Salam adalah amaliah sahih yang tidak hanya menjadi simbol keimanan dan ketaatan seorang Muslim, namun juga menjadi cerminan soliditas dan harmoni sepanjang sejarah umat Islam. Melalui salam, semoga kita sebagai umat terakhir, mampu menjaga ukhuwah islamiyah di setiap waktu.

Adab Mengucapkan Salam

• Orang berkendara kepada yang berjalan kaki

• Orang berjalan kaki kepada orang yang diam (berdiri, duduk, atau tiduran)

• Anak kecil kepada orang dewasa

• Orang sedikit (satu orang) kepada orang banyak (dua orang atau lebih)

Catatan: Adab di atas berlaku pada kondisi ketika dua pihak saling bertemu. Namun jika satu pihak mendatangi pihak yag lain, maka pihak yang mendatangi (wârid) dianjurkan lebih dahulu mengucapkan salam pada yang didatangi (maurûd), meskipun yang mendatangi adalah seorang anak kecil atau dewasa, sedikit atau banyak. (Lihat, I’ânatuth-Thâlibîn: IV/187-189).

Salam Jarak Jauh

Sunah mengirim salam kepada pihak yang berada di tempat lain melalui perantara orang lain (menitipkan salam) atau perantara tulisan (surat), atau juga melalui pesan instan di gawai semisal Whatsapp, Messenger, Hangouts, dls. Kesunahan salam “jarak jauh” ini berlaku pada pihak yang secara syariat dianjurkan untuk mengucapkan salam secara langsung (lebih jelas lihat Tips Pesantren edisi sebelumnya).

Dalam pembahasan salam yang dititipkan melalui pihak lain (perantara), maka wajib bagi pihak yang menjadi perantara (rasûl) untuk menyampaikan salam tersebut kepada pihak yang dikirimi salam (mursal ilaih), meskipun dalam senjang waktu yang lama. Semisal dikarenakan lupa atau jarak yang memang jauh. Sebab, menyampaikan “salam titipan” tersebut adalah amanah yang wajib ditunaikan.

Kewajiban menyampaikan “salam titipan” tersebut ketika memang pihak yang menjadi perantara menerima atau bersedia untuk menyampaikan salam yang dititipkan tersebut. Jika pihak perantara menolak untuk menyampaikan salam yang titipkan, maka tidak wajib (Lihat, I’ânatuth-Thâlibîn: IV/187-189; Fathul-‘Allâm fi Ahkâmis-Salâm: 27-28).

Contoh mengirim salam jarak jauh melalui perantara pihak ketiga:

Muhammad (pengirim salam/ mursil): Assalâmu ‘Alâ Ahmad. Tolong sampaikan salam saya ini ke Ahmad. (Muhammad mengucapkan sîghat salam yang dianjurkan syariat, maka mencukupi kesunahan dan wajib dijawab).

Mustofa (perantara/rasûl): Oke. Siap. (Mustofa menerima amanah salam, maka harus disampaikan kepada Ahmad). Kemudian Mustofa bertemu dengan Ahmad yang tak lain pihak yang mendapat titipan salam.

Mustofa: Muhammad mengucapkan salam kepadamu, wahai Ahmad. Ahmad (mursal ilaih): Alaika wa ‘Alâ Muhammad as-Salâm.

Dalam salam jarak jauh, harus diperhatikan beberapa poin berikut:

  1. Salah satu dari mursil ataupun rasûl harus menggunakan sîghat yang sesuai dengan anjuran syariat (lebih jelas baca Tips Pesantren edisi sebelumnya):
  2. Mursal ilaih harus menjawab salam titipan dengan segera tanpa ada pemisah;
  3. Sunah bagi mursal ilaih menjawab salam kepada rasûl dan mursil sekaligus dan sunah pula mengawali balasan salam kepada rasûl (sebagaimana dalam contoh di atas).

Salam Non-Muslim (Kafir Dzimmî)

Imam an-Nawawi menyampaikan bahwa ulama berbeda pendapat mengenai hukum memulai dan menjawab salam non-Muslim. Namun dalam diskursus Mazhab Syafii, memulai salam kepada non-Muslim adalah haram dan jika ada non-Muslim mengucapkan salam, maka wajib menjawab salam mereka dengan ucapan: wa ‘alaikum atau ‘alaikum saja. Dalil Mazhab Syafii dalam larangan mengucapkan salam kepada non-Muslim adalah hadis berikut:

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ (رواه الإمام مسلم)

Sedangkan dalil menjawab salam non-Muslim adalah hadis berikut:

إذَا سَلَّم عَلَيْكُمْ أهْلُ الكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ (متفق عليه)

Ada sebagian Ashâbusy-Syafi’i yang menyatakan bahwa memulai salam kepada non-Muslim berhukum makruh. Namun pendapat ini dianggap dha’if (lemah). Sebab, larangan dalam hadis menunjukkan haram. Maka pendapat yang benar adalah haram mengawali salam kepada non-Muslim.

Al-Qadhi menceritakan dari sekelompok ulama bahwa boleh mengucapkan salam kepada non-Muslim jika dalam kondisi mendesak, terdapat hajat, atau sebab. Pendapat ini adalah pendapat al-Qamah dan an-Nakha’i (Lihat, al-Minhâj Shahîh Muslim bin al-Hajjaj: XIV/145)

M Romzi Khalik/sidogiri

Baca juga: Piagam Madinah dan Ketegasan Rasulullah dalam Toleransi

Baca juga: Membangun Nyali Hijrah

Baca juga: Begini Toleransi Menurut Litbang ACS

Spread the love