إِنَّمَا أَوْرَدَ عَلَيْكَ الْوَارِدَ لِتَكُوْنَ بِهِ علَيْهِ وَارِدًا

 أَوْرَدَ عَلَيْكَ الْوَارِدَ لِيَسْتَلْمِكَ مِنْ يَدِ الَأغْيَارِ وَيُحَرِّرَكَ مِنْ رِقِّ الَأثَارِ

 أَوْرَدَ عَلَيْكَ الْوَارِدَ لِيُخْرِجَكَ مِنْ سِجْنِ وُجُوْدِكَ إلَى فَضَاءِ شُهُوْدِك

“Allah memberimu warid agar engkau mendekat kepada-Nya. Allah memberi warid untuk menyelamatkanmu dari cengkeraman bayang-bayang makhluk dan membebaskanmu dari diperbudak makhluk. Allah memberimu warid untuk melepaskanmu dari penjara wujud menuju cakrawala penyaksian.”

Ada kalam hikmah kali ini, secara gamblang Syekh Ibnu Athaillah memaparkan tiga tujuan Allah mendatangkan warid ke dalam hati hamba-Nya. Banyak ulama menjelaskan ketiga poin ini dengan panjang lebar. Namun pada dasarnya, ketiganya adalah satu kesatuan. Karena antar satu dengan lainnya ada keterikatan yang sangat erat.

Sebelum membahas ketiga poin dimaksud, alangkah baiknya kita memahami secara komprehensif apa makna warid itu sendiri. Syekh Ahmad Zaruq di dalam Syarhul-Hikam-nya mengatakan: “Warid adalah inspirasi ketuhanan yang Allah hadirkan ke dalam hatimu.”

Maka warid berbeda dengan ilmu yang diperoleh melalui belajar. Karena warid adalah ilmu Allah yang langsung dihujamkan ke dalam hati, serta dipastikan baik dan benar. Sedangkan ilmu yang diperoleh melalui belajar, masih berproses di dalam akal, dan tidak menjamin semuanya bisa masuk ke dalam hati. Terlebih, ilmu yang diperoleh melalui belajar belum bisa dipastikan baik dan benar. Belum bisa dipastikan baik karena banyak ilmu yang menyesatkan. Belum bisa dipastikan benar karena boleh jadi ada temuan-temuan baru yang akan merevisi kebenaran yang pertama.

Contoh mudahnya, Zaid adalah seorang pelajar. Pada bulan Dzul Hijjah dia mengkaji sunah-sunah Rasulullah. Sehingga dia tahu bahwa mendahulukan sisi sebelah kanan merupakan sunah di dalam setiap kebaikan. Hal itu dia pahami setelah beberapa kali berdiskusi dengan sahabatnya. Tapi dalam aktifitas kesehariannya, dia tidak pernah memperhatikan sunah Rasulullah yang telah dipelajari. Maka ilmu yang didapat hanya berputar di otaknya, tanpa pernah masuk ke dalam hati, sehingga tidak berefek apa-apa pada aktivitas sehari-harinya.

Baca Juga: Agar Lebih Dekat Dengan Allah

Berbeda dengan Umar, seorang yang lalai, sering tinggalkan kewajiban dan selalu mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan duniawi. Suatu ketika, di tengah padatnya dia bekerja, tanpa sengaja ia mendengar sayup-sayup suara al-Quran dari smartphone yang diputar temannya. Tanpa mengerti keseluruhan maknanya, hati Umar sontak terhentak. Dia tahu suara itu adalah ayat Allah. Dia langsung sadar, bahwa semua yang dilakukan selama ini adalah sia-sia. Lalu dia sadar dan menyesali perbuatannya. Dia bertaubat dan kembali menghambakan diri kepada Allah. Maka inilah yang dinamakan warid. Inspirasi ketuhanan yang akan dibahas di dalam kalam hikmah kali ini.

Selanjutnya, seperti disampaikan oleh Syekh Ibnu Athaillah, bahwa Allah menurunkan warid ke dalam hati hamba pilihan-Nya untuk tiga tujuan mulia.

Pertama, agar hamba yang mendapatkannya lebih mendekatkan diri pada Allah. Namun, perlu dipahami, ‘mendekatkan diri’ di sini tidak bisa diartikan memangkas dimensi ruang ataupun waktu, melainkan menghadapkan jiwa dan raga keharibaan Allah sang pencipta. Dengan penuh takdzim, tunduk dan patuh pada semua titah-Nya.

