Pada seorang anak rajin shalat ke masjid setiap hari. Saat adzan berkumandang, ia bergegas, dengan pakaian rapi. Namun, suatu hari ia terlihat malas. Saat ditanya oleh ibunya, ia berkata, ”Bu, mulai hari ini aku tidak mau ke masjid lagi.” “Lo, kenapa?” Tanya sang ibu. “Di masjid aku melihat orang-orang yang kelihatan agamis tapi sebenarnya tidak. Habis shalat langsung ambil HP dan sibuk dengan gadget-nya, sementara yang lain sibuk membicarakan orang lain,” jawab sang anak polos.
Sang ibu berpikir sejenak kemudian berkata, “Baiklah kalau itu keinginanmu, tapi ada satu syarat yang harus kamu lakukan setelah itu terserah kamu.” “Apa itu?”
“Ambillah air satu gelas penuh. Lalu bawalah keliling masjid.
Ingat jangan sampai ada air yang tumpah.”
Sang anak pun membawa segelas air berkeliling masjid dengan hati-hati hingga tidak ada setetes airpun yang tumpah. Sampai di rumah sang ibu bertanya. “Bagaimana, sudah kamu bawa air itu keliling masjid?”
“Sudah, Bu.”
“Apa ada yang tumpah?”
“Tidak”
“Apakah di masjid itu ada orang yang bermain gadget?”
“Wah, aku tidak tahu karena pandangan mataku hanya tertuju pada gelas ini,” kata sang anak.
“Apakah di masjid tadi ada yang membicarakan keburukan orang lain?” tanya sang ibu lagi.
“Wah, aku tidak dengar karena aku konsentrasi menjaga air, agar tidak tumpah.”
Sang ibu tersenyum dan berkata, “Begitulah hidup anakku. Jika kamu fokus pada tujuan hidupmu, kamu tidak akan punya waktu untuk menilai keburukkan orang lain. Jangan sampai kesibukanmu menilai kualitas orang lain, membuatmu lupa akan kualitas dirimu sendiri. Marilah kita fokus pada diri sendiri dalam beribadah, bekerja dan terus menerus berbenah agar menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat.
Setiap hal di dunia ini pasti memiliki tujuan. Beribadah, berkeluarga, berinteraksi sosial, semuanya memiliki tujuan. Pemberlakuan syariah pun memiliki tujuan, sehingga ada rumus maqashidusy-syariah al-khamsah, lima tujuan pemberlakuan syariah. Setiap hal tergantung tujuannya, terjemahan dari al-Umur bil-Maqashid, salah satu lima kaidah Fikih kulliyah yang konon merangkum sepertiga persoalan Fikih.
Gambaran sederhananya, angkutan umum. Transportasi massal, seperti bus dan kereta, hanya akan melaju pada arah dan tujuannya. Jika kita ingin menuju Jakarta, tidak mungkin akan naik angkutan umum jurusan Kalimantan. Salah dalam menentukan arah tujuan, bukan tidak mungkin tersesat dan tidak sampai pada tujuan.
Karenanya, saat bepergian tujuan harus jelas. Dalam Fikih, tujuan jelas juga menjadi syarat bagi musafir untuk mengambil rukhshah atau dispensasi syariah, seperti qashar dan jamak shalat. Niat dalam ibadah yang menjadi rukun dalam mazhab Syafii, juga hasil dari rumusan agar sebuah pekerjaan bisa dibedakan antara ibadah dan kebiasaan. Membasuh wajah, hanya bisa dibedakan antara bagian dari wudhu dan cuci muka melalui niat.
Semua itu merupakan gambaran bahwa tujuan itu menjadi penting diketahui. Karena itu, semua hal dalam hidup mestinya diarahkan pada tujuan. Ketika tidak focus pada tujuan, langkah akan terpalingkan dari tujuan pastinya. Dalam kaidah Fikih disebutkan: isytighal bi ghairil-maqshud I’radh anil-maqashud, sibuk dengan yang bukan tujuan, dapat memalingkan dari maksud.
Hidup pun punya tujuan. Bagi orang yang beriman, jika merujuk pada al-Quran pada surah adz-Dzariyah ayat 56, tujuan hidup manusia yang paling utama adalah untuk menyembah dan beribadah kepada Allah.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz Zariyat [51]: 56).
