Menghindari Kekeliruan yang Sering Disalah Pahami

Berikut kami suguhkan beberapa hal yang sering disalahpahami kebanyakan awam, dengan harapan aktivitas atau amaliah keseharian tetap selaras dengan ajaran syariat Islam, mendapat ridha dan kabar gembira dari Allah. Amin.

Menyembelih Kurban

Secara hukum, status halaman di depan masjid sebagai berikut: a) milik masjid, artinya tanah di halaman masjid berasal dari hibah, atau dari transaksi pembelian menggunakan uang masjid. b) wakaf kepada masjid, artinya tanah depan masjid itu berasal dari orang yang diwaqafkan kepada masjid. c) wakaf untuk kemaslahatan muslimin, artinya halaman masjid itu berasal dari seseorang yang berwaqaf untuk kepentingan umum, kemudian dimanfaatkan sebagai halaman masjid.

d) wakaf majhûl, artinya tanah asalnya wakaf akan tetapi tidak diketahui fungsinya: apakah untuk masjid ataukah kemaslahatan muslimin (?). e) tidak diketahui asal usulnya, artinya tanah tersebut tidak diketahui statusnya: apakah dari barang wakaf, milik masjid atau sudah ada sebelum masjid berdiri (?).

Maka, hukum menyembelih hewan kurban di halaman masjid bergantung status tanah halaman masjid tersebut. Jika status tanahnya model “a” dan “b”, maka tidak diperbolehkan menyembelih. Karena fasilitas masjid haruslah untuk kepentingan masjid sendiri, bukan untuk kepentingan pribadi atau masyarakat umum.

Akan tetapi, jika sebelumnya ada traksaksi sewa halaman masjid dengan harga wajar, maka boleh melakukan penyembelihan. Tentunya, selama tidak mengganggu kegiatan masjid dan tidak menggunakan fasilitas masjid lainnya, seperti jeding, gayung, sapu atau lainnya.

Adapun tanah masjid model “b”, pemanfaatannya hanya untuk keperluan masjid (sesuai maksud wâqif saat mewakafkan). Sedangkan halaman masjid model “c”, dapat difungsikan untuk kepentingan masjid atau umum, seperti untuk tempat menyembelih kurban dan lain-lain.

Untuk halaman masjid model “d” dan “e”, pemanfataannya tergantung kebutuhan lumrah di masyarakat. Jika sebelum-sebelumnya lokasi halaman masjid tersebut sudah biasa dilakukan penyembelihan kurban, maka hukumnya diperbolehkan.

Numpang Buang Air

Penggunaan fasilitas masjid secara umum untuk dua jalur: yaitu ‘imârah dan mashâlih. Imârah ialah kebutuhan yang berkaitan dengan pembenahan fisik masjid, seperti membangun tembok, interior, pagar, mengecat dan lain-lain.

Sedangkan mashâlih mencakup kebutuhan yang lebih umum, baik untuk keperluan fisik masjid—persis dengan penjelasan ‘imarâh—atau keperluan pendukung lainnya, semisal karpet lantai, penerangan lampu, pengeras suara dan lain sebagainya.

Dari premis ini akan kita dapati kesalahan yang sering dilakukan masyarakat awam, biasanya lewat kasus “numpang buang air” di masjid. Atau juga aktivitas pribadi lain yang sering memanfaatkan fasilitas masjid, misalkan nge-charge HP atau sebagainya. Biasa dilakukan oleh mereka yang beperjalanan jauh.

Kencing di masjid berkonsekuensi haram, karena ada unsur penggunaan fasilitas masjid tidak pada jalurnya. Namun, jika fasilitas kamar mandi dibangun dari selain dana masjid, atau persediaan air dan biaya perawatan juga tidak diambil dari dana masjid, serta ada petunjuk (qârinah) fasilitas tersebut untuk keperluan umum, maka diperbolehkan sekedar untuk kencing, buang hajat atau kebutuhan lainnya.

Untuk menghindari hukum haram dalam kasus tadi, solusinya dengan melakukan ibadah di masjid tersebut, semisal shalat. Atau mengganti ongkos pemanfaatan kamar mandi dan air dengan minimal ongkos standar (ujratul-mitsl). (Lihat: I’ânatuth-Thâlibîn, I/ 69; Hawâsyîsy-Syarwânî, VI/ 258)

Merokok atau Makan

Merokok, makan dan minum di dalam masjid adalah haram. Jika menyakiti perasaan (îdza’) orang lain—sebagian ulama menghukumi makruh, mengotori (taqdzir), atau bertujuan menghina (ihânah) kemuliaan masjid.

Adapun merokok, untuk lebih hati-hati dan menjaga sopan santun, alangkah baiknya jika mengikuti anjuran Syekh Ismail Zain al-Yamani dan Syekh Syabrawi asy-Syafi’i yang lebih ketat dalam menetapkan hukum. Beliau berdua termasuk ulama yang mengharamkan merokok di masjid, bahkan tanpa pertimbangan unsur idza’ atau taqdzir sebelumnya.

Keduanya menitik beratkan sisi adab dan sopan santun. Pun pula efek bau tak sedap dari asap rokok, sangat tidak pantas menyeruak dalam masjid. Seorang hamba haruslah senantiasa menjaga dan memuliakan tempat-tempat ibadah, utamanya masjid. (Lihat: Qurratul-‘Ain bi Fatâwâ Ismail az-Zain, 204; al-Mausû’atul-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, X/ 108).

M Romzi Khalik/sidogiri

Spread the love