ماَ قاَدَكَ شىءٌ مثل الوَهْمِ
“Tiada sesuatu yang dapat menuntunmu (pada kehinaan) seperti angan-angan kosong (wahm).“
Kalam hikmah Syekh Ibnu Athaillah kali ini berkaitan erat dengan kalam hikmah sebelumnya. Bila sebelumnya beliau detail menjelaskan sifat serakah. Sifat yang menjerat seseorang pada kehinaan dan kerendahan. Maka pantas kiranya beliau juga menjelaskan apa yang menyebabkan seseorang menjadi serakah.
Padahal sebagai muslim kita meyakini bahwa tidak ada yang bisa memberikan manfaat ataupun membawa pada kecelakaan melainkan Allah. Allah yang Mahakuasa atas semua yang dikehendaki-Nya. Lalu mengapa masih ada orang yang serakah pada orang lain, sedangkan Allah adalah Dzat yang Maha Luas Pemberian-Nya? Maka jawabannya tiada lain melainkan wahm.
Wahm secara halus menggoyahkan keyakinan bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Segalanya. Bila al-yaqin adalah kemantapan hati kepada Allah 100%, al-dzan adalah kemantapan 75%, asy-syak adalah kemantapan 50%, maka wahm adalah kemantapan dengan kadar hanya 25%. Maka wahm akan menggiring manusia agar tidak lagi percaya kepada jaminan Allah. Dia mengatakan bahwa semua orang yang ada di sekitarnya mampu memberikan manfaat ataupun mudharat. Upayanya secara dzahir akan melahirkan sebuah keberhasilan, tanpa lagi menghiraukan Allah sebagai penentu sebenar-benarnya. Begitulah wahm membujuk manusia agar tidak lagi menjadikan Allah sebagai tempat kembali. Melainkan menjadikan sesama makhluk sebagai sandaran yang seakan menjadi penentu sebenar-benarnya. Inilah yang akhirnya menjadikan seseorang menjadi tamak. Serakah kepada orang lain. Serta menjadi penjilat sesama manusia demi mendapatkan keinginan nafsunya. Maka pantas bila sifat serakah akan membuat manusia menjadi hina sehina-hinanya.
Di dalam kitabnya al-Hikam al-Athaiyah, Syekh Ramadhan al-Buthi memberikan beberapa contoh kasus wahm yang menyandera manusia, diantaranya adalah kasus berikut.
Pertama, Zaid adalah seorang santri yang fokus belajar di pesantren. Dia mendalami berbagai disiplin ilmu agama, mulai dari yang paling dasar hingga yang mendalam. Tujuan Zaid jelas, agar dia bisa menjadi manusia yang paham agama Allah, serta bisa mengajak manusia lain ikut memahami ajaran agama dengan benar.
Lalu penyakit wahm muncul. Dia mulai berfikir seandainya dia terus menerus menjadi santri seperti ini, maka jalan rezeki akan buntu di depannya. Dia akan dicemooh oleh orang-orang. Dan dia akan sulit mendapatkan pendamping hidup di masa mendatang. Akhirnya Zaid berhenti menjadi santri, dia tidak lagi mendalami ilmu agama, serta keinginannya untuk berdakwah sirna begitu saja. Dia memilih untuk fokus bekerja demi mendapatkan apa yang dia angan-angankan.
Sifat wahm telah menjadikan Zaid serakah untuk mendapatkan dunia. Dia menjadi lupa bahwa orang-orang yang berkhidmat di dalam agama Allah telah mendapatkan jaminan kehidupan dunia. Dia terbujuk sehingga menyandarkan kehidupannya hanya kepada wahm yang sama sekali tidak mendasar.
Contoh kedua, Ahmad adalah seorang muslim yang hidup di Eropa atau Amerika. Dia bekerja di sana untuk mendapatkan harta yang halal. Tapi setiap kali bekerja, selalu ada yang mengingatkan bahwa pekerjaannya adalah pekerjaan haram. Pernah suatu ketika dia bekerja di supermarket. Dia diingatkan bahwa pekerjaannya haram. Karena supermarket itu menjual minuman keras secara terang-terangan. Dia pindah bekerja di restoran. Ada lagi yang mengingatkan bahwa pekerjaannya haram. Karena restoran itu menjual daging babi dan daging anjing. Dia pindah lagi bekerja di perbankan. Masih ada yang mengingatkan bahwa pekerjaannya di perbankan juga haram. Karena di dalamnya banyak terjadi transaksi riba.