Menghadapkan segenap jiwa raga tidak akan mudah bila hati masih terpaut pada dunia. Menjadikan selain Allah sebagai sandaran. Atau.

Penghambaan jiwa raga akan sempurna bila hati telah kosong dari kepentingan-kepentingan sesaat. Akal harus terus berfikir. Hati harus terus merasa. Maka jiwa akan menuntun seorang hamba untuk betul-betul menghamba secara total. Itulah kegunaan warid yang Allah turunkan.

Kedua, Allah menganugerahkan warid untuk menyelamatkan hamba dari cengkeraman bayang-bayang makhluk dan membebaskannya dari diperbudak makhluk.

Ketika seorang hamba telah menghadap Tuhannya dengan totalitas kepasrahan, jiwa raganya telah hilang dari kefanaan dunia, dapat dipastikan dia telah merdeka dari setiap godaan-godaan fana. Dia menjadi hamba yang betul-betul hanya menghamba kepada Allah. Dan itulah sebenar-benarnya kebebasan. Tanpa ada belenggu-belenggu duniawi.

Warid ini mampu membebaskan hamba dari belenggu dunia. Misalnya dapat kita lihat pada kisah Nabi Nuh dan puteranya, Kan’an. Ketika ditawari menaiki perahu yang telah dibuat oleh ayahnya, Kan’an malah tetap terbelenggu dengan eksistensi makhluk. Dia menyangka bahwa makhluk bisa menjadi sandaran untuk selamat. Kan’an berkata sebagaimana dikisahkan di dalam al-Quran yang artinya, “Aku akan naik ke atas gunung, yang bisa menyelamatkan aku dari air.” (QS. al-Huud [11]: 43)

Baca Juga: Tiga Jalan Munuju Allah

Lihat, bagaimana hati Kan’an masih tersandera dengan makhluk Allah; gunung. Memasrahkan keselamatannya kepada selain Allah serta berlogika tanpa mempedulikan Dzat yang Mahakuasa.

Hal ini berbeda dengan Warid yang Allah hadirkan ke dalam hati Nabi Nuh. Yang dengannya beliau sama sekali tidak memperhatikan pada selain Allah. Beliau berkata sebagaimana yang disampaikan al-Quran yang berarti, “Hari ini tidak akan ada yang selamat dari keputusan Allah, kecuali mereka yang mendapatkan kasih sayang-Nya.” (QS. al-Huud [11]: 43) Begitulah warid yang telah Allah tancapkan ke dalam hati Nabi Nuh, sehingga membebaskan beliau dari segala penjara makhluk.

Adapun tujuan yang ketiga, sebagaimana disampaikan Syekh Ibnu Athaillah: “Allah memberimu warid untuk melepaskanmu dari penjara wujud menuju cakrawala penyaksianmu.”

Apakah yang dimaksud dengan penjara wujud? Yang dengan datangnya warid kita akan terbebas darinya? Penjara wujud adalah keterbatasan seorang hamba ketika masih tersandera dengan jasadnya. Dengan jasad yang ada ini, seorang hamba hanya mampu berada di dalam satu dimensi ruang dan waktu. Tidak bisa mengetahui seluruh alam yang merupakan ciptaan dan tanda kekuasaan Allah.

Maka mengherankan, bila ada hamba yang rela jauh-jauh beribadah ke Tanah Suci Makkah. Berpuluh-puluh kilo, beratus-ratus kilo, bahkan beribu-ribu kilo jauhnya perjalanan yang ditempuh. Namun jarak yang sangat dekat, bahkan berkumpul dengan dirinya sendiri tidak dapat didatangi. Hati yang tak sesentipun berjarak belum pernah ditaklukkan. Maka pada hakikatnya, hamba yang demikian masih terpenjara dengan wujudnya sendiri. Karena menaklukkan hati dari semua aghyar (selain Allah), adalah kebebasan yang hakiki.

Tiga hal inilah yang ingin Allah anugerahkan kepada setiap hamba yang mendapatkan warid. Dan telah dikupas tuntas oleh Syekh Ibnu Athaillah.

Spread the love