Banten lagi, Banten lagi. Sepertinya rekan berpetualang saya, Muh Kurdi Arifin, sudah sangat jelentreh bercuap-cuap tentang provinsi yang lumayan luas itu. Jadinya, saya tak perlu lagi mengenalkannya. Tapi, bagi anda yang tidak pernah nge-trip ke wilayah Jawa Barat, provinsi Banten khususnya, ada hal yang jarang diketahui banyak orang, bahwa di provinsi tersebut terdapat dua tokoh terkenal yang namanya sama persis dan kerap membingungkan banyak orang. Dua tokoh tersebut tak lain dan tak bukan adalah KH. Dimyati bin KH. Mohammad Amin, seperti yang telah diuraikan biografinya di edisi sebelumnya, dan KH. A. Dimyati bin KH. Ramli yang akan kita perbincangkan sebentar lagi.

Sebagaimana yang telah diuraikan pada edisi yang lalu, kompleks pemakaman KH. Dimyati bin KH. Mohammad Amin terasa begitu sejuk nan asri. Karena selain jauh dari hiruk-pikuk dan polusi udara suasana perkotaan, lokasinya juga berada di puncak pegunungan wilayah Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten, dipenuhi dengan pepohonan hijau yang dapat menyegarkan mata dan pikiran.

Bedahalnya dengan kompleks pemakaman KH. A. Dimyati bin KH. Ramli. Untuk bisa tiba di kompleks pemakaman KH. A. Dimyati bin KH. Ramli, para pelancong harus menempuh trayek yang tidak mudah dan tidak menyenangkan. Pasalnya, jalan yang harus ditempuh menuju ke sana pasti mengalami kemacetan karena wilayah itu merupakah lalu lintas perindustrian, ditambah lagi dengan cuacanya yang sangat panas dan berdebu.

Kompleks pemakaman KH. A. Dimyati bin KH. Ramli terletak di kampung Cilongok, Desa Sukamantri, Kecamatan Pasar Kemis, Tanggerang, Banten. Lebih tepatnya, kompleks pemakaman beliau berada di dalam kompleks Pondok Pesantren Salafiyah Al-Istiqlaliyah, yaitu pesantren didirkan oleh beliau sendiri tahun 1957 M.

KH. A. Dimyati bin KH. Ramli merupakan seorang ulama yang memiliki komitmen kuat dalam menjaga tradisi salaf. Namun, sejak sepeninggalnya di awal tahun 2001 M, kepengasuhan pesantren tersebut dilanjutkan oleh putranya, KH. Uci Turtusi yang terkenal Abah Uci, sampai saat ini.

Kompleks Pondok Pesantren Salafiyah Al-Istiqlaliyah berdiri di atas tanah yang cukup luas. Setelah mengelilingi kompleks pesantren tersebut, hal mengagumkan banyak kami temukan. Salah satunya adalah kondisi kobongkobong (bilik) pemukiman para santri yang terbuat dari kayu-bambu, indah, dan nampak begitu unik, dihiasi dengan tanaman-tanaman dalam pot, dilengkapi dengan kaligrafi indah berwarna-warni serta lukisan para ulama dan tokohtokoh Tasawuf. Hal ini tidak seperti yang kita saksikan dari kompleks pesantren yang diasuh oleh keturunan KH. Dimyati bin KH. Mohammad Amin yang terlihat tidak terawat, kotor dan kumuh. Mungkin saja, kedua pendiri pesantren itu memiliki prinsip dan komitmen yang berbeda. Jadi sudah sangat bisa dimaklumi.

Di dalam kompleks pesantren terdapat masjid yang cukup megah dan besar. Karena di pesantren ini pada tiap hari Ahad, ba’da Shubuh selalu dilaksanakan majelis akbar bagi masyarakat luas yang langsung dipimpin oleh KH. Uci Turtusi. Tradisi ini telah berlangsung lama sejak masa kepemimpinan KH. Dimiyati. Jumlah jamaah yang mengikuti pengajian tidak kurang dari 5.000 orang datang dari sekitar wilayah Tanggerang, Banten, Bogor, Bekasi dan juga Jakarta.

Berada di tengah-tengah masyarakat modern dengan lanscape kota industri, tidak menggoyahkan prinsip pesantren ini dalam menjaga tradisi salaf. Pengelolaan pesantren dilakukan oleh keluarga besar almarhum KH. Dimiyati dengan amanah kepemimpinan yang dipegang langsung oleh Abah Uci (dibantu juga oleh keluarga).

Tak ada sistem penerimaan santri, dalam artian penerimaan santri terbuka untuk semua kalangan usia dari mulai anak-anak hingga dewasa. Administrasipun tidak dibebankan kepada para santri yang menuntut ilmu di pesantren ini, mereka hanya diminta iuran listrik.

Sebagaimana biasanya, asrama santri dalam bentuk kobong-kobong dan dikepalai oleh seorang kepala pada setiap lokalnya telah banyak didirikan memenuhi areal kompleks pesantren, serta aula untuk pelaksanaan pengajian harian yang dilaksanakan ba’da Shubuh dan ba’da Ashar hingga larut malam. Untuk keperluan memasak disediakan dapur umum di masing-masing lokal asrama santri.

Seperti pada pesantren-pesantren kebanyakan, kegiatan bagi santri di Pesantren Al-Istiqlaliyah juga dimulai sejak Shubuh dengan shalat berjamaah. Sehabis jamaah Shubuh dilanjutkan dengan pengajian kitab kuning di majelis hingga menjelang pukul 07.00 WIB. Selanjutnya para santri memasak untuk sarapan pagi.

Pada pukul 08.00, kegiatan pengajian dilanjutkan sampai pukul 10.00. Setelah itu, santri diberikan waktu untuk beristirahat di kobong dan pekarangan pesantren. Pada pukul 14.00 pengajian dilanjutkan kembali sampai masuk waktu Ashar dan berjamaah.

Setelah Ashar pengajian disambung kembali sampai pukul 173.0. Setelah Maghrib, giliran pengajian al-Quran dilaksanakan. Kemudian setelah Isya’, para santri belajar kembali selama 90 menit sebelum kembali ke kamar masing-masing untuk istirahat. Kegiatan mereka begitu padat dan berlangsung secara terus-menerus selama satu minggu, kecuali pada hari Ahad pagi, karena waktunya digunakan untuk pelaksanaan majelis akbar yang diikuti oleh masyarakat luas.

Baca juga: Masjid Jamik Al-Baitul Amin Jember (Masjid Tujuh Kubah) Berorientasi Ke Masjid Al-Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Al-Azhar Mesir

Kurikulum pendidikan yang ada di pesantren salafiyah ini tidak mengikat dan bukan dalam bentuk materi pelajaran, melainkan didasarkan pada kajian kitab kuning (kutub at-turâts), semuanya disampaikan dalam metode pengajaran sorogan.

Hingga saat ini, di tengah arus modernisasi dan globalisasi, keberadaan Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah masih kuat pengaruhnya. Hal ini karena konsistensi yang diterapkan para pengelola pesantren tetap berada pada jalur bimbingan ulama salaf tanpa berkecimpung pada hingar-bingar dunia politik yang semu.

Ali Wafa Yasin/sidogiri

Spread the love