
Provinsi Banten tak hanya terkenal sebagai bumi para Jawara dengan ilmu kanuragannya. Propinsi dengan luas wilayah 916.070 km² ini juga sangat kental dengan kultur keagamaannya yang kuat. Terbukti wilayah bagian barat Pulau Jawa ini semenjak awal berdirinya kesultanan Banten pada abad 14-15 yang silam banyak melahirkan kiai dan ulama.
Bahkan sampai saat ini, banyak literatur yang menegaskan Banten sebagai kota kanuragan dan keagamaan. Tentunya ungkapan ini tak hanya catatan sejarah yang telah usang, akan tetapi terus berlanjut sampai sekarang. Hal ini terbukti dari kunjungan Reporter Sidogiri Media pada beberapa bulan yang lalu, ke Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten.
Di sana kami dapati sebuah kampung sejuk nan asri dengan perkebunan yang terhampar luas di belakang rumah penduduk yang berjejer sederhana di tepian jalan dengan jalan menanjak menuju Komplek Makam Mbah Dimyati. Di tepian jalan banyak dihiasi dengan petunjuk arah yang mengarahkan kami menuju majelis taklim dengan beberapa variasi nama yang berbeda. Hingga berakhir di sela-sela deretan pemukiman santri berbentuk ‘cangkrukan’ yang terbuat dari ayaman bambu dan kayu. Bahkan sebagian atapnya terbuat dari pelepah tebu dan kelapa. Hanya beberapa bangunan saja yang digedong dengan batu bata.

Di kampung inilah Mbah Dimyati disemayamkan. Tertanggal di batu nisan pada tanggal 07 Sya’ban 1424 H yang bertepatan dengan 3 Oktober 2003. Tepat ujung barat jalan yang menanjak menuju masjid kampung setempatnya. Sosok auliya’ yang pusaranya tidak pernah sepi dari penziarah dari berbagai daerah ini, konon terlahir dengan nama Muhammad Dimyati dari pasangan Syaikh Muhammad Amin Al-Bantani dan Hj. Ruqayyah pada tahun sekitar 1920-an yakni pada tanggal 27 Syaban 1347 H.
Walau beliau dikenal sebagai guru tarekat Naqsyabandiyah Qadiriyah, namun beliau cukup gigih dalam mencari ilmu. Tercatat beliau banyak berguru kepada ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya adalah Abuya Abdul Halim, Abuya Muqri Abdul Hamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, dan Mbah Rukyat Kaliwungu. Jika dirunut dari mata rantai sanad keilmuan semua guru-guu beliau bermuara pada Syaikh Nawawi al-Bantani.
Tak heran, jika sampai sekarang pesantren yang ia rintis selalu disesaki dengan ribuan santri dan tamu. Dari rakyat jelata sampai pejabat teras yang datang dengan problematika kehidupan untuk dikonsultasikan. Bahkan Mbah Dim semasa hidupnya memiliki majelis khusus dengan nama Majelis Seng.
Julukan ini disematkan pada majelis beliau karena sebagian besar dinding majelisnya terbuat dari seng. Di tempat ini pula Mbah Dim menerima tamutamu penting dari pemerintah dan petinggi negeri.

Sampai saat ini beberapa majelis ini tetap terjaga kesederhanaannya sederhana ketika masih dibangunnya. Walau sempat sebagian bangunan pernah mengalami kebakaran, majelis ini dilestarikan dan tidak pernah sepi dari berbagai kegiatan mengaji kitab kuning dengan manjad Ahlussunah wal Jamaah.
Kesederhanaan di kampung yang berpenghasilan padi yang melimpah dari sawah penduduk yang terhampar luas ini, tak lepas dari keperibadian Mbah Dim –yang syarat nilai sufistik penuh sahaja, sehingga mengakar kuat menjadi teladan penduduk setempat.
Kesederhaan Mbah Dim juga tergambar dalam diri putra putrinya sebagai penerus perjuangannya. Salah satunya adalah Buya Muhtadi Dimyati, Putra tertuanya yang sempat kami temui. Tampak raut muka bersih menentramkan hati orang yang melihatnya. Walau beliau terkesan tak banyak berbicara, namun tatkala dawuh yang sedikit mulai terucap, langsung mengarah pada akar permasalahan yang keluhkan padanya. Sehingga binar senyum mengembang di raut muka para tamu, yang juga sowan bersama kami ketika itu.
Tentunya apa yang tampak dari Buya Muhtadi adalah hasil pendidikan dari orangnya. Karena semua putra putrinya dididik langsung oleh Mbah Dim. Dalam mendidik putranya beliau lebih ketat ketimbang pendidikan yang terapkan kepada santrinya. Dalam urusan jamaah dan mengaji belaiu sangat perhatian. Ia tidak akan memulai shalat dan mengaji, kecuali putra-putrinya sudah siap berjajar di shaf shalat. Jika belum datang, kentongan sebagai isyarat waktu shalat dan kegiatan pun dipukul lagi bertalutalu sampai semua hadir, baru setelah itu shalat jamaah dimulai.
Baca juga; Masjid Agung Banten, Pusat destinasi Religi Kaya Histori
Kesederhanaan Mbah Dim yang bersahaja ini, walau kental dalam pengamalan ilmu tasawufnya akan tetapi jalan spiritualnya terbilang unik. Terbukti dengan ungkapan yang sering beliau serukan kepada para santrinya. “Thariqah aing mah ngaji!” Tegasnya dalam bahasa Sunda yang memiliki arti Jalan saya adalah ngaji. Sebab menurutnya, tinggi rendahnya derajat keulamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu.
Muh Kurdi Arifin/Santri PPS asal Malang
5