakar, apa pendapatmu tentang dua orang yang Allah menjadi pihak ketiga?” Meskipun kondisi kala itu begitu mendesak. Kemungkinan selamat dari kejaran musuh begitu sempit. Namun, kepercayaan dan keyakinan atas hukum dan kuasa Allah mengubah segalanya. Apa yang secara perhitungan sebabakibat terasa sulit bahkan hampir mustahil menjadi berbalik seratus delapan puluh derajat berkat keyakinan, bahwa ketika Allah berkehendak, mudah sekali bagi-Nya mendobrak akurasi sebab-akibat.
Keyakinan dan keteguhan semacam inilah yang perlu dipupuk dan ditanam dalam setiap sanubari insan. Keyakinan inilah yang mampu membuka mata hati dan memandang sesuatu secara hakiki. Keyakinan ini pula yang mampu membuka tirai sebab agar cahaya Dzat Penyebab yang Maha Perkasa menjadi terang benderang di pelupuk mata. Dengan keyakinan ini pula seorang insan akan diangkat derajatnya ke jenjang suluk yang lebih tinggi dan makam yang lebih dekat dengan Sang Pencipta.
Baca juga: Rekreasi tidak Boleh Qashar?