Memperingati sebuah momen sejarah merupakan hal yang lumrah terjadi di dalam kehidupan sosial. Hal itu juga sangat bermanfaat untuk melestarikan sejarah tertentu serta membangkitkan rasa bangga terhadapnya. Sebagai contoh, peringatan Maulid Nabi. Syekh Mubassyir al-Thirazi (ulama Turkistan) menyatakan bahwa di zaman seperti saat ini, perayaan semacam Maulid Nabi itu merupakan keniscayaan yang sangat mendasar bagi umat Islam. Sebab, selain membangkitkan memori kita terhadap keagungan sejarah Islam, hal itu juga dimaksudkan sebagai salah satu bentuk syiar untuk menyaingi berbagai macam tradisi perayaan yang jelas-jelas negatif dan bertentangan dengan ajaran Islam.

Hal itu pula yang mendasari para sahabat Nabi di masa Sayidina Umar bin al-Khattab bersepakat untuk membuat kalender Islam, dan menjadikan peristiwa hijrahnya Rasulullah SA sebagai pedoman penghitungan tahunnya. Hijrahnya Nabi dianggap sebagai peristiwa yang sangat vital bagi terwujudnya kejayaan Islam sepanjang sejarah.

Itu pula yang mendasari berbagai hari peringatan yang lain dalam tradisi keagamaan kita. Ada momen-momen sejarah tertentu yang sangat baik untuk kita peringati karena ketinggian nilai sejarah di dalamnya, seperti Nuzulul Qur’an, Isra’ Mikraj, dan semacamnya.

Dari sisi tujuan dasar, peringatan Hari Santri tidak jauh beda dengan berbagai hari peringatan di atas, hanya saja ruang lingkup Hari Santri lebih sempit karena hanya terkait dengan konteks sejarah Islam di Indonesia. Tanggal diterbitkannya Resolusi Jihad merupakan momen sejarah yang sangat spesial bagi kaum santri dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Resolusi itu menunjukkan bahwa kaum santri memiliki peran yang besar bagi bangsa ini, tidak hanya dalam membangun moralitas-spiritualitas masyarakat melawan penjajahan budaya, tapi juga dalam perjuangan fisik melawan penjajahan politik.

Baca Juga: PESANTREN, SANTRI DAN PERDAMAIAN

Namun demikian, di balik fakta sejarah yang membanggakan itu, kaum santri harus menyadari bahwa setinggi apapun kebanggaan sejarah, hal itu tetaplah cerita masa lalu yang menjadi kurang berarti jika tidak diikuti oleh fakta kekinian yang sesuai dan sepadan. Maka, pertanyaan terpentingnya adalah: apakah kaum santri sudah merasa puas hanya dengan kebanggaan sejarah masa lampau mereka, sementara dalam realitas kekinian mereka terpinggirkan!? Kebanggaan sejarah itu seharusnya menjadi tonggak untuk terus membangun peran signifikan kaum pesantren bagi bangsa dan negara.

Oleh karena itu, ada benarnya jika muncul kalangan tertentu yang bersikap lebih hati-hati dan agak kritis terhadap lahirnya Hari Santri. Di antara mereka ada mempertimbangkan adanya kemungkinan Hari Santri hanyalah sebuah kamuflase untuk mengesankan bahwa rezim pemerintahan saat ini dekat dengan santri. Padahal kenyataannya tidak ada kebijakan strategis apapun yang diambil oleh pemerintah untuk mengakomodir peran pesantren, atau menguntungkan kalangan pesantren.

