ADA sesuatu yang aneh di balik SKB 3 menteri tentang pakaian sekolah ini. Biasanya, sebelumnya terjadi keributan, kegaduhan dan saling bersitegang antar masyarakat, lalu SKB 3 menteri turun menyelesaikan kegaduhan itu, seperti yang kita lihat dalam kasus Ahmadiyah.
Adapun SKB 3 menteri tentang pakaian sekolah ini, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Kita tidak mendengar adanya kegaduhan apa-apa sebelumnya. Sebelumnya situasi aman-aman saja, adem ayem terkendali, hingga kemudian SKB 3 menteri turun dan muncullah kegaduhan.
So, kita perlu tahu lebih dalam perihal sesuatu yang ada di balik semua ini. Mari kita ungkap satu persatu!
IRONI DI BALIK SKB 3 MENTERI
LUMRAHNYA, suatu peristiwa memerlukan suatu keputusan bersama oleh beberapa menteri jika peristiwa itu sangat krusial, memantik kegaduhan, atau sangat meresahkan masyarakat. Semisal Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri tentang Ahmadiyah yang terjadi sekitar tahun 2008 silam.
Adapun SKB 3 menteri tentang pakaian sekolah ini, tampaknya sama sekali tidak berangkat dari suatu problem yang memerlukan penyelesaian, sebab sebelumnya tak pernah ada kegaduhan soal itu. Keadaan normal-normal saja, dan justru jadi gaduh setelah tiga menteri berkumpul lalu menyepakati dan memberlakukan peraturan soal seragam sekolah.
Itulah hal pertama yang membikin SKB 3 menteri itu bermasalah. Karena memang urusan seragam sekolah bukan merupakan problem sama sekali. Semua baik-baik saja sebelum tiga menteri itu memutuskan sesuatu. Malah, problem aktual kita terkait dunia pendidikan
saat ini adalah dalam kaitannya dengan Covid-19. Mestinya, ketimbang tiga menteri mengotak-atik sesuatu yang tidak bermasalah hingga memantik kegaduhan, kenapa mereka tidak berbuat sesuatu untuk mengatasi problem pendidikan yang terkendala oleh Covid-19 itu saja?
Hal kedua yang menunjukkan bahwa SKB 3 menteri itu bermasalah, dan karena itu akan terus memunculkan masalah-masalah yang lain, adalah bahwa SKB 3 menteri itu tidak berdiri di atas falsafah dan landasan negara yang paling asasi, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya bahwa Tuhan dan agama menjadi landasan negara ini, dan karena itu pendidikan yang diberikan di negara ini tak boleh terlepas dari aspek Ketuhanan dan keagamaan. Maka, ketika muncul suatu aturan yang berpotensi menyisihkan agama, maka itu jelas merupakan penyimpangan dari falsafah dan pondasi negara.
| BACA JUGA : SEKULARISME VS ISLAMISME
Fakta ini selain menunjukkan bahwa penyelenggara negara tidak benarbenar memahami falsafah dan landasan negara, juga menunjukkan bahwa sebagian atau kebanyakan mereka merupakan orang-orang yang berpaham sekuler, yakni punya pikiran bahwa agama tidak boleh dilibatkan dalam persoalan negara dan publik, karena agama hanya urusan pribadi atau individu belaka. Bagaimanapun, ide sekularisme ini tidak relevan di Indonesia, karena negara ini menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasannya yang paling utama.
Problem ketiga yang ada di balik SKB 3 menteri itu adalah, bahwa tampaknya para pengambil kebijakan yang tidak bijak tersebut tidak benar-benar mengerti tentang makna pendidikan dan bagaimana mestinya pendidikan diterapkan. Sepertinya pikiran mereka terkontaminasi oleh ide Barat bahwa tidak boleh ada pemaksaan dalam pendidikan. Padahal, terutama dalam jenjang dasar dan menengah, pendidikan didominasi oleh unsur-unsur pemaksaan.
Gagal paham dalam hal ini bisa kita tangkap dari perkataan Mendikbud, Nadiem, “Hak untuk memakai atribut keagamaan adanya di individu. Individu itu adalah guru, murid dan tentunya orang tua, bukan keputusan sekolah negeri tersebut.” Padahal, dalam banyak hal, jika sekolah tidak mewajibkan sesuatu, maka pendidikan tidak berjalan secara optimal. Bayangkan, misalnya, sekolah tidak mewajibkan membuang sampah pada tempatnya, dan itu diserahkan pada kebebasan masing-masing orang. Apa yang akan terjadi kira-kira?
Bagaimanapun, hampir semua urusan terkait dengan belajar mengajar dan sekolah, diatur oleh sekolah secara lembaga, dan tidak diserahkan pada masing-masing individu untuk melakukan atau tidak melakukannya. Jika urusan membuang sampah pada tempatnya diatur secara resmi dan diwajibkan oleh sekolah sebagai lembaga pendidikan, bagaimana mungkin urusan berpakaian sesuai dengan anjuran agama tidak boleh dikontrol oleh sekolah? Ini sungguh pikiran yang sangat aneh dan tidak masuk akal.
| BACA JUGA : PALESTINA:POLITIK ATAU AGAMA?
Tiga hal yang memperlihatkan ironi dari SKB 3 menteri di atas, masih ditopang dengan ironi yang keempat, yang menunjukkan bahwa betapa di balik problem ini ada tumpukan problem lain yang justru lebih mendasar. Yakni pada SKB poin kelima, yang menegaskan bahwa jika terjadi pelanggaran terhadap keputusan bersama ini, maka sanksi yang akan diberikan kepada pihak yang melanggar berupa penangguhan dana bantuan operasional sekolah dan lain sebagainya.
Bagaimanapun, keputusan tersebut bertentangan dengan amanat konstitusi, di mana di dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (1) ditegaskan, bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ayat (2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Bagaimana mungkin sesuatu yang merupakan hak warga negara justru mau dicabut oleh pemerintah, dan bagaimana mungkin pemerintah akan mengelak dari kewajiban untuk membiayai pendidikan yang wajib dijalani oleh warga negara?
Maka, dari rentetan problem yang berbeda dis belakang atau di belakang SKB 3 menteri itu menunjukkan, bahwa betapa urusan seragam sekolah dan pakaian keagamaan sama sekali bukan merupakan problem yang kita hadapi, baik sebelum maupun sesudah SKB 3 menteri itu. Masalah sesungguhnya terletak pada mindset para pengambil kebijakan yang tidak searah bahkan bertentangan dengan falsafah dan dasar negara serta amanat konstitusi. Faktor ini sudah lebih dari cukup menjadi sumber dari problem dan kegaduhan seisi negeri.





