KH. Abdullah Gymnastiar pernah tenar sebagai dai yang digandrungi ibu-ibu dan kawula muda. Perlahan ketenaran itu hilang ketika berita tentang poligaminya disiarkan oleh media massa. Ibu-ibu pengajian mulai banyak menjauhi pengajian beliau, simpati mulai berkurang. Tetapi, bagi dai yang biasa dipanggil Aa Gym tersebut, keputusannya berpoligami juga menyimpan sejuta pelajaran dan hikmah. Bagaimana Aa Gym memandang poligami dan menghadapi masa-masa sulit? Berikut hasil wawancara N. Shalihin Damiri dari Sidogiri Media.

Anda memandang poligami?

Mengurus pesantren lebih ringan. Tapi mengurus dua istri, masyaallah. Saya tidak bisa membayangkan bagi yang tidak siap. Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana tangisan istri saya. Padahal sudah dari dua tahun yang lalu dia tidak melarang. Tapi waktu kenyataan (dipoligami), ingin pingsan tapi gak bisa.

Jadi poligami itu bukan perkara nikah saja. Mungkin yang saya rasakan ini, harus sangat siap suaminya. ekstra sabar, ekstra tenang. Karena kalau tidak, bisa tidur di mushala seumur-umur, lho.

Harus dilatih dulu. Dididik istri yang pertama, supaya mengerti. Kalau tidak, berat. Maka saya anjurkan, monogami saja dulu (senyum). Bagaimana mau poligami kalau satu saja tidak terbina dengan baik?

Memang beratnya naluri lelaki, apalagi seumur kita-kita ini. Waduh, saya tidak yakin bisa mengendalikan diri kalau tidak dengan kuat iman.

Anda berkali-kali dicaci.

Memang bicara di media, saya pahit. Dihina, dicaci, dicerca oleh sebagian. Saya susah menasehati siapa pun kalau tidak menjalaninya. Teteh (istri) dimintai pendapat karena begitu banyak yang begini. Mau ngomong apa? Kalau hanya teori gampang, sekarang sudah tahu sendiri bagaimana beratnya cemburu. Saya tahu bagaimana susahnya poligami itu. Saya malah belum tahu enaknya yang mana.

Jangan fokus pada penghinaan orang, tapi fokuslah pada kehinaan diri sendiri. Jadi derita saya itu dulu karena awalnya tidak menerima ketika diuji. Jadi makin tidak menerima, makin menderita.

Saya bisa memaklumi andai ada yang berbeda pendapat. Saya juga memaklumi andai ada yang kecewa. Yang paling bertanggung jawab adalah saya sendiri. Kalau air mata ini harus keluar, maka inilah air mata syukur tak ternilai. Bukan karena poligaminya, tapi karena hikmahnya.

Rumah tangga ideal?

Dalam rumah tangga itu bukan satu, dua atau tiga amanah. Tapi menjadi dekat dengan Allah atau tidak. Karena yang membahagiakan itu bukan suami, bukan istri, bukan anak, tetapi Allah. Jadi hati-hati.

Saya tidak berharap istri saya mencintai saya berlebihan. Karena itu akan menjadi masalah. Tugas saya bukan mendidik istri untuk mencintai saya, tetapi tugas saya adalah mendidik istri untuk mencintai Allah.

Kesuksesan seorang suami bukan dicintai istrinya, kesuksesan suami membuat istrinya mencintai Allah di atas segalanya. Karena itulah yang membuat istri bisa bahagia.

Didiklah istri untuk lebih mencintai Allah di atas segalanya, maka mereka akan bahagia. Kalau berbuat supaya istri mencintai kita, maka akan menderita. Sama, istri juga. Istri paling menderita adalah istri yang paling ingin dicintai, paling ingin dihargai, paling ingin disayangi oleh suami, pasti menderita. Tapi istri paling ingin dicintai Allah, pasti dia akan dibahagiakan oleh Allah.

Siapa yang paling harus sabar di dalam keluarga? Suami. Kenapa? Karena suami adalah kepala keluarga. Karena wanita itu terbuat dari tulang rusuk yang bengkok. Kalau dikerasin, patah. Kalau dibiarin, tetap bengkok. Jadi istri itu harus disabarin, dicontohi, didoakan dan dishalati. Bukan shalat janazah, tapi suami harus shalat taubat. Kenapa? Kalau istri berbuat sesuatu yang kurang baik, kita harus evaluasi diri. Jangan-jangan kita yang belum bisa memimpin dengan baik.

Tidak mudah bagi para istri.

Begini, jadi kalau sudah terjadi, ya berarti memang sudah begitu tulisannya (takdir). Seorang ibu tidak mau dipoligami, itu haknya, boleh. Tapi kalau sudah terjadi, misalkan, pasti pahit. Tapi mungkin di sana cinta Allah ke ibu itu, supaya ibu itu tidak menuhankan suami, tidak berlebihan ke suami. Supaya ibu itu lebih banyak waktu belajar. Mungkin begitu.

Kalau suami minta izin, itu bagus, dari pada diam-diam menikah. Para ibu (harus) hargai dengan memberikan izin. Saya tahu itu berat.

Seandainya kita mau jujur, tidak dengan emosi. Harus jelas dulu niatnya apa. Karena ini bukan perkara sederhana. Walaupun diperbolehkan, pertanggungjawabannya amat berat. Sebaiknya kalau satu saja belum bisa bersungguh-sungguh mengemban amanah, lebih dari itu tentu lebih berat. Karena jauh lebih mudah mengelola perusahaan dari pada mengelola perasaan.

(Bagi para ibu) kalau kita mengenal Allah lebih dari suami, pasti kita lebih mencintai Allah daripada suami. Kalau ibu mengenal kasih sayang Allah tidak ada bandingannya daripada kasih sayang suami, ibu pasti lebih takut kehilangan kasih sayang Allah. Artinya Tauhid-lah yang akan membuat ibu menikmati apa yang akan terjadi.

Tapi setiap orang punya garis masing-masing. Mungkin, (dipoligami itu adalah) karunia Allah supaya ibu jadi kekasih Allah.

Baca juga: NIlai Berkah Pada Pernikahan

Baca juga: HIndari Lima Hal Ini Agar Pernikahan ‘Samawa’

Spread the love