Ada semacam kecemburuan dalam diri setan pada awal mula penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Tidak seperti malaikat yang selalu taslim pada setiap keputusan Tuhan, setan cenderung nakal dan tampak terlalu baper dengan keberadaan manusia sebagai khalifah. Hingga akhirnya, Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Kuasa tetap menciptakan manusia sebagai makhluk pilihan dan menjadikannya khalifah di dunia.
Tak seperti malaikat dan setan, makhluk lemah manusia dibekali “nafsu” dalam menjalani kehidupan sebagai hamba. Nafsu memiliki pengaruh signifikan dalam skenario yang diperankan manusia. Jika malaikat sudah ter-design sebagai makhluk taat, dan setan distempel sebagai makhluk durhaka, maka berbeda dengan manusia yang tercipta sebagai makhluk “bisa jadi”; bisa jadi taat, bisa jadi durhaka. Bergantung ke arah mana ia berjalan, kecenderungan apa yang ia lakukan.
Dalam segenap keburukan manusia yang terjadi di muka bumi, tentu saja, ada nafsu yang berperan dalam hati dan perilaku mereka. Peperangan, konflik, kriminalitas, pemerkosaan, pencurian, korupsi, penipuan, dan segenap ekses negatif lainnya adalah sebagian contoh keburukan manusia tersebab gejolak nafsu yang tak terkontrol. Inilah yang disebut oleh ulama dengan nafsu ammârah.
Konon, Rasulullah ketika kembali dari sebuah peperangan, memberitahu shahabat bahwa mereka telah menang dari jihad kecil (perang melawan kafir) dan akan menghadapi jihad besar (perang melawan hawa nafsu). Tidak berlebihan jika perang melawan nafsu disebut dengan jihad besar, sebab, perang melawan musuh di medan perang memang cenderung tidak begitu merepotkan daripada perang melawan hawa nafsu. Perang militer hanya butuh keberanian, sedangkan perang melawan hawa nafsu membutuhkan semua jenis ketangguhan moral, plus keberhasilan hati dan kebeningan nurani. Dalam perang militer kita melawan musuh yang terlihat dan jelas kita benci, sedangkan dalam perang nafsu kita melawan musuh yang tidak terlihat dan justru kita senangi. Perang militer bisa selesai dalam waktu sepekan, sebulan, atau setahun, tapi perang nafsu tidak akan pernah selesai hingga ajal merenggut segalanya dari dalam diri kita.
Kalangan yang bisa dikata paling jago menekan gejolak nafsu adalah para sufi. Di dunia tasawuf, menahan nafsu merupakan tirakat wajib dalam suluk para sufi. Sejarah banyak mencatat ketangguhan kalangan sufi dan capaian mereka dalam hal menahan nafsu yang bahkan tampak berada di luar nalar.
Salah satu hal yang bisa menjadi sumber inspirasi dari kalangan sufi dalam hal mengekang nafsu adalah cara mereka dalam mengurusi makanan. Salah satu cara sufi mengontrol hawa nafsu adalah dengan mengatur pola makan. Sebab, nafsu dan makanan memiliki keterkaitan yang sangat erat. Hal ini banyak disinggung dalam alQuran, Hadis, teladan shahabat, dan maqâlah ulama.
Dalam tradisi sufi, kehatihatian menjaga makanan tidak hanya pada konteks halal-haramsyubhat, namun juga pada sisi kadar pengkonsumsiannya. Kalangan sufi sudah terbiasa membiarkan perut kosong, sebab hal itu adalah bentuk penghayatan terhadap makna hidup yang menjadi sumber inspirasi bagi ketajaman spiritual. Bagi sufi, lapar adalah bentuk jihad melawan nafsu dalam arti yang sangat luas. Mengenai hal itu, Luqman al-Hakim, konon pernah berpesan kepada putranya, “Anakku, jika perutmu penuh, maka pikiranmu lumpuh. Kebijaksanaanmu menjadi tumpul. Dan, tubuhmu menjadi berat untuk beribadah.”
Inti dari pesan Luqman al-Hakim ini banyak menghiasi konsepsi para sufi tentang urusan perut. Bagi mereka, lapar adalah antitesis dari sekian banyak sifat buruk manusia. Termasuk jeratan nafsu. “Tidaklah anak cucu Adam mengisi penuh sebuah wadah yang lebih buruk bagi dia daripada (mengisi penuh) perutnya.” Begitu sabda Nabi yang sering dikutip oleh ulama tasawuf.
Baca juga: Tips Bertamu di Rumah Allah SWT
Imam al-Ghazali menyampaikan bahwa salah satu faedah lapar adalah melemahkan nafsu untuk berbuat maksiat. Ini adalah tujuan paling utama para sufi rela berlapar-lapar secara kontinu dalam waktu yang lama. Upaya menata hati dan meningkatkan ibadah menjadi lebih mudah dengan kondisi perut yang tidak penuh dengan makanan.
Tirakat lapar ini juga dianjurkan oleh Rasulullah dengan cara berpuasa bagi seseorang yang memiliki keinginan kuat untuk bersenggama namun tidak mampu untuk menikah. Puasa tersebut bertujuan untuk memecah syahwat berahi. Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa puasa yang mampu memecah syahwat adalah puasa yang dilakukan secara kontinu. Dalam kitab Hasyiah Bujairimî disebutkan bahwa puasa pada mulanya dapat menggerakkan syahwat dalam diri, namun jika dilakukan secara terus-menerus maka akan menenangkannya. Tirakat lapar inilah yang juga banyak menghiasai nasehatnasehat kiai-kiai pesantren di Nusantara kepada para santri sebagai bentuk mujahadah dan pendorong menjadi giat beribadah dan mutalaah.
M romzi khalik/sidogiri