Dalam al-Quran Allah berfirman yang artinya, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash : 77).
Mencari bekal untuk hidup di dunia memang sebuah keniscayaan. Bahkan syariat sendiri memerintahkan seseorang untuk bekerja memenuhi kehidupannya dan mencela orang yang hanya berpangku tangan. Namun syariat tetap memberikan batasan dan arahan sejauh mana seseorang bekerja. Seorang pebisnis tidak boleh lalai terhadap kehidupan akhirat, begitulah nasihat Imam al-Ghazali. Beliau menggolongkan orang yang sibuk terhadap kehidupan dunia sampai melupakan akhiratnya sebagai orang yang membeli kehidupan dunia dengan kehidupan akhiratnya. Untuk menjadi pebisnis religius, ada beberapa tips sebagaimana dituliskan dalam Ihya’ Ulumiddin.
Perbaiki Niat
Langkah pertama untuk menjadi pebisnis religius adalah memperbaiki niat. Dalam menjalankan usaha, hendaknya ia berniat agar bias menjaga diri dari meminta-minta, tidak mengharap pemberian orang lain, juga menjadikan hasil usahanya untuk menegakkan agama. Selain itu, niat yang juga tidak boleh dilupakan adalah bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga, agar ia digolongkan sebagai orang yang berjihad. Niat semacam ini perlu ditanamkan dalam hati agar dalam berbisnis seseorang dianggap beribadah, tidak sekedar menumpuk kekayaan. Menurut Imam al-Ghazali, seandainya ia mendapatkan keuntungan, maka keuntungan itu sebagai bonus dari amal ibadah yang ia kerjakan. Toh sekalipun bisnisnya rugi, ia tetap mendapatkan keuntungan di akhirat.
Bisnis Sebagai Fardhu Kifayah
Langkah kedua adalah menjadikan bisnis yang ia kelola sebagai bentuk mengerjakan fardhu kifayah. Sebagaimana maklum, berbagai macam profesi yang ada dalam roda kehidupan ini saling melengkapi satu sama lain. Andai terdapat salah satu profesi yang tidak diminati oleh masyarakat, tentu roda kehidupan tidak akan berputar dengan baik. Ambil contoh, di suatu daerah tidak ada orang yang mau bertani, tentu produksi bahan makanan tidak akan maksimal. Begitu juga jika dalam sekelompok masyarakat tidak ada yang minat untuk menjadi pedagang, tentu pemenuhan kebutuhan tidak tercapai dengan baik, dan hal ini berdampak pada kacaunya tatanan kehidupan. Karena itulah ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa hadis “Perbedaan (ikhtilaf) di antara umatku adalah rahmat” diarahkan ke masalah perbedaan dalam profesi.
Tidak Melupakan Pasar Ukhrawi
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nur : 37).
Untuk menjadi pebisnis yang religius tentu tidak hanya sibuk berkecimpung dengan pasar duniawi, tapi juga senantiasa mengingat pasar ukhrawi. Yang dimaksud pasar ukhrawi di sini adalah masjid. Imam al-Ghazali mengatakan, sebaiknya seseorang itu mengawali harinya dengan mendatangi pasar ukhrawi, di sana ia mengerjakan rutinitas zikirnya. Sayidina Umar juga pernah memerintahkan kepada para pedagang agar menyibukkan diri dengan ibadah sebelum mereka melakukan aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan duniawi.
Pun diterangkan dalam sebuah hadis, bahwa malaikat malam dan malaikat siang itu bertemu ketika terbitnya fajar dan ketika shalat ashar. Lalu Allah berfirman kepada mereka, “Dalam keadaan bagaimana kalian meninggalkan hamba-hamba-Ku?” Kemudian malaikat itu menjawab, “Kami meninggalkan mereka saat mereka sedang shalat. Dan kami datang kepada mereka juga saat mereka sedang shalat.” Lalu Allah berfirman, “Saksikanlah, bahwa aku telah mengampuni mereka.” Karena itulah Imam al-Ghazali memerintahkan agar sebelum berangkat kerja, hendaknya mengawali harinya dengan shalat dan meninggalkan segala kesibukan ketika mendengar azan.
Ahmad Sabiq Ni’am/sidogiri