Pernikahan adalah ketentuan syariah dalam menjalin hubungan intim antara lelaki dan perempuan. Tanpa pernikahan, hubungan intim ditetapkan sebagai tindakan lacur dan zina. Anak yang dilahirkan pun akan disebut anak zina. Demikian keras, Islam menjauhkan penganutnya untuk tidak melakukan zina, hingga mendekati perzinahan pun dilarang, wala taqrab az-zina (al-Isra’:32).

Hal kemudian yang sering ditanyakan di tengah masyarakat adalah bagaimana hukum menikahi perempuan hamil? Jika pertanyaan tersebut umum, kondisi perempuan hamil terbagi menjadi tiga; hamil bersuami, hamil pada masa iddah, dan hamil di luar nikah.

Untuk kondisi pertama, jelas tidak boleh, karena Islam melarang poliandri; satu istri lebih dari satu suami. Untuk kondisi kedua, juga tidak boleh, kecuali setelah melahirkan sebagai batas masa iddah selesai. Untuk kondisi ketiga, inilah yang mungkin menjadi pertanyaan besar bagi sejumlah besar kalangan, menikahi wanita hamil di luar nikah.

Pertanyaan itu seiring dengan laju pergaulan bebas di tengah masyarakat. Cinta dan rasa sayang dianggap cukup sebagai ikatan, sehingga melangkah pada hal yang dilarang agama dan sosial. Ketika cinta dinodai, kekecewaan muncul; kecelakaan hamil di luar nikah. Langkah kemudian, menikah dijadikan solusi, baik dengan pria yang menghamili atau lelaki yang siap menjadi relawan penutup fitnah.

Dalam tata hukum nikah, tidak hamil bukan menjadi catatan bagi mempelai perempuan, melainkan di antaranya bebas dari iddah. Karena itu, dalam kondisi menjalani iddah, baik setelah cerai dari suami atau ditinggal wafat, kelahiran yang menjadi batas masa iddah menjadi syarat bagi perempuan tersebut, untuk menikah lagi.

Adapun kehamilan yang terjadi bukan melalui pernikahan, melainkan hasil hubungan gelap alias zina, menikah saat hamil hukumnya sah. Kehamilan di luar nikah, tidak memiliki kehormatan (ihtiram), yang keberadaannya seperti tidak ada, seperti yang digambarkan oleh Syaikh Abu Bakr Syaththa dalam I’anah-nya (4:48) saat menjelaskan persoalan iddah wanita yang hamil.

وإن كان من زنا فوجوده كعدمه إذ لا إحترام له

“Jika kehamilan itu melalui zina, keberadaannya seperti tak ada, (seperti tidak hamil), karena tidak ada kehormatan bagi kehamilan itu”.

Menurut Shahib al-I’anah, perempuan hamil yang kehamilannya dari pemilik iddah (suami), masa iddah sampai melahirkan kandungan. Artinya, jika kandungan tidak berasal dari pemilik iddah, kelahiran bukan menjadi batas iddah. Kehamilan sebab zina, misalnya, tidak ada masa iddah karena wujud kehamilan, sama halnya tidak ada.

Kehamilan sebab zina, dalam agama memang tanpa status; tidak melalui status pernikahan sah, tidak ada hukum perceraian, tidak ada hukum iddah, ruju’, garis keturuan atau nasab, dan hak waris. Semua ketentuan tersebut, tidak berlaku dalam hubungan ilegal perzinahan.

Karena keberadaan kandungan hasil zina keberadaannya seperti taka da, pernikahan yang dilangsungkan dihukumi sah. Al-Qulyubi dalam Hasyiah-nya (4:45) menjelaskan status pernikahan tersebut dengan ungkapan, tidak menjadi penghalang nikah:

الحمل المجهول لاتحد المرأة به لاحتمال أنه من شبهة ولاتنقضي به العدة ولايمنع صحة النكاح كما مر ولايمنع الزوج من الوطء معه

“Kandungan yang tak dikenal, perempuan tidak perlu berkabung (ihdad), karena bisa saja kandungan tersebut dari syubhat, dan kandungan tak dikenal itu bukan menjadi penghabis masa iddah, tidak menjadi penghalang keabsahan nikah, dan suami tidak menjadi penghalang suami untuk berhubungan intim”

Dari redaksi ini, terdapat hukum keesahan menikah dengan perempuan hamil di luar nikah, baik oleh lekaki yang menghamili atau orang lain. Suaminya nanti, boleh berhubungan intim dengan wanita hamil di luar nikah tersebut. Lebih sharih, terdapat di dalam kitab Bughiyah al-Mustarsyidin: 201:

(مسئلة ي ش) يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة

“Boleh menikapi perempuan hamil melalui zina, baik oleh lelaki yang menzinahi dan lelaki lain, sedang mewathi’ dalam kondisi ini berhukum makruh”

Hanya kemudian, hubungan nasab antara anak yang lahir dari kehamilan di luar nikah dengan lelaki yang menikahi ibunya penting juga diketahui.  Berkaitan dengan hubungan nasab anak zina, dalam madzhab Syafi’i tidak ada hubungan nasab (Ghair Intisab) dengan ayah biologis atau lelaki yang menghamili. Ia hanya berjalur nasab dengan sang ibu dan ketententuan ini, menurut Imam Rafi’i adalah Ijmak.

Implikasi dari hukum ini, sang anak baginya seperti orang lain yang tidak terikat dalam hal perwalian, pewarisan dan bahkan boleh dinikahi jika sang anak perempuan. Akan tetapi, hal ini makruh dilakukan karena keluar dari khilaf ulama yang melarangnya.

Namun demikian, jika kehamilan di luar nikah dilanjutkan dengan pernikahan, memiliki ketentuan yang sedikit berbeda. Anak bisa terjalin hubungan intisab dengan lelaki yang menikahi ibunya, baik ia adalah ayah biologis yang menghamili atau lelaki lain.

Ketentuannya, dipilah menjadi dual hal. Pertama, anak tidak memiliki hubungan apa pun dengan lekaki yang menikahi ibunya, tanpa perlu proses pengingkaran anak (mula’anah). Anak itu lahir di bawah enam bulan setelah kemungkinan terjadi hubungan badan. Anak tersebut tidak dihukumi intisab dengan lelaki yang mengawini ibunya, karena tidak ada kemungkinan anak hasil dari hubungan badan dengan suami. Suami wajib mengingkari anaknya.

Kedua, anak memiliki hubungan intisab dengan lelaki pengawin ibunya, dan ia memiliki hak hukum yang sama seperti anak pada umumnya, waris, dll. Hal itu jika ada kemungkinan anak tersebut hasil dari sang suami, karena kelahiran terjadi di atas usia enam bulan setelah hubungan badan.

Akan tetapi, suaminya wajib mengingkari anak memalui proses li’an dan dosa besar jika tidak mau melakukannya. Hal itu, jika ia meyakini bahwa anak tersebut bukan hasil dengannya. Atau ada dugaan kuat, bukan hasil dengannya, karena ia tidak pernah melakukan hubungan badan setelah akad nikah. Atau memang ada tanda-tanda zina pada perempuan tersebut.

Termasuk juga, anak intisab secara zhahir dan suaminya tidak wajib mengingkari anak, jika ia hanya menduga anak itu bukan hasil dengannya, tanpa ada dugaan kuat. Ia sudah memberi jangka (istibra’) setelah terjadi wathi’ melalui haid dan ia juga ragu istrinya berzina.  Namun, jika ada dugaan kuat anak tersebut hasil dengannya, sang suami tidak boleh mengingkari bahkan haram dan termasuk dosa besar jika melakukannya.

Wallahu a’lam.

Spread the love