Akhirnya wahm mulai datang menyerang. Bahkan seolah-olah dengan membawa nama agama. Bahwa fatwa ulama sekarang pekerjaan-pekerjaan tersebut telah diperbolehkan. Karena hukum memang berubah-ubah sesuai perubahan zaman. Lagi pula agama Islam adalah agama yang mudah. Bukan agama yang menyulitkan pemeluknya. Apabila kondisi darurat, maka semua itu diperbolehkan. Maka akhirnya Ahmad meneruskan semua pekerjaan haramnya. Dengan berlandaskan wahm yang sama sekali tidak berdasar. Padahal dia hanya serakah ingin memuaskan keinginan nafsunya belaka.
Contoh ketiga, seorang muslimah ingin menjalankan ajaran agamanya dengan baik dan maksimal. Dia memakai hijab dan niqab agar terhindar dari pandangan laki-laki yang bukan mahram. Tapi penyakit wahm juga mendatanginya. Berbagai angan-angan kosong mulai bermunculan. Kalau kamu memakai hijab dan niqab, bagaimana laki-laki bisa melihat wajahmu yang jelita? Bila mereka tidak bisa melihat wajahmu, bagaimana mungkin mereka akan datang untuk meminangmu? Apakah kamu mau hidup sendiri selamanya?
Maka apabila tidak lolos dari jeratan wahm, muslimah tadi akan melepaskan perhiasan terindahnya. Dia akan lupa bahwa semua jodoh ada di dalam genggaman kekuasaan Allah. Dia terperdaya dengan keserakahannya sehingga menyangka bahwa membuka hijab dan niqab adalah cara untuk menarik datangnya jodoh. Sungguh semua itu adalah alasan yang sangat tidak mendasar.
Dengan demikian, wahm adalah penyebab seseorang menjadi serakah. Dia menjadikan sesama manusia sebagai tujuan hidupnya. Berpaling dari Dzat yang paling pantas untuk dijadikan tempat berlabuhnya harapan. Dialah Allah yang Mahakuasa dan memberikan manfaat ataupun mudharat.
Setelah memberikan beberapa contoh wahm di atas, Syekh Said Ramadhan al-Buthi menambah sebuah kisah nyata yang beliau alami sendiri.
Beliau berkata: “Semenjak masih belia aku sudah dimondokkan di Madrasah Diniyah di Damaskus oleh ayahku. Beliau berkata kepadaku ketika pertama kali mengantarku ke madrasah: ‘Wahai anakku, seandainya aku tahu bahwa yang bisa menjadikanmu dekat kepada Allah adalah memungut sampah di jalanan, maka pasti aku akan menjadikanmu seorang pemulung sampah. Tapi setelah aku melihat, ternyata jalan yang bisa membuatmu dekat kepada Allah adalah dengan ilmu agama, maka aku membawamu ke tempat ini.’
Setelah itu ayahku meminta agar aku berjanji, bahwa tujuanku belajar di tempat itu bukan untuk ijazah ataupun pekerjaan. Serta menerima berapapun rezeki yang aku dapatkan, dan seperti apapun kegiatan yang harus aku jalani.
Di waktu bersamaan, aku memiliki beberapa teman seusiaku. Mereka semua menempuh pendidikan umum. Sebagaimana lazimnya, tujuan utama mereka adalah untuk mendapatkan ijazah dan pekerjaan. Banyak diantara mereka yang menasehatiku dengan pendidikan yang aku tempuh. Bahkan tidak jarang di antara mereka yang menakut-nakutiku. Kalau kamu mondok, kamu tidak akan mendapatkan pekerjaan dan fakir. Bahkan ada salah satu di antara mereka yang mengatakan, pendidikan kamu sekarang hanya akan membuat kamu menjadi tukang memandikan mayat atau mengadzani jenazah.
Seharusnya, seandainya Allah tidak menjagaku, aku akan menerima wahm yang disampaikan oleh teman-temanku. Semua yang mereka katakan sangat masuk ke dalam pikiranku. Akan tetapi, bihamdillah, Allah menjagaku agar aku tetap patuh mengikuti apa yang ayahku katakan.”
Begitulah wahm banyak membisikkan angan-angan hampa kepada manusia. Dan tiadalah penuntun yang paling lihai membawa kepada kehinaan, selain wahm yang juga akan hinggap kepadamu.
Wallahu a’lam.