Begitu pula, muncul kekhawatiran bahwa Hari Santri itu hanya menjadi momen seremonial yang tidak memiliki implikasi apapun, kecuali hanya sekadar perayaan-perayaan yang tiba-tiba meledak dan menguras energi, tapi tidak diikuti dengan terobosan-terobosan nyata yang bermanfaat bagi perkembangan kaum santri dalam jangka waktu yang panjang. Atau, jangan-jangan kaum pesantren malah terjebak ke dalam euforia, sehingga merayakan Hari Santri dengan model-model tertentu yang justru bertentangan dengan nilai-nilai pesantren itu sendiri. Jangan-jangan kaum pesantren hanya menyikapi Hari Santri dengan sekadar kirab yang memacetkan jalan raya dan membuat para pengguna jalan merasa jengkel, tanpa ada syiar dan pesan apapun yang tersampaikan kepada khalayak ramai. Seharusnya, semaraknya kirab fisik itu diikuti dan dilandasi oleh semaraknya kirab pemikiran dan pandangan hidup agar nilai-nilai luhur pesantren bisa mewarnai bangsa kita.

Kekhawatiran-kekhawatiran semacam itu patut dijadikan bahan renungan agar munculnya Hari Santri menjadi lebih bermakna. Penetapan Hari Santri memiliki potensi dasar yang baik, minimal sebagai bentuk syiar kaum santri dan langkah pengibaran bendera pesantren secara luas di tingkat nasional. Akan tetapi, jika potensi dasar yang positif ini tidak disikapi dengan pola pikir dan perencanaan yang matang, maka akan menjadi sia-sia. Harusnya Hari Santri itu menjadi gaung untuk memperjuangkan hal-hal yang positif dan realistis bagi pengembangan pesantren ke depan.

Baca Juga: SANTRI NASIONALIS SEJAK SEBELUM KEMERDEKAAN

Akan sangat strategis jika penetapan Hari Santri itu misalnya dijadikan pijakan untuk mendorong kebijakan-kebijakan penting pemerintah tentang pesantren, misalnya: (1) mendorong  pemerintah untuk menerapkan nilai-nilai pendidikan pesantren dalam mengatasi problematika moral dan mental di kalangan pelajar saat ini; (2) memberikan legalitas terhadap para lulusan pesantren yang mencapai kualifikasi tertentu, tanpa harus ‘dipaksa’ melakukan studi di perguruan tinggi atau lembaga-lembaga pendidikan formal.

Betapa banyak lulusan pesantren yang memiliki kemampuan sangat mumpuni di bidang agama, tapi tidak bisa mengajar agama di lembaga pendidikan formal karena terganjal ijazah. Sementara itu, betapa banyak sarjana-sarjana yang mengajar agama dengan bekal pengetahuan agama yang masih terbilang minim. Jika berbicara keahlian ilmu agama, maka pesantrenlah tempatnya. Hampir tidak ada lembaga pendidikan yang berhasil mencetak ahli agama yang menguasai kitab kuning dan bisa mempelajari Islam dari sumber-sumber aslinya, selain pesantren.

Hal itu tidak berarti pesantren hendak menggantungkan harapan kepada pemerintah. Pesantren sudah terbiasa mandiri dan merdeka. Tipologi kaum santri pada umumnya, sudah dididik untuk tidak terikat dengan kiprah-kiprah formal. Ada semacam indoktrinasi kepada mereka untuk siap menjadi apapun, asalkan tetap memegang prinsip dan nilai-nilai kesantrian. Kaum santri dididik untuk siap menjadi guru, pedagang, petani, nelayan, atau bahkan buruh dan tukang becak sekalipun. Hampir tidak ada pesantren yang menargetkan santrinya bisa menjadi pegawai dan semacamnya. Target profesi nyaris menjadi sesuatu yang tabu dalam pendidikan pesantren.

Namun demikian, jika pemerintah membuka akses yang mudah bagi kiprah kaum santri, maka insya Allah hal itu merupakan kabar baik, khususnya bagi dunia pendidikan. Sebab, dengan demikian, kaum santri memiliki kesempatan yang lebih besar untuk ikut andil mengisi berbagai lini, dan menanamkan pandangan hidup pesantren kepada generasi penerus bangsa ini, tanpa direpotkan dengan kerumitan-kerumitan formalitas yang memakan waktu dan energi.

A. Dairobi Naji/sidogiri

Spread the love