Melanjutkan tulisan pada edisi sebelumnya, terkait dengan kehadiran riwayat bil-Kasyf dalam hukum Islam. Dalam ranah pemikiran Islam, riwayat bil-Kasyf memang kontroversial; antara kalangan sufi dan ahli Hadis. Kontroversial lantaran perbedaan nilai antara kalangan muhaddis dengan mereka yang meyakini kekuatan dalil melalui riwayat bil-Kasyf, yakni dari kalangan sufi .
Titik penilaian terhadap sebuah hadis, menjadi sumber kontroversial, sehingga berimbas pada penolakan metodologi yang digunakan dalam kritik hadis. Karena perbedaan metodologi, hadis yang sudah dinilai dha’if atau bahkan maudhu’ oleh kalangan muhaddis melalui studi kajian dan kritik hadis, baik sanad maupun matan, justru dinilai shahih oleh kalangan ahli kasyf, terutama dari kalangan ulama sufi .
Di antara model riwayat bil-Kasyf adalah riwayat melalui mimpi, semisal bermimpi bertemu Rasulullah atau perawi hadits seperti Imam Bukhari. Ada pula yang kasyf dengan cukup mendengar dan mencium rangakaian kalimat. Ketika mendengar dan mencium dirasa harum, ia memastikan itu hadis shahih, dan sebaliknya. Pada praktik seperti inilah yang kemudian ada yang berseberangan dengan praktik kalangan ahli hadis melalui metodologi takhrij yang telah dibakukan.
Akibat klaim yang berbeda tersebut, akhirnya persinggungan terjadi di antara muhaddis dan sufi, dan bahkan beberapa tuduhan terlontar dari kedua pihak. Di antara hadis yang menjadi perdebatan ungkapan Man ‘arafa nafsahu ‘arafa rabbahu. Beberapa ulama hadis mengomentari miring ungkapan ini, di antaranya Ibnu Taimiyah yang menghukumi Maudhu’ dan Imam an-Nawawi yang menyatakan Laisa bi Tsabit. Abul-Muzhaffar bin as-Sam’ani juga mengomentarinya bukan bagian dari hadis Marfu’ melainkan ungkapan Yahya bin Mu’adz ar-Razi.
Baca Juga: Hadis Riwayat Kasyf Dalam Riwayat Hukum
Akan tetapi, yang menarik adalah komentar Ibnul-Ghars setelah mengutip ungkapan an-Nawawi Laisa bi Tsabit bahwa kalangan Sufi menyatakan ungkapan ini adalah sebuah hadis. Di antara mereka adalah Syekh Muhyiddin bin ’Arabi dan lainnya, padahal, Syekh Muhyiddin sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Syekh Hijazi al-Wa’idz, penulis Syarh al-Jami’ ash-Shaghir li as-Suyuthi, termasuk Muhaddis bergelar al-Huffadz. Sebagian murid Syekh Muhyiddin mengatakan bahwa mengenai hadits ini Syekh Muhyiddin pernah mengatakan, ”Hadis ini meskipun tidak sah dari jalur riwayat, tapi menurutku shahih melalui jalur al-Kasyf.” (Kasyf al-Khafa’, II: 262).
Nah, komentar seperti Syekh Muhyiddin inilah yang kemudian menuai kontroversi dalam dunia hadis. Termasuk juga hadis-hadis dalam kitab Ihya’ Ulumuddin yang oleh kalangan hadis dinilai lemah atau bahkan Maudhu’, tetapi diyakini oleh banyak kalangan bahwa hadis-hadis di dalamnya terdapat dalam jalur kasyf, sebagaimana diurai pada edisi sebelum ini.
Kalangan Muhaddis, jelas menolak peran kasyf dalam periwayatan hadis. Setidaknya ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh kalangan Muhaddis. Antara alasan mereka adalah bahwa kalangan ulama yang bergelut dalam dunia hukum Islam, seperti Mutakallimin, Fuqaha’ dan Muhaddis tidak memakai hadis yang tidak sah periwayatannya melalui aturan yang telah ditetapkan dalam ilmu Hadis. Para sahabat pun sangat selektif dalam pemilahan berita yang disampaikan atas nama Nabi, dan mereka tidak melibatkan kasyf dalam setiap keputusannya.
