Adakah orang yang lebih tak waras daripada komunitas LGBT? Ada, yaitu orang-orang yang bukan pelaku LGBT, tapi membenarkan atau membela penyimpangan komunitas tersebut. Namun demikian, masih ada yang lebih tidak waras lagi. Yaitu orang-orang yang membelokkan dalil-dalil agama untuk membela LGBT. Yang terakhir ini memang super sableng! Orangnya ada di Indonesia. Silakan Anda telusuri jejaknya!
Apa sebenarnya yang menjadi landasan nalar mereka dalam membela komunitas LGBT? Setidaknya ada tiga hal yang paling sering terdengar.
Dalih pertama, kebebasan dan hak asasi manusia. Sponsor dari alasan ini tak tanggung-tanggung: PBB dan negara-negara Barat. Mereka bahkan, berani mengampanyekan dukungan tersebut secara resmi di negeri kita, negeri yang jumlah Muslim terbesar di dunia. Beberapa waktu lalu, Kedutaan Inggris melakukan pengibaran bendera pelangi, simbol LGBT, di kantornya, di Jakarta. Sebagai tamu, mereka bahkan tak ambil pusing dengan gelombang protes keras dari penduduk tuan rumah.
Ketika mengunggah foto pengibaran bendera pelangi itu di laman Instagram pada 20 Mei 2022 yang lalu, Kedutaan Inggris menuliskan caption yang cukup ‘menantang’: “Terkadang penting untuk menunjukkan sikap untuk sesuatu yang Anda anggap benar, meski ketidaksetujuan di sekelilingmu akan membuat tidak nyaman.”
Dalih kebebasan telah melahirkan banyak sekali mudarat di muka bumi. Sebab, kebebasan itu cocok dengan selera nafsu manusia. Dan, nafsu itu jika dibiarkan bebas maka tak akan pernah puas. Oleh karena itu, semua orang di dunia ini sepakat bahwa kebebasan itu ada batasnya. Semua orang menyadari bahwa tak ada kebebasan yang absolut.
Hanya saja mereka masih berdebat mengenai kriteria dan detail batas-batasnya. Orang-orang Barat memberikan batas yang longgar. Dalam pandangan mereka, intinya manusia bebas melakukan apapun selagi hal itu tidak merugikan orang lain. Pertanyaannya: Apakah orang Barat yang memiliki pandangan hidup bebas itu benar-benar saklek dalam memegang batasan tersebut? Nyatanya tidak!
Nyatanya di negara-negara Barat ada banyak hal yang tidak merugikan orang lain, tapi tetap dilarang. Misalnya hubungan seksual sedarah, aborsi dan lain sebagainya. Juga ada banyak hal yang merugikan orang lain, tapi tidak dilarang. Misalnya kegemaran Barat melakukan intervensi hingga invasi terhadap negara lain.
Oleh karena itu, jangan pernah menjadikan kebebasan sebagai dalih untuk membela atau membenarkan sesuatu apapun, karena semua orang tahu dan menyadari bahwa kebebasan itu ada batasnya. Berbicaralah mengenai apa yang seharusnya menjadi batas dari kebebasan itu, bukan kebebasan itu sendiri.
Dalih kedua, LGBT bukan penyimpangan, melainkan hanyalah kelainan orientasi seksual. Naluri LGBT, katanya, adalah kecenderungan alamiah atau bahkan bawaan lahir yang tak bisa diubah. Yang ini tak kalah sableng! Kesablengannya yang pertama adalah menyatakan bahwa LGBT adalah kecenderungan alamiah, bahkan bawaan lahir. Apa ada orang yang sejak kecil memiliki ketertarikan seksual kepada sesama jenis, tanpa pengaruh apapun dari lingkungan. Kalaupun ada lelaki yang sejak kecil bertingkah atau berperasaan sebagai wanita atau sebaliknya, hal itu hanyalah nol koma sekian persen dari total komunitas LGBT.
