Berawal dari pertemuan tidak disengaja. Terkadang menumbuhkan bibit-bibit cinta antara dua insan yang jenisnya berbeda. Lebih-lebih perasaan kawula muda. Dan rasa cinta sulit terkontrol selain bagi dia yang memiliki pikiran mapan dan kokoh iman. Entah rasa cinta keduanya bermuara dari ketertarikan akan raut wajah atau perasaan sreg dsb.
Sudah barang tentu efek samping dari rasa cinta adalah kerinduan akan sosok yang dicintainya. Dari kerinduan inilah banyak para pemuda-pemudi tadi terperangkap dalam lingkaran “dilema”. Mengapa disebut dilema?, sebab tentunya agama Islam memberi garis batas tertentu yang dilarang. Semisal saling berhubungan atau bahkan memadu kasih sayang terlarang tanpa ikatan akad yang sah. Dalam lingkaran dilema barusan banyak sepasang pemuda-pemudi terjerat atau bahkan jatuh ke jurang maksiat.
Agama Islam tidak melarang seseorang memiliki rasa mahabbah atau yang disebut dengan rasa cinta pada lawan jenis. Sebab hal itu merupakan fitrah manusia. Namun Agama melarang hal-hal yang melampaui batas cinta tersebut. Batas-batas dimaksud adalah memandang syahwat orang tercinta, melakukan hubungan-hubungan yang menyebabkan jatuh dalam jurang maksiat.
Baca Juga: Lagi-Lagi Tentang Cinta
Maka dari itu, Islam memberi label orang yang mati disebabkan oleh rasa cinta dan rindu (asyiq) dengan label orang yang syahid. Yaitu mendapatkan derajat syahadah di akhirat, namun lebih rendah dari derajat para Mujahid demi menegakkan kalimat Allah. Label syahid barusan bisa diraih dengan beberapa syarat menurut kalangan ulama. Di antaranya, yang pertama harus Iffah. Yaitu andaikan dia bertemu dengan yang dicintainya tidak akan melakukan hal-hal yang senonoh atau maksiat; bukan saling menjaga dan setia sehidup semati tanpa akad yang sah. Kedua, menyimpan perasaan cintanya dari orang lain lebih-lebih sosok yang dicintainya. Sebab cinta memang soal rasa yang bukan untuk diungkapkan. Ibarat rasa manis madu yang bisa dipahami oleh diri sendiri, tidak bisa dipahami orang lain walaupun dijelaskan oleh kata-kata. Ketiga, tidak berhubungan dengan yang dicintainya walaupun sekedar hubungan medsos.
Bila syarat-syarat barusan terpenuhi sudah sepantasnya disebut mati syahid. Bila melanggar syarat-syarat di atas ya sepantasnya disebut mati konyol su’ul khatimah.
Pada zaman ini dengan kemajuan teknologi informasi seseorang diberi ruang lingkup luas seseorang untuk bergaul secara fisik maupun virtual. Dengan ruang lingkup barusan, tentunya memberi kemudahan seseorang mengenal satu sama lain. Lebih-lebih hubungan sosial pemuda-pemudi. Oleh karena itu, sulit sekali bila seseorang memiliki rasa cinta tidak ternodai oleh hitam pekatnya maksiat semisal berpacaran dsb. Solusi utamanya adalah dengan memperbaiki diri dan mempersiapkan kemapanan hidup lahir batin. Bila sudah siap dan mapan, barulah sunah melangkah ke pelaminan yang sah. Dengan menjalani sunah Nabi akan menarik rahmah dan ridha-Nya. Bukan malah berpacaran yang dapat menjerumuskan ke jurang perzinahan dan mukadimahnya, yang mana dapat mengundang amarah dan siksa-Nya.
Baca Juga: Pentingnya Melihat Langsung Calon Pendamping Hidup
Lebih dari pada penjelasan di atas, Baginda Nabi mengajarkan bahwa paling baiknya wanita sebagai istri adalah dia yang membuat bahagia bila dilihat suaminya. Jadi nikah merupakan bahtera bagaimana sepasang kekasih bisa berlayar dalam lautan kebahagian dunia akhiratnya. Begitu pula Nabi menganjurkan bagi seorang laki agar memilih dengan cakap perempuan yang akan ditanami beni-benih keturunannya. Tidak sembarang memilih, hanya atas dasar cinta. Sebab cinta hanyalah sesaat yang juga akan bertemu garis bosan dan jenuh. Namun apabila tepat lahir batin memilih kekasih yang akan dibawa ke pelaminan yang sah, maka pada kehidupan rumah tangga selanjutnya dia akan mendapatkan kehidupan yang bahagia dengan keturunan baik sebagai generasi bermutu di kehidupan selanjutnya. Ibarat calon istri adalah ladang sawah dan calon suami adalah petaninya. Seberapa baik pun bibit suami yang ditanam bila di ladang yang tidak subur atau malah gersang, tentu tidak akan membuahkan keturunan atau membuahkan keturunan yang tidak bermutu. Begitu pula bila ladangnya bagus dan subur, akan tetapi bibit yang ditanam oleh si petani tidak bagus atau malah tanaman benalu. Tentu yang tumbuh adalah bibit tidak bermutu atau tidak berguna.
Dari beberapa penjelasan barusan, bisa memberikan kesimpulan bahwa bila hendak memutuskan mempertahankan cinta. Seseorang hanya memiliki dua jalan yang bisa ditempuh, demi sucinya cinta yang dia pertahankan. Pertama, kubur dalam-dalam cinta yang dia tanam agar menjadi orang yang syahid bila dia mati sebab cinta dan rindu yang menusuk relung hatinya. Kedua, menikahlah dengan yang dicintainya. Sebab pelaminan merupakan cara ampuh menangkal hal-hal negatif yang akan terjadi pada saat rasa cinta tersebut bergejolak di dalam dada. Wassalam.
Moh. Baihaqi/sidogiri