Alasan lainnya, jika peran kasyf terbuka lebar maka tidak menutup kemungkinan akan mendekonstruksi kaidah ushul yang telah mapan, karena dengan mudahnya seseorang mengklaim kebenarannya atas nama kasyf. Terlebih lagi, martabat kasyf dalam dunia sufistik terbilang prestisius sehingga dapat membuka klaim kasyf oleh siapa pun yang menginginkan kedudukan tinggi di hadapan manusia.
Jika sudah demikian, maka hadishadis kasyf tentunya dapat meruntuhkan hadis-hadis yang secara lahir melalui jalur periwayatan, termasuk juga klaim kasyf para penipu yang ingin dibilang memiliki derajat wali. Dengan cukup menyebut, “Saya tadi malam bermimpi bertemu Rasulullah” orang-orang akan takjub, meski itu sebagai pengakuan yang mengada-ada. Tentunya, hal ini tidak menutup kemungkinan memang betul-betul terjadi pada mereka yang memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah.
Sebenarnya, dalam kaitan masuk dan tidaknya peran ilham atau kasyf dalam penentuan hukum ini terdapat khilaf. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Fawatihur-Rahamaut Syarh Muslim ats-Tsabt ada tiga pandangan di dalamnya. Pertama ada yang menyatakan dapat dijadikan hujjah. Pendapat ini disinyalir dari kalangan sufi. Kalangan sufi, meyakini hal itu betul-betul dari Rasulullah yang didapat melalui ilham.
Baca Juga: Hadis Dhaif Dalam Lingkaran Hukum
Kedua, ada yang menyatakan menjadi hujjah bagi pribadi pemilik kasyf atau ilham saja, tidak bagi kaum Muslimin. Pendapat ini disinyalir merupakan pendapat umum ulama, dan kemungkinan jalur hukumnya adalah, walaupun terbilang hujjah pasti, tetapi tidak wajib disampaikan pada semua makhluk. Dengan arti yang berbeda, manusia tidak wajib membenarkan apa yang disampaikan oleh pemilik ilham.
Ketiga, menolak secara total untuk menjadi hujjah. Di antara ulama yang menyatakan demikian adalah Syekh Ibnul-Himam. Alasan Ibnul-Himam bahwa ilham atau kasyf tidak memastikan itu dari Allah sehingga pantas untuk tidak dijadikan hujjah secara mutlak.
Ada yang menanggapi enteng mengenai peristiwa kasyf dalam dunia hadis ini dengan mengatakan bahwa kasyf sama halnya dengan ijtihad yang bisa salah dan bisa benar. Dari itu, masih perlu perlu penelusuran kembali dalam al-Quran dan hadis-hadis yang lain. Apakah hal tersebut bertentangan dengan kedua sumber tersebut atau tidak, sebab bisa saja sebuah hadis secara lahir palsu, tetapi dilihat maknanya bernilai kebenaran.
Apakah boleh mengamalkan apa yang disabdakan lewat mimpi tersebut dan menyampaikannya pada orang lain? Asy-Syarwani dalam Hasyiah-nya menyatakan bahwa menyampaikan sesuatu yang diperoleh lewat mimpi secara umum diperbolehkan selama apa yang diperoleh dalam mimpi tidak mengajak kepada perbuatan buruk atau menimbulkan fitnah. Namun demikian, sesuatu yang diperoleh dalam mimpi tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menentukan hukum syara’. (Hasyiah asy-Syarwani III: 374).
Akhiran, riwayat bil-Kasfy adalah bagian dari khazanah keilmuan dalam Islam. Penyikapannya pun terjadi khilaf, sehingga kita tidak perlu memperuncing suatu hal yang memang berbeda di kalangan ahli. Namun demikian, bukan berarti legalitas dari kalangan yang menerima hadis kasyf, khususnya dali kalangan sufi, kemudian dibuat serampangan apalagi dijadikan dalil untuk melakukan praktik kebohongan hanya untuk mendapat tempat prestisius di depan umat. Semoga manfaat.
M. Masyhuri Mochtar/sidogiri