Mengenai tujuan hidup manusia, demikian panjang lebar Islam memberi penjelasan, baik dari al-Quran atau hadis. Adat qashr dengan nafi dan istitsna’ pada ayat di atas memberi pengertian tujuan inti manusia hidup adalah ibadah. Hidup adalah fase menuju kematian yang harus dilewati dengan ibadah, karena di akhirat, nilai ibadah paling berharga. Dari itulah, manusia diharapkan selamat di akhirat, sehingga hidup manusia bertujuan ibadah untuk tujuan yang lebih besar: jannah.
Rumus sederhana dari kegagalan, karena kurang fokus pada tujuan dan membiarkan segala gangguan menggagalkannya. Kisah anak dan ibu di atas adalah bagian dari tamtsil, mengapa sang anak justru berpaling dan tidak mau beribadah? Karena ia memandang sekeliling tidak sesuai dengan pikirannya. Ia tidak fokus pada tujuan asli ibadah ke masjid. Ia sibuk dengan sesuatu yang tidak berhubungan dengan ibadah, sebagai tujuan dia ke masjid. Akhirnya, I’radh ‘anil-maqshud.
Rumus kaidah tersebut, tidak hanya berkaitan dengan perjalanan hidup di dunia. Apa pun, ketika hal yang dilaksanakan jelas tujuannya, tetapi justru menghabiskan waktu untuk sesuatu yang sebenarnya tidak berkaitan dengan tujuan, hasil yang ingin dicapai sulit terwujud atau tidak mampu meraih kesempurnaan hasil.
Dalam bingkai keluarga, rumah tangga yang dibangun tanpa tujuan atau salah niat banyak berakhir kandas, atau tidak mencapai hasil sempurna. Dalam term agama, tujuan pernikahan diutarakan dengan bahasa sakinah, mawaddah, wa rahmah (Q.S ar-Rum: 21). Puncaknya, ketiga unsur ini dapat membawa pada keselamatan di akhirat. Dari itu, dalam keluarga seorang suami berkewajiban untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka.
Ada puluhan ayat al-Quran dan ratusan hadis Nabi yang memberikan petunjuk yang sangat jelas menyangkut persoalan keluarga, mulai dari awal pembentukan keluarga, hak dan kewajiban masing-masing unsur dalam keluarga hingga masalah pembagian warisan dan perwalian. Semua petunjuk tersebut, bermuara pada satu tujuan; selamat dunia akhirat. Di dunia tentram, di akhirat masuk surga.
Untuk itu, sesuatu yang dapat memalingkan dari tujuan dalam keluarga, mestinya diwaspadai. Sebab, berpaling dari tujuan pasti, dengan melakukan sesuatu yang tidak berkaitan dengan tujuan, sudah pasti akan berakhir tidak sempurna. Bisa saja, secara lahir, pernikahan langgeng, hingga mau memisahkan, tetapi tidak memiliki tujuan akhir yang kemudian melahirkan kebahagiaan abadi secara bersama di akhirat.
Banyak hal yang kemudian memalingkan dari tujuan akhir penikahan dalam keluarga, sehingga harus diwaspadai. Di antaranya, disebutkan oleh Allah dalam surah al-Kahfi: 46:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi [18]: 46).
Juga disebutkan dalam surah at-Taghabun: 14-15: yang berarti, “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka). Maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghâbun :14-15).
Harta dan anak diinformasikan sebagai zinah, perhiasan. Harta dan anak bisa memalingkan seseorang dari tujuan akhir dalam keluarga. Namun, tentu saja harta bisa mengantarkan pada tujuan akhir, ketika disedekahkan.
Dari itu, sebagian ulama mengatakan, tanda orang kikir adalah mereka yang selalu bersedekah, karena hartanya terus akan dibawa mati. Keluarga yang ditinggal tidak berkesempatan untuk menikmatinya. Seorang anak juga akan menjadi penyampai keselamatan di akhirat, ketika ia tumbuh menjadi manusia yang sehat, baik dan berkualitas dalam keimanan.
Dari itu, al-Quran mengingatkan bahwa harta, isteri dan anak selain merupakan kebanggaan dan hiasan keluarga, juga dapat menjadi musuh dan ujian (fitnah). Dalam arti terkadang dapat menjerumuskan seseorang untuk melakukan perbuatan yang dilarang agama sehingga tujuan akhir dalam keluarga menjadi tidak sempurna atau bahkan gagal. Isytighal bi ghairil-maqshud, I’radh ‘anil-maqshud.
M. Masyhuri Mochtar/sidogiri