Ukuran sesuatu bisa disebut penyimpangan atau bukan tentu saja bukan melihat apakah hal itu merupakan bawaan lahir atau bukan. Pelanggaran terhadap ajaran agama dan norma sosial, yang dilakukan secara sengaja dan atas dasar kemauan sendiri, maka hal itu tentu sudah merupakan penyimpangan dalam kamus ajaran atau norma tersebut. Watak bawaan lahir sekalipun, jika hal itu bertentangan dengan ajaran dan norma, maka seseorang harus berupaya keras untuk mengendalikannya. Bukankah seseorang harus mengendalikan amarah dan nafsunya jika cenderung kepada hal-hal terlarang, meskipun watak tersebut merupakan bawaan lahir dari semua manusia.
| BACA JUGA : AGAMA ATURAN IRASIONAL?
Dalih ketiga, kalaupun LGBT salah menurut agama, tradisi, budaya maupun undang-undang, tapi pelakunya tetaplah manusia yang harus dilindungi, tidak boleh dikucilkan dan harus diperlakukan dengan baik.
Apakah maksud dari pernyataan ini? Kalau maksudnya tidak boleh ada sanksi sosial, maka hal itu adalah pernyataan yang sangat konyol. Dalam hukum dan otoritas apapun, sanksi atas pelanggaran, apalagi penyimpangan, merupakan suatu yang niscaya. Tanpa itu, ajaran, norma dan hukum tidak akan pernah bisa ditegakkan. Pilar dari tegaknya ajaran, norma dan hukum adalah penerapan sanksi atau hukuman. Semua orang sepakat mengenai hal itu. Yang masih diperdebatkan hanyalah mengenai bentuk sanksi dan hukumannya, bukan mengenai pentingnya keberadaan sanksi itu sendiri.
Nah, kalau kita bicara mengenai gambaran sanksi yang diterapkan oleh Islam untuk kaum LGBT, monggo perhatikan dua riwayat di bawah ini:
Pertama mengenai gay dan lesbi, pada masa Sayidina Abu Bakar, Khalid bin al-Walid pernah melaporkan adanya seorang lelaki menikahi sesama lelaki. Maka, Abu Bakar mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah. Sayidina Ali usul: إنَّ هَذَا ذَنْبٌ لَمْ تَعْمَلْ بِهِ أُمَّةٌ إلَّا أُمَّةٌ وَاحِدَةٌ فَفَعَلَ اللَّهُ بِهِمْ مَا قَدْ عَلِمْتُمْ أَرَى أَنْ نُحَرِّقَهُ بِالنَّارِ، فَاجْتَمَعَ رَأْيُ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنْ يُحَرَّقَ بِالنَّارِ “Perbuatan dosa seperti ini tidak pernah dilakukan oleh umat manapun, kecuali satu umat saja. Allah telah mengazab mereka sebagaimana kalian tahu. Menurut saya, jatuhkanlah hukuman bakar.” Para Sahabat sepakat dengan pendapat Sayidina Ali. (Riwayat Ibnu Abid-Dun’ya dan al-Baihaqi, dengan sanad yang jayyid sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar al-Haitami di dalam az-Zawajir.)
Kedua mengenai transgender, waria dan semacamnya: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: «لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ، وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ، وَقَالَ: أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ، قَالَ: فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلَانًا، وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلَانًا» Dari Ibnu Abbas: Rasulullah melaknat lelaki yang bersikap seperti banci dan perempuan yang bersikap seperti lelaki. Beliau bersabda, “Keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian.” Maka, Nabi mengusir si fulan dan Umar mengusir si fulan. (HR al-Bukhari.)
Itu gambaran global dalam Hadis dan Atsar. Adapun mengenai rumusan hukumannya secara definitif, maka hal itu telah dibicarakan dengan detail, juga dengan segenap perbedaan pendapatnya, dalam kitab-kitab fikih. Farâji`hu