Suatu saat terjadi perdebatan sengit penuh argumentasi antara Imam asy-Syafii dan Imam Sufyan ats-Tsauri terkait najis dan tidaknya kulit bangkai yang telah disamak. Imam asy-Syafii menjawab bahwa kulit bangkai tetap najis meskipun sudah disamak. Beliau mendasari pendapatnya ini dengan hadis dari Abdullah bin Ukaim saat Nabi Muhammad mengirim surat untuk Juhainah:

“Sesungguhnya aku telah memberi kemudahan kepada kamu dalam hal kulit bangkai, maka apabila surat ini sampai kepadamu maka jangan kamu ambil manfaat dari kulit bangkai, baik dengan disamak maupun dengan membalut.” (HR Abu Dawud).

Pendapat Imam asy-Syafii tersebut langsung mendapat bantahan dari Imam Sufyan. Imam Sufyan ats-Tsauri menyatakan bahwa kulit tersebut suci jika telah disamak. Dalil yang dijadikan argumentasi oleh beliau adalah hadis berikut:

“Dari Ibnu Abbas berkata, Nabi menemukan bangkai domba yang diberikan kepada mantan budaknya, Maimunah, sebagai sedekah. Lalu Nabi bersabda: ‘Kenapa kulitnya tidak engkau manfaatkan?’. Mereka berkata: ‘Itu bangkai, wahai Rasulullah’. Rasulullah menjawab: ‘Sesungguhnya yang haram itu hanya memakannya.'” (HR Imam Al-Bukhari).

Perdebatan kedua imam besar ini tidak terlalu lama, apalagi sampai debat kusir, dan saling mengeluarkan otot leher. Lebih menakjubkannya lagi, ternyata Imam asy-Syafii mengambil pendapatnya Imam Sufyan ats-Tsauri. Imam Sufyan pun juga melakukan hal yang sama. Akhirnya, Imam asy-Syafii menyatakan kulit bangkai suci setelah disamak, sedangkan Imam Sufyan ats-Tsauri menegaskan tidak suci kendatipun sudah disamak.

Inilah etika debat yang dicontohkan oleh para ulama salaf, tidak mencari kemenangan, tapi mencari kebenaran. Bahkan jika dari dua kubu hujahnya sama-sama kuat, mereka tidak segan untuk mengambil pendapat lawan debatnya, bukan bersikeras dan ngotot mempertahankan pendapatnya sendiri, apalagi sampai menjatuhkan lawan debat dengan kata-kata yang sepantasnya tidak terlontar.

Lebih jauh dari itu, kita bisa mempelajari cara berdebat yang telah diajarkan oleh Nabi Ibrahim saat berdebat dengan ayahnya, kaumnya, dan Raja Namrudz. Betapa cerdas dan beretikanya Nabi Ibrahim terhadap lawan debat yang jelas-jelas beda keyakinan dengannya. Tak ada sepatah kata pun terlontar dari lisannya yang membuat lawan debat sakit hati. Sebaliknya, lawan debatnya baik ayahnya maupun Raja Namrudz tidak bisa berargumentasi, logikanya menjadi buntu. Ujung-ujungnya saat kalah debat malah ancaman yang dilontarkan kepada Nabi Ibrahim.

Kisah kecerdasan logika Nabi Ibrahim as menguliti argumentasi lawan debatnya ini terekam jelas dalam al-Quran. Satu contoh saat berdebat dengan Namrudz yang menganggap dirinya memiliki kekuatan absolut yang sama dengan kekuatan Tuhan alam semesta.

“Tidakkah kamu memerhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan)? Ketika Ibrahim berkata, ‘Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,’ dia menjawab, ‘Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim melanjutkan, ‘Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.’ Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” (QS Al-Baqarah: 258).

Lihatlah, betapa logisnya pertanyaan yang diajukan oleh Nabi Ibrahim, sampai Namrudz pun dibuat mati kutu dan skak mat. Akhir dari perdebatan itu adalah sebuah kebenaran mutlak tentang absolutisme kekuasaan Allah yang mestinya harus diakui oleh Namrudz. Namun, nyatanya ia tetap tidak mengakuinya, justru mengancam lawan debatnya, yakni Nabi Ibrahim.

Pelajaran-pelajaran tentang etika berdebat dengan akal sehat plus argumentasi tak terbantahkan juga bisa kita temukan dalam al-Quran. Logika-logika orang kafir pun tak mampu menjawabnya. Salah satu contoh saat mereka mengingkari keesaan Allah dengan dalih persoalan di dunia yang begitu banyak sehingga menuntut adanya tuhan yang banyak pula, sebab kata mereka tidak mungkin tuhan satu bisa mengurusi persoalan yang begitu banyak ini. ٌ

“Mengapa ia (Muhammad) menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS Shad: 5).

Logika dan argumentasi mereka langsung dipatahkan oleh Allah dalam Surah az-Zumar, Allah berfirman:“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS Az-Zumar; 29).

Dari beberapa contoh perdebatan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa perdebatan yang baik adalah yang bertujuan untuk mencari kebenaran. Kedua, menggunakan akal sehat dan argumentasi yang kuat, sehingga terjadi debat yang sehat. Ketiga, menerima pendapat lawan debat jika memang hal itu benar. Keempat, tidak berlama-lama dalam berdebat.

Sedangkan perdebatan yang buruk adalah kebalikan dari semua itu, yaitu mencari ketenaran, bermodalkan omong kosong/debat kusir, tetap ngotot memegang pendapat sendiri kendatipun salah total, dan berlama-lama dalam berdebat hingga tidak menemukan titik temu, yang ada hanya titik jemu.

Afifuddin/sidogiri

Spread the love