Baik laki-laki maupun perempuan, sulit dilepaskan dari kepentingan egonya sendiri dalam memandang poligami. Rata-rata lelaki mendukung poligami karena kepentingan ‘hasrat’ berahinya. Rata-rata perempuan menolak poligami karena kepentingan ‘nafsu’ monopolinya. Seandainya, kedua belah pihak berkenan untuk obyektif, maka semuanya akan legowo menerima poligami dalam kondisi-kondisi tertentu.
Secara formal dalam ajaran hukum Islam, poligami sah dilakukan untuk kepentingan apapun, asalkan segala syarat dan ketentuan pernikahannya sudah terpenuhi. Namun demikian, hukum sah yang asalnya bermakna boleh itu bisa berubah menjadi sah tapi haram, sah tapi makruh, sah sekaligus sunnah, atau sah sekaligus wajib. Perubahan-perubahan ini sangat bergantung pada faktor-faktor lain yang menyelimuti praktek poligami tersebut. Jadi, apakah poligami itu baik ataukah buruk, hal itu bersifat kasuistik-kondisional, tergantung niat, tujuan, latar belakang, sebab, kondisi, dan juga akibatnya.
Pada prinsipnya, halalnya poligami dimaksudkan sebagai solusi untuk mengatasi masalah atau sebagai sarana untuk mencapai sebuah kepentingan yang mu’tabar secara syar’i; sama sekali bukan sebagai sarana untuk memuaskan nafsu belaka. Hikmah yang sama juga berlaku untuk sahnya perbudakan. Hukum perbudakan dimaksudkan sebagai solusi terbaik dalam memperlakukan tawanan perang, bukan sebagai cara untuk merampas kemerdekaan orang lain.
Sayangnya, dalam perkembangan realitas kehidupan, sebuah tuntunan seringkali gagal terwujud secara ideal karena tidak dijalankan secara utuh oleh pemeluknya. Selalu ada orangorang yang membelokkan legalitas hukum menjadi celah untuk kepentingan nafsunya, sehingga sesuatu yang awalnya maslahah berubah menjadi suatu yang mudarat. Hal itulah yang menyebabkan orang-orang yang antipati dengan legalitas hukum tersebut memiliki amunisi untuk melancarkan kritik, sekaligus menutup mata terhadap hikmah dan kemaslahatannya.
Praktek yang salah dari oknum poligami menyebabkan banyak orang, khususnya kaum wanita, bersikap sinis terhadap perilaku poligami. Sehingga, banyak orang yang berpikir bahwa monogami merupakan sistem pernikahan yang lebih pas dengan prinsip keadilan. Pola pandang semacam itu muncul dari hasil kekecewaan mereka terhadap realitas yang sedang dihadapi, sehingga mengabaikan terhadap realitas-realitas lain di dalam ruang dan waktu yang berbeda.
Dalam kondisi normal, monogami bisa jadi memang lebih pas. Akan tetapi, dalam kondisi-kondisi tertentu yang juga tidak jarang terjadi, monogami justru akan melahirkan masalah yang sulit dicari jalan keluarnya. Misalnya, dalam kondisi global seperti di abad pertengahan, di mana kekuasaan politik hampir selalu didapatkan dengan cara berperang. Akan sangat banyak kaum lelaki yang gugur di medan perang, dan akan sangat banyak wanita yang menjanda dalam waktu panjang. Rasio lelaki berada di bawah rasio kaum wanita. Dalam kondisi seperti itu, poligami menjadi satu-satunya solusi yang paling tepat. Kabarnya, pada masa inipun, poligami justru dianjurkan secara resmi oleh pemerintahan negaranegara yang mengalami krisis perang, sebagaimana di Irak saat ini.
