Paham feminisme dan kesetaraan gender yang menjadi isu menarik di kalangan umat Muslim hingga kini, awalnya hanyalah suatu wacana yang dianut oleh segelintir orang. Akan tetapi, kemudian berkembang dan menjadi sebuah pergerakan yang terus diperjuangkan. Kaum feminis berdalih memperjuangkan hak-hak perempuan yang selama ini dianggap telah terpasung. Namun anehnya, ada ketimpangan dari yang mereka lakukan. Mengenai fenomena ini, simak ulasan Dr. Henri Shalahuddin, Direktur Ekskutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) kepada Ahmad Rizqon dari Sidogiri Media beberapa waktu lalu.
Bisa dijelaskan latar belakang dari gerakan kesetaraan gender?
Gerakan kesetaraan gender sebenarnya atas dasar kebencian terhadap laki-laki, karena para perempuan di Barat latar belakang sejarahnya ditindas begitu lama oleh agama yang mereka yakini, oleh tradisi yang dibentuk dari keagamaan mereka, dan oleh institusi politik yang memerintah mereka. Apa bentuk penindasannya? Sampai tahun 1800-an, perempuan di benua Eropa tidak memiliki hak kepemilikan. Jika sudah menikah, maka harta mereka dikuasai oleh suaminya. Jika suaminya meninggal, dan mereka ingin berdagang atau berusaha, usaha tersebut tidak boleh atas nama mereka sendiri sebagai perempuan. Mereka harus menggunakan nama anak laki-laki, saudara laki-laki, ayah, kakek, atau pamannya. Bahkan, di Amerika sampai tahun 1920, seorang perempuan tidak boleh ikut dalam pencoblosan, apalagi menjadi kandidat.
Sebelum itu, perempuan sering mengalami masalah inkuisisi dan penyiksaan. Gereja menggunakan alat-alat penyiksaan secara kreatif, dan mayoritas yang disiksa dalam inkuisisi adalah perempuan janda atau perawan tua yang kaya, dituduh melakukan heresi atau bidah dalam agama Kristen. Praktik semacam itu berakar dari kitab suci mereka. Elizabeth Cady Stanton menafsiri Bibel dengan cara baru dalam The Woman’s Bible. Di Indonesia, Amina Wadud melakukan hal serupa terhadap Al-Quran. Namun, hal ini menjadi berbahaya ketika feminisme merambah ke studi Islam.
Lebih berbahaya lagi ketika mereka membagi Al-Quran menjadi dua kategori; ada ayat-ayat yang misoginis, membenci perempuan, dan ada ayat-ayat yang ramah perempuan, mencintai perempuan. Cara menafsirkan dua kategori ayat tersebut berbeda. Untuk ayat-ayat yang dianggap “ramah” perempuan, cukup ditafsirkan secara literal saja. Sementara untuk ayat-ayat yang dianggap merugikan perempuan, mereka menafsirkannya secara kontekstual dan hermeneutika.
Kaum feminis melakukan pergerakan dengan dalih memperjuangkan hak-hak perempuan.
Sebenarnya, gerakan kesetaraan gender adalah gerakan politik. Aktivis gender atau aktivis feminisme bukanlah aktivis kemanusiaan. Mereka tidak berjuang untuk menolong semua perempuan, dan juga tidak mewakili semua perempuan. Banyak perempuan yang mengalami penderitaan dan ketidakadilan, tetapi karena latar belakang dan afiliasi agamanya berbeda, mereka tidak mendapatkan dukungan. Sebagai contoh, Palestina dijajah oleh Israel, dan jutaan perempuan Palestina mengalami penyiksaan. Di mana suara feminis internasional? Di mana suara feminis Indonesia?
Contoh yang ada di Indonesia adalah kontroversi di salah satu universitas di Yogyakarta, di mana sejumlah mahasiswi yang memakai cadar menjadi polemik. Keputusan kampus melarang mereka memakai cadar dengan alasan jargon feminis; “tubuhku adalah hakku” dan “tubuhku adalah pilihanku.” Jika jargon tersebut diterapkan, kelompok feminis seharusnya membela perempuan atau mahasiswi yang bercadar tersebut. Namun, kenyataannya, aktivis feminis justru mendukung kebijakan kampus dan terdapat inkonsistensi dengan jargon mereka sendiri.
Intinya, feminisme bukanlah aktivisme kemanusiaan. Gerakan kesetaraan gender adalah gerakan politik. Politisi dari kalangan feminis ingin mendapatkan nilai tawar dan posisi politiknya dengan mengatasnamakan mewakili perempuan. Namun, perempuan mana yang diwakili? Sebagai contoh, pada saat ada RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual), banyak penolakan dari organisasi keputrian Islam, salah satunya AILA (Aliansi Cinta Keluarga). Ketika berhadapan dengan beberapa anggota DPR perempuan dari partai-partai nasionalis yang sekuler, AILA memberikan catatan-catatannya. Sayangnya, catatan-catatan tersebut ditinggalkan tanpa dibaca.
Apakah gerakan kesetaraan gender lebih tepat disebut sebagai gerakan kebebasan?
Iya. Gerakan kesetaraan gender, khususnya gelombang kedua, juga berangkat dari prinsip “my body is my right” dan “my body, my choice.” Hak untuk mendapatkan kenikmatan seksual, baik dalam pernikahan maupun di luar pernikahan, baik sesama jenis maupun beda jenis, baik sesama agama maupun beda agama, merupakan landasan gerakan ini. Dari sini muncul upaya yang cukup masif dari kelompok feminis, seperti mengusung RUU KKG (Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender).
Sejak sekitar tahun 2011, saya dan teman-teman sudah mengkritik RUU KKG yang hampir disahkan oleh DPR. Kami mengadakan tabligh akbar di masjid Sunda Kelapa dan mengumpulkan tanda tangan dari umat Islam yang menolak RUU tersebut. Petisi tersebut kami sampaikan ke komisi VIII bersama buku saya yang berjudul “Indahnya Keserasian Gender dalam Islam.”
Mengapa kita prihatin dan harus menolak RUU KKG? Hal ini karena RUU tersebut dianggap sangat membahayakan dan mengusik soal pernikahan. Dalam RUU KKG, ada klausul secara tidak langsung yang menyatakan bahwa tidak ada campur tangan terhadap pernikahan beda agama atau sesama jenis kelamin. Bahkan, bagi pasangan yang sudah menikah, termasuk dalam RUU tersebut istilah pemerkosaan dalam perkawinan dikenal, yang berarti jika ada hubungan suami-istri tanpa persetujuan istri, suami dapat dilaporkan atas dugaan pemerkosaan terhadap istrinya sendiri. RUU semacam ini dianggap sebagai hasil perjuangan kaum feminis.
Pergerakan semacam ini, upaya untuk menyeimbangkan gender antara laki-laki dan perempuan yang sebetulnya telah memiliki fungsi masing-masing, dianggap perlu?
Sebenarnya, mari kita kembalikan pertanyaan ini kepada perempuan: apakah perempuan merasa perlu dengan gerakan kesetaraan gender? Apakah mereka ingin melakukan tugas yang sama seperti laki-laki? Sebagai contoh sederhana, apakah perempuan ingin gantian dengan laki-laki dalam menyusui anak? Atau sebaliknya, apakah perempuan ingin mengangkat galon dan naik motor ke mana-mana seperti laki-laki? Pertanyaan ini menyoroti apakah gerakan kesetaraan gender sesuai dengan keinginan dan kebutuhan perempuan.
Sikap kita terhadap fenomena seperti ini seharusnya adalah merawat cita-cita. Jangan sampai generasi muda kita seperti anak ayam yang ditetaskan dari lampu listrik, terlepas dari induknya, dan kurang mendapatkan kasih sayang. Psikologi manusia yang tumbuh dengan ketergantungan pada media sosial dan teknologi kurang mendapatkan kasih sayang, terlepas dari orang tua mereka, dan terdidik oleh hal-hal yang dekat dengan mereka
Ahmad Rizqon\Sidogiri