ما بَسَقَتْ أَغْصانُ ذُلٍّ إلّا عَلى بَذْرِ طَمَعٍ

“Berbagai cabang kehinaan tidak akan tumbuh kecuali di atas bibit keserakahan (tamak).”

Pada kalam hikmah kali ini, Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari menyampaikan satu kalam hikmah yang begitu ringkas, tapi mengandung makna dan pengertian yang sulit menjumpai batas.

Kita akan memulai pembahasannya dengan mengerti sumber kehinaan. Bahwa kehinaan tidak akan muncul kecuali ada sifat serakah. Dan sifat serakah itu harusnya telah lenyap dengan kita berislam. Berislam dengan sebenar-benarnya Islam.

Mengapa Islam? Karena agama Islam membawa konsep keesaan (tauhid). Bahwa Allah adalah esa. Esa dalam dzat-Nya. Esa dalam sifat-Nya. Esa dalam pekerjaan-Nya. Esa dalam memberi kemanfaatan. Esa dalam menebar kemudharatan. Esa dalam menghidupkan. Esa dalam mematikan. Esa dalam segala hal.

Kita sebagai umat Islam dituntut untuk meyakini semua konsep keesaan tersebut. Dan semua selain Allah tidak bisa melakukan dan menentukan sesuatu, tanpa seizin dari-Nya.

Kepercayaan ini selanjutnya diperkuat dengan beragam syariah yang Allah tetapkan. Dengan semua ibadah, maka hati kita akan semakin mantap dalam mengesakan Allah dan menyembah-Nya. Dan ketika keyakinan ini sudah menancap kuat di dalam hati, serta merasuk sesak ke dalam akal pikiran kita, maka tidak ada satu kebutuhan pun, melainkan diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Maka tidak akan ada lagi tawakal yang disandarkan kepada sesama makhluk. Dengan demikian, hati dan pikiran tidak akan pernah rela untuk mengerjakan sesuatu yang tidak didasari atas rida Allah.

Pola pikir inilah yang ada di dalam hati dan pikiran semua kekasih Allah. Mereka tidak akan sekali-kali mengerjakan sesuatu yang tidak diridai Allah. Terlebih perkara yang memang jelas membuat-Nya murka. Maka tidak heran bila kita banyak menjumpai ulama yang tidak gentar sedikit pun meski berada di depan penguasa zalim. Bahkan mereka rela dimasukkan ke dalam penjara. Juga tidak mundur meski dihadapkan dengan moncong senjata.

Baca Juga: Barometer Taat Dan Maksiat

Mengomentari hal ini, Syekh Said Ramadhan al-Buthi bercerita tentang Badiuz-Zaman, Syekh Said an-Nursi. Suatu ketika, beliau ikut mengangkat senjata ketika terjadi perang dunia pertama. Akhirnya, beliau tertangkap dan ditawan oleh pasukan Rusia.

Suatu hari di dalam penjara, petinggi Rusia datang ke dalam penjara. Setiap dia berjalan, maka semua orang berdiri tertunduk hormat kepadanya. Hingga dia sampai ke sel Syekh Said an-Nursi. Namun, beliau tetap diam dan tidak bergerak sama sekali, padahal yang lain sudah berdiri ikut menghormat.

Melihat ada tawanan yang tidak berdiri, pembesar Rusia itu kaget. “Apakah kamu tidak mengenalku?” Tanya dia kepada Syekh Said an-Nursi.

“Aku mengenalmu. Engkau adalah orang yang dipanggil Nicola.” Jawab beliau.

“Kalau begitu kamu meremehkan Rusia?”

“Bukan begitu, tapi Tuhan yang aku sembah melarangku untuk merendah kepada selain-Nya.”

Nicola marah besar. Dia memutuskan bahwa Syekh Said an-Nursi akan diadili di Mahkamah Perang. Dan tentu saja hukumannya pasti hukuman mati.

Hingga tiba waktu pengadilan. Tiba-tiba Nicola mendatangi Syekh Said an-Nursi. Ternyata setelah berfikir lama, Nicola memutuskan untuk mengampuni Syekh Said an-Nursi. “Aku kagum pada agamamu yang menjaga kehormanmu sampai sebatas ini.”

Begitulah seseorang yang telah benar-benar menjadikan Allah Maha Esa. Dia akan jatuh pada kehinaan. Karena dia tidak akan pernah merendahkan diri kepada selain-Nya. Apalagi merendah dan tamak kepada orang lain.

Tamak di sinilah yang menurut Syekh Ibnu Athaillah menjadi sumber kehinaan. Bukankah sifat tamak merupakan aib yang mencela sifat kehambaan? Sifat tamak adalah bibit dari segala macam kehinaan dan kerendahan. Berharap kepada manusia, serta ragu-ragu dengan kuasa dan takdir Allah.

Baca Juga: Mewaspadai Ragam Tipu Muslihat Setan

Abu Bakar al-Warraq al-Hakim berkata: “Andaikata sifat tamak itu dapat ditanya, ‘Siapakah ayahmu?’ Pasti dia akan menjawab, ‘Ayahku adalah ragu terhadap takdir Allah’. Dan bila ditanya, ‘Apakah pekerjaanmu?’ Jawabannya, ‘Pekerjaanku adalah merendahkan diri’. Dan bila ditanya, ‘Apakah tujuanmu?’ Jawabnya, ‘Tujuanku adalah kesia-siaan.”

Suatu hikayat juga mengatakan, Ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib masuk ke masjid Jami’ di Basrah, beliau melihat banyak orang yang memberi ceramah di dalamnya. Maka beliau menguji mereka dengan beberapa pertanyaan. Barang siapa yang tidak dapat menjawab dengan tepat, maka mereka diusir dan tidak diizinkan memberi ceramah di masjid itu lagi.

Hingga akhirnya beliau sampai ke majelis Hasan al-Basri. Beliau bertanya, “Apakah yang mengokohkan agama?”

Hasan al-Bashri menjawab, “sifat wara (menjaga diri sendiri untuk menjauhi segala yang bersifat syubhat dan haram).”

Sayidina Ali bertanya lagi, “Apakah yang dapat merusak agama?”.

“Tamak (serakah)”.

Mendengar jawaban itu, Sayidina Ali tetap memperbolehkan Hasan al-Bashri mengajar dan memberi ceramah kepada publik.

Begitulah sifat serakah. Dia tidak akan pernah merasa cukup meski segunung emas di dalam sakunya. Karenanya, dia akan terus merendahkan diri kepada orang lain yang mampu memenuhi keserakahannya, yang pada hakikatnya tidak akan pernah terpenuhi.

Padahal semua hamba pasti akan makan rezeki Allah. Hanya saja caranya mungkin berbeda-beda. Ada yang makan dengan kehinaan, yaitu merendahkan diri dan meminta-minta. Ada yang makan rezeki-Nya dengan bekerja keras dan terus tawakal. Karena sesungguhnya Allah yang telah menghidupkan semua yang ada di atas muka bumi, dan sesungguhnya Allah pula yang menjamin penghidupan mereka.

Wallahu a’lam.

Spread the love