Oleh karena itu, dalam syariat Nabi Musa, seorang lelaki diperbolehkan poligami tanpa batas. Nabi Dawud yang mengamalkan syariat Taurat tercatat memiliki 99 istri. Begitu pula Nabi Sulaiman, beliau memiliki seribu istri. Hal itu, menurut Imam Izzuddin bin Abdissalam disebabkan karena populasi lelaki Bani Israil saat itu jauh berada di bawah populasi wanita. Sebagaimana telah maklum, hal itu akibat keputusan Firaun untuk membunuh setiap bayi lelaki Bani Israil dan membiarkan bayi wanita tetap hidup. (Syekh al-Bakri dalam I’ânatut–Thâlibîn)
Coba bayangkan: Misalnya ada seorang wanita menderita penyakit yang menyebabkan dia tidak bisa memberikan pelayanan biologis kepada suaminya, sementara kebutuhan biologis itu merupakan ‘sembako’ bagi kaum lelaki. Dalam kondisi ini, setidaknya ada tiga pilihan bagi sang suami. Pertama, menceraikan dia, lalu menikah lagi. Ini sangat kejam! Kedua, selingkuh. Kejam sekaligus bejat! Ketiga, poligami. Inilah solusi yang paling baik, di antara pilihan-pilihan yang serba sulit itu. Istrinya yang pertama tetap mendapatkan nafkah serta tetap memiliki penanggung jawab, sementara kepentingan ‘sembako’ suami juga bisa terpenuhi dengan baik. Mengatasi masalah tanpa masalah.
Nalar yang sama juga bisa diterapkan dalam kasus di mana seorang istri tidak bisa memberikan anak untuk suaminya, sementara suami sangat mengimpikan untuk memiliki keturunan. Secara historik, kondisi ini pernah dialami oleh Nabi Ibrahim alaihis salam. Sayidah Sarah tidak kunjung memberikan seorang putra untuk Nabi Ibrahim, meskipun pernikahan mereka sudah sangat lama. Akhirnya, beliau menikah dengan Sayidah Hajar. Dari pernikahan itulah, kemudian lahir Nabi Ismail alaihis salam.
Maslahat yang paling unik mengenai poligami diutarakan secara tersirat oleh Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’ Ulûmiddîn ketika beliau membahas tips-tips mematahkan dua nafsu (Kasrus–Syahwatain). Tentu saja, yang beliau utarakan adalah kemaslahatan sufistik. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa salah satu efek terburuk dari nafsu berahi adalah asmara yang melahirkan kesetiaan membabi buta. Hal itu menyebabkan seseorang tidak cukup hanya dengan menyalurkan nafsunya, akan tetapi masih ditambah dengan syarat lain, yaitu harus kepada satu wanita saja. Konsekuensi dari itu, kata beliau, adalah:
حَتَّى يَزْدَادَ بِهِ ذُلًّا إِلَى ذُلٍّ وَعُبُوْدِيَّةً إِلَى عُبُوْدِيَّةٍ
“Dengan kesetiaan asmara tersebut, dia menambahkan kehinaan asmara di atas kehinaan berahi; dan berhala asmara di atas berhala berahi.”
Melalui pernyataan ini, Imam al-Ghazali seolah-olah hendak menegaskan bahwa kesetiaan yang membabi buta terhadap seorang istri bisa berubah menjadi tindakan ‘mengesakan’ istri. Oleh karena itu, suami seharusnya bisa melepaskan diri dari cengkeraman perasaan semacam ini. Kalaupun dia bertekad untuk tidak berpoligami atau tidak akan berganti pasangan sepanjang hidupnya, namun tekad tersebut harus berangkat dari landasan yang benar dan pertimbangan yang rasional, bukan semata-mata karena ‘fanatisme-emosional’ terhadap satu figur istrinya tersebut.
Itulah sekelumit gambaran mengenai hikmah poligami. Tentu masih banyak gambaran-gambaran lain dalam latar belakang yang berbeda pula. Hanya saja, perlu diingat, dalam kehidupan dunia ini memang jarang sekali ditemukan kemaslahatan yang murni, tanpa disertai mudarat dan masyaqat sama sekali. Apa yang maslahat di dunia, hampir selalu ada efek sampingnya. Maslahat yang mutlak hanya ada di surga. Sedangkan dalam kehidupan dunia, kemaslahatan mutlak itu lebih sering hanya utopia. Hal itu juga berlaku untuk kemaslahatan poligami.
Ahmad Dairobi/sidogiri
Baca juga: Monogami Adalah Sunnah!!!