Hanya sebagian masyarakat yang mengetahui adanya perjanjian tingkat dunia yang melibatkan Indonesia. Perjanjian misterius itu bernama “Green Hilton Memorial Agreement”. Konon, pembuatan akta termahal di dunia ini melibatkan John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat, Ir. Soekarno, Presiden Indonesia dan William Vouker, perwakilan dari pihak Swiss selaku penengah. Ditandatangani pada 14 November 1463 di Hotel Hilton, Genewa, Swiss, sebagai kelanjutan MoU yang dilakukan pada tahun 1961. Inti isi perjanjian tersebut adalah pengakuan Pemerintah AS atas keberadaan emas batangan murni senilai lebih dari 57 ribu ton yang terdiri dari 17 paket emas.
Sejarah bermula ketika Perang Dunia berakhir. Negara-negara Timur dan Barat yang terlibat perang mulai kembali membangun infrastrukturnya. Perang Dunia rupanya tidak hanya berdampak pada kerugian materi, tetapi juga beban psikologis yang luar biasa. Pergolakan sosial dan keagamaan terus terjadi di mana-mana. Pemerintah negara-negara Barat berusaha menenangkan rakyatnya yang masih khawatir perang akan terjadi lagi. Mereka dijejali angan-angan tentang sebuah era keemasan industri dan teknologi. Untuk itulah, banker-bankir Yahudi yang mengetahui adanya cadangan emas di negara-negara Timur (Asia) segera melancarkan propaganda dan langkah-langkah penguasaan terhadap emas tersebut.
Sesepuh Mason yang bekerja di Federal Reserve (Bank Sentral di Amerika) bersama bankir-bankir dari Bank of International Settlements / BIS (Pusat Bank Sentral dari seluruh Bank Sentral di dunia) mengunjungi Indonesia untuk bertemu Soekarno. Atas nama kemanusiaan, mereka menjelaskan pentingnya pencegahan terjadinya kembali Perang Dunia. Demi kemaslahatan bersama, tiap negara harus mencapai kesepakatan untuk mendayagunakan kolateral emas yang dimiliki tersebut dalam program kemanusiaan. Semua negara menyetujui kesepakatan itu, termasuk Indonesia.
Dua poin utama kesepakatan: 1) emas- emas milik negara-negara Timur (Asia) akan diserahkan kepada Federal Reserve untuk dikelola dalam program-program kemanusiaan, dan 2) negara-negara Asia menerima obligasi dan sertifikat emas sebagai tanda kepemilikan dan pertukaran. Negara-negara yang terlibat antara lain Indonesia, Cina dan Filipina.
Beberapa tahun kemudian, Soekarno mulai mencium adanya persekongkolan busuk yang dilakukan para bankir Yahudi. Kesepakatan antara Negara-negara Timur dengan Barat ternyata tidak dijalankan sebagaimana mestinya, tak ada program-program kemanusiaan yang dijalankan menggunakan kolateral tersebut. Soekarno protes keras dan segera menyadari negara-negara Timur telah ditipu oleh Bankir Internasional.
Tahun 1963 Soekarno akhirnya membatalkan perjanjian dengan para bankir Yahudi. Pemerintah Amerika kemudian melobi Soekarno untuk mengalihkan hak kelola emas tersebut kepada Amerika Serikat. Saat itu Amerika sedang terjerat utang besar-besaran setelah terlibat perang dunia. Presiden Kennedy menginginkan negara mencetak uang tanpa utang. Ia berusaha meyakinkan Soekarno dengan membayar bunga 2,5% per tahun dari nilai emas yang digunakan dan mulai berlaku 2 tahun setelah perjanjian ditandatangani.
Tidak lama setelah penandatanganan perjanjian tersebut, Presiden Kennedy ditembak mati, menyusul kemudian Soekarno ditumbangkan oleh gerakan Orde Baru yang didalangi CIA. Tangan-tangan gelap bankir Yahudi kemudian memindahkan kolateral emas tersebut ke International Collateral Combined Accounts for Global Debt Facility di bawah pengawasan OITC (The Office of International Treasury Control) yang semuanya dikuasai oleh bankir Yahudi. Perjanjian itu tidak pernah efektif sampai saat Soekarno jatuh sakit dan tidak lagi mengurusnya hingga meninggal dunia.
Sampai hari ini, tidak satu rupiah pun dari bunga dan nilai pokok aset tersebut dibayarkan pada rakyat Indonesia melalui pemerintah, sesuai perjanjian yang telah disepakati. Padahal AS telah menggunakan emas milik Indonesia sebagai kolateral dalam mencetak dollar. Ada informasi yang menjelaskan bahwa salah satu syarat pencairan emas melalui persetujuan Sri Paus (The Pope), petinggi Katolik di Vatikan, Italia. Keberadaan emas-emas itu juga sulit dilacak rimbanya. Tak ada pembahasan panjang mengenai ini, baik dari kalangan pemerintah maupun para pengamat.
Terlepas dari pembahasan panjang di awal, ada banyak kalangan yang menyatakan bahwa dokumen perjanjian ini palsu. Analisis tanda tangan, tanggal pembuatan serta stempel yang ada di dokumen tidak bisa dipertanggungjawabkan.
N. Shalihin Damiri/sidogiri