Prolog
Nahdlatul Ulama (NU) lahir pada 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 M. NU merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Nusantara bahkan di Dunia. NU lahir dari kecemasan para ulama setelah keruntuhan Khilafah Usmaniyah, umat Islam seperti tidak punya induk yang bisa menyatukan mereka akibatnya keinginan Raja Ibnu Saud untuk menerapkan asas tunggal yakni wahabi di Mekah, juga menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam. Maka kalangan pesantren merespon dengan membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah yang berhasil mengubah niat Raja Saud untuk mengubah islam menjadi satu Madzhab saja, Madzhab wahabi.
Peran KH. Kholil Bangkalan
KH Abdul Wahab Chasbullah punya gagasan yang langsung disampaikan kepada Mbah Hasyim Asy’ari untuk mendirikan jam’iyah. Namun, Mbah Hasyim tidak lantas menyetujui terlebih dahulu sebelum ia melakukan sholat istikhoroh untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT. Sikap bijaksana dan kehati-hatian Kiai Hasyim Asy’ari dalam menyambut permintaan Mbah Wahab Chasbullah juga dilandasi oleh berbagai hal. Di antaranya, Kiai Wahab menyadari bahwa posisi Mbah Hasyim saat itu adalah tokoh berpengaruh.
KH Raden As’ad Syamsul Arifin menceritakan, KH. Hasyim meminta restu pada Sang guru Kyai Kholil Bangkalan, yang juga guru Mbah Wahab. Dari petunjuk tersebut, As’ad muda yang ketika itu menjadi santri Mbah Kholil Bangkalan berperan sebagai mediator antara Mbah Kholil dan Mbah Hasyim. Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010) menjelaskan, ada dua petunjuk yang harus dilaksanakan oleh As’ad sebagai penghubung atau wasilah untuk menyampaikan amanah Mbah Kholil kepada Mbah Hasyim Asy’ari.
Hal itu merupakan bentuk komitmen dan takzim santri kepada gurunya apalagi terkait persoalan-persoalan penting dan strategis. Ditambah tidak mudahnya bolak-balik dari Bangkalan ke Tebuireng di tengah situasi penjajahan saat itu. Petunjuk pertama, pada akhir tahun 1924 santri As’ad diminta oleh Mbah Kholil untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa.
Petunjuk kedua, kali ini akhir tahun 1925 santri As’ad kembali diutus Mbah Kholil untuk mengantarkan seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya Qahhar) ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama yaitu Mbah Hasyim. Setibanya di Tebuireng, santri As’ad menyampaikan tasbih yang dikalungkannya dan mempersilakan Mbah Hasyim untuk mengambilnya sendiri dari leher As’ad. Bukan As’ad bermaksud tidak ingin mengambilkannya untuk Mbah Hasyim, melainkan As’ad tidak ingin menyentuh tasbih sebagai amanah dari Mbah Kholil kepada Mbah Hasyim. Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad sepanjang perjalanan dari Bangkalan ke Tebuireng. Setelah tasbih diambil, Mbah Hasyim bertanya kepada As’ad: “Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad hanya menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar”, dua asmaul husna tarsebut diulang oleh As’ad hingga tiga kali sesuai pesan sang guru. Mbah Hasyim Asy’ari kemudian berkata, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyyah”.
Untuk lambang NU sendiri merupakan hasil istikharah dari Kyai Ridlwan atas permintaan KH. Wahab Hasbullah yang kemudian oleh Kyai Wahab ditambahkan lambang tali jagad. “Itu adalah istikharah Kyai Nawawi Sidogiri” dawuh beliau. Dan tali jagat tersebut disimpul menjadi dua ikatan adalah yang berarti dari Hablun Minallah (hubungan manusia dengan Allah) dan Hablun Minannas (hubungan manusia sesama manusia).
Dari proses lahir dan batin yang cukup panjang itu menggamabarkan bahwa liku-liku lahirnya NU tidak banyak bertumpu pada perangkat formal sebagaimana lazimnya pembentukan organisasi. NU lahir berdasarkan petunjuk Allah SWT. Di sini fungsi ide dan gagasan tidak terlihat mendominasi meskipun tetap mejadi pijakan penting. Faktor penentu adalah konfirmasi kepada Allah SWT melalui ikhtiar lahir dan batin.
Fauzan Imron/Sidogiri