Seringkali di media sosial ditemukan pernyataan sebagian netizen yang menganggap bahwa sebagian ketetapan hukum yang ditulis oleh para ulama pada masa lalu sudah tidak relevan, dan karena itu diperlukan pembaharuan hukum dengan memperhatikan fenomena-fenomena baru yang tidak terjadi pada masa lalu. Lagi pula, kata mereka, hukum yang ditetapkan oleh para ulama itu adalah produk pemikiran mereka yang menggali dari sumber-sumber syariat. Jadi produk hukum ulama itu bukan syariat itu sendiri, sehingga kita tidak perlu tabu untuk merombaknya. Apakah pemikiran seperti itu bisa dibenarkan?

***

Sebagian dari pernyataan tersebut adalah benar, karena memang hukum itu bergantung pada illatnya; di mana ada illat, maka hukum akan ada, dan begitu pula sebalinya (al-hukmu yaduru ma‘a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman). Akan tetapi seringkali patokan ini disalahgunakan, atau dipakai oleh mereka yang tidak berhak memakainya. Karena itu, perlu kiranya ditegaskan hal-hal berikut:

Pertama, bahwa hukum-hukum yang bisa berubah itu adalah hukum-hukum furu‘usy-syari‘ah, di mana ketentuan hukum ini digali oleh para mujtahid dari nash-nash yang zhanni (bukan nash qath‘i). Itulah sebabnya hukum-hukum furu‘ ini meniscayakan ikhtilaf ulama dan memungkinkan adanya perubahan. Adapun hukum-hukum yang telah ditetapkan dengan nash qath‘i, maka itu bukan wilayah ijtihad dan karenanya tidak mungkin terjadi perubahan selama-lamanya.

Baca Juga: Romantisme Ulama Dan Habaib Nusantara

Kedua, yang memiliki otoritas untuk melakukan ijtihad dan istinbat ahkam itu adalah para ulama yang memang sudah diakui keahliannya di dalam fikih. Karena itu tidak sembarang orang bisa melakukan renovasi terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh para ulama. Karena itu fenomena pembaharuan hukum yang belakangan banyak terjadi justru merusak syariat, karena dilakukan oleh mereka yang bukan ahlinya, baik mahasiswa, dosen, doktor maupun profesor. Akhirnya mereka mengubah hukum-hukum yang tsawabit, di mana sebenarnya tak boleh ada perubahan apapun di situ.

Terakhir, mengatakan ketetapan hukum dari para ulama bukan merupakan syariat Islam adalah salah besar. Al-‘Allamah Muhammad Bakhit al-Muti‘i mengatakan: “Setiap hukum yang diambil dari sumber yang empat (al-Quran, hadis, ijma‘, qiyas), baik secara jelas maupun dengan ijtihad yang benar, itu juga merupakan hukum Allah SWT, syariat-Nya, serta merupakan petunjuk Nabi SAW yang kita diperintah mengikutinya. Karena pendapat setiap mujtahid, selagi pengambilannya dari sumber yang empat tadi, terhitung sebagai syariat Allah bagi si mujtahid itu dan bagi orang-orang yang mengikuti hasil ijtihadnya.”

Spread the love