Pada masa Rasulullah saw, terdapat seorang sahabat bernama Abu Dujanah. Setiap usai menjalankan ibadah shalat berjamaah shubuh bersama Nabi, Abu Dujanah selalu tidak sabar. Ia terburu-buru pulang tanpa menunggu pembacaan doa yang dipanjatkan Rasulullah selesai. Pada satu kesempatan, Rasulullah mencoba meminta klarifikasi pada pria tersebut.

Abu Dujanah menjelaskan kenapa dirinya selalu terburu pulang, sehabis berjamaah Shubuh. Ia menjelaskan kepada Rasulullah saw bahwa rumahnya berdampingan dengan rumah seorang laki-laki. Di pekarang tetangganya terdapat satu pohon kurma yang menjulang ke rumahnya. Setiap kali ada angina bertiup pada malam hari, buah kurma tetangganya tersebut berjatuhan ke rumahnya.

Abu Dujanah juga menjelaskan bahwa dirinya keluarga miskin. Anaknya sering kelaparan, sehingga apa pun yang di dapat mereka makan. Karena itu, setelah shalat Subuh, ia bergegas pulang, sebelum anak-anaknya bangun. Ia kumpulkan kurma-kurma yang jatuh dan diantar ke tetangganya.

Satu saat, Abu Dujanah agak terlambat pulang. Salah satu anaknya terlanjur makan kurma hasil temuan. Ia menyaksikan, anaknya sedang mengunyah kurma basah di dalam mulutnya. Sang anak habis memungut kurma yang telah jatuh di rumah kami semalam.

Mengetahui itu, jari-jari tangannya ia masukkan ke mulut sang anak. Ia keluarkan apa pun yang ada di sana. Ia katakan, ‘Nak, janganlah kau permalukan ayahmu ini di akhirat kelak.’ Anaknya menangis, kedua pasang kelopak matanya mengalirkan air karena sangat kelaparan.  Ia menyampaikan pada Nabi, “Wahai Baginda Nabi, saya katakan kepada anakku, ‘Hingga nyawamu lepas pun, aku tidak akan rela meninggalkan harta haram dalam perutmu. Seluruh isi perut yang haram itu, akan aku keluarkan dan akan aku kembalikan bersama kurma-kurma yang lain kepada pemiliknya yang berhak’.” 

Mendengar cerita Abu Dujanah, pandangan Rasulullah sontak berkaca-kaca. Butiran air mata mulianya berderai begitu deras. Rasulullah akhirnya memanggil lelaki pemilik kurma, dan ternyata seorang munafik. Rasulullah bermaksud membelinya dengan pohon kurma dari zamrud, disirami emas dan tangkainya putih di akhirat. Pemilik kurma menjawab, “Saya tak pernah berdagang dengan memakai sistem jatuh tempo. Saya tidak mau menjual apa pun kecuali dengan uang kontan dan tidak pakai janji kapan-kapan.” 

Tiba-tiba Abu Bakar as-Shiddiq datang. Lantas berkata, “Ya sudah, aku beli dengan sepuluh kali lipat dari tumbuhan kurma milik Pak Fulan yang jenisnya tidak ada di kota ini.”  Si munafik berkata kegirangan, “Oke, ya sudah, aku jual.” Abu Bakar menyahut, “Bagus, aku beli.” Setelah sepakat, Abu Bakar menyerahkan pohon kurma kepada Abu Dujanah seketika.  Rasulullah kemudian bersabda, “Hai Abu Bakar, aku yang menanggung gantinya untukmu.”Mendengar sabda Nabi ini, Abu Bakar bergembira bukan main. Begitu pula Abu Dujanah.

Pemilik kurma pulang dan menemui isterinya. Menceritakan bahwa dirinya mendapat untung dengan sepuluh kurma yang lebih bagus, padahal kurma yang ia jual masih tetap berada di pekarangan rumahnya. Ia bermaksud, akan memakannya lebih dahulu dan buah-buahnya pun tidak akan pernah diberikan pada tetangga.

Pagi ia harinya, ia terkejut. Tiba-tiba pohon kurma yang ia jual berpindah posisi, berada di atas tanah milik Abu Dujanah. Tak sekalipun tampak pohon tersebut tumbuh di atas tanahnya. Tempat asal pohon itu tumbuh, rata dengan tanah. Ia keheranan tiada tara. 

***

Kisah ini ditulis oleh Syaikh Abu Bakr Syaththa dalam kitab I’anah ath-Thabilin-nya (3:293). Tergambar jelas, keimanan yang kuat dari seorang ayah demikian menjaga kuat penjagaan terhadap anak-anaknya agar terhindar dari api neraka. Kehati-hatian sahabat Rasulullah dalam menjaga diri dan keuarganya dari makanan harta haram. Dalam sebuah ayat dijelaskan:

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارًا الاية

“Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (at-Tahrim:6)

Dalam agama, ayah memiliki tanggung jawab terhadap nafkah keluarga. Anak sebagai amanah menjadi tanggung jawab untuk dididik, tidak sekedar memberinya makan agar sehat. Hal terpenting adalah selain kualitas makanan bergizi, status kehalanan menjadi penting diperhatikan.

Seringkali kita mendengar sebuah ungkapan, “Mencari yang haram saja susah, apalagi mencari yang halal”. Seolah-olah dengan ungkapan tersