Dalam memilih pendamping hidup, pada lumrahnya laki-laki akan memilih yang cantik dibandingkan dengan yang shalihah, yang kaya atau yang memiliki nasab mulia. Padahal, dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim telah dijelaskan bahwa wanita shalihah adalah pilihan paling tepat dari pada yang tidak shalihah. Akan tetapi, bukan berarti tiga pilihan yang tersisa; cantik, harta dan nasab tidak perlu dipertimbangkan. Sebab, di antara empat kriteria tersebut bisa jadi ada dua atau tiga kriteria yang berkumpul. Dengan demikian, tidak ada salahnya bagi seseorang yang hendak menikah untuk mempertimbangkan tiga kriteria tersebut.
Sahabat Utsman bin Affan pernah berpesan kepada anaknya: “Wahai anakku, orang menikah itu layaknya orang menanam pohon yang harus memperhatikan tempat yang tepat untuk ditanami. Benih yang tidak berkualitas jarang sekali menghasilkan anak yang cerdas. Maka carilah ladang yang bagus dan subur, meskipun harus menghabiskan waktu yang cukup lama.”
Bahkan, Islam juga menganjurkan kepada seseorang yang hendak menikah agar memilih calon yang tepat dengan cara melihatnya secara langsung (nadzar). Dengan syarat tidak melampaui batas-batas yang telah ditentukan syariat dan juga memiliki niat untuk menikahinya, tidak untuk sekadar iseng belaka. Adapun batasan yang boleh dilihat menurut yang disepakati oleh mayoritas ulama adalah sebatas wajah dan kedua telapak tangan. Saya kira, hal ini tentu menyangkut kecantikan dan kesuburan tubuh wanita yang akan dipersunting. Kalau tidak, maka untuk apa anjuran itu dilaksanakan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah bertanya kepada seorang laki-laki yang hendak menikahi seorang perempuan: “Apakah engkau sudah melihatnya?” Ia pun berkata: “Belum.” Maka Rasulullah memerintahkannya agar melihat langsung wanita itu. (HR. Muslim) Masih banyak hadis lain yang menjelaskan tentang anjuran melihat langsung calon istri. Di antaranya pula adalah hadis riwayat Jabir bin Abdillah, dijelaskan bahwa Rasulullah bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian hendak meminang seorang wanita maka jika ia bisa untuk melihat langsung sesuatu yang menyebabkannya ingin menikahi wanita itu, maka lakukanlah.” (HR. Abu Daud)
Selain untuk mengetahui kecantikan dan kesuburan tubuh, melihat langsung wanita yang hendak dinikahi juga dimaksudkan untuk menanggulangi adanya aib atau cacat yang tidak diketahui pada wanita tersebut sehingga menyebabkan si pria tidak tertarik lagi padanya. Dalam literatur ilmu Fikih kita mengenal istilah “khiyâr ‘aib” yaitu adanya beberapa aib yang memperbolehkan pihak pria ataupun pihak wanita untuk membatalkan akad pernikahan. Tentunya, aib dari pihak pria tidak sama dengan aib dari pihak wanita, dan semua itu telah dipaparkan secara lengkap dalam kitab-kitab Fikih.
Dengan demikian, melihat langsung wanita yang hendak dipersunting adalah perbuatan yang dilegalkan syariat. Jika si pria tidak bisa melihatnya langsung karena berhalangan atau wanita tersebut menolak untuk dilihat maka ia diperbolehkan mengutus wanita lain yang dipercayainya untuk melihat bagian-bagian tubuh tertentu yang masih diperbolehkan syariat antar sesama wanita. Menurut hadis riwayat Imam ath-Thabrani dan Imam al-Baihaqi, Rasulullah pernah mengutus seorang wanita untuk memeriksa aib-aib tersembunyi yang dikhawatirkan ada pada wanita yang hendak dipersuntingnya. Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa Rasulullah memerintahkan kepada wanita yang diutusnya agar memperhatikan bau mulut, bau badan dan urat kaki atau betis wanita yang hendak dipersuntingnya itu.
Akan tetapi, sebagian orang tidak menganggap perlu untuk melakukan “nadzhar” karena lebih mengutamakan keshalihan dan sulitnya menemukan wanita yang dapat memadukan keshalihan dan kecantikan. Dalam “Ithâfu as-Sâdatil-Muttaqîn Bisyarhi Ihyâi ‘Ulûmiddîn”, disebutkan bahwa Imam al-Ghazali menyampaikan: “Anjuran mengutamakan wanita shalihah tidak berarti melarang memilih wanita cantik. Yang dilarang hanyalah apabila terpaku pada wanita cantik yang tidak shalihah. Sebab, kecantikan memiliki daya tarik kuat yang menyebabkan seseorang ingin menikah.” Menanggapi penyampaian Imam al-Ghazali tersebut, Imam az-Zabidi mengakatan: “Ketika kecantikan dan keshalihan terpadu, maka wanita itu tak ubahnya buih di hamparan Narsian.” Maksud dari perkataan Imam az-Zabidi adalah karena jarangnya wanita yang dapat memadukan kecantikan dan keshalihan meskipun bukan berarti mustahil ditemukan.
Ali Wafa Yasin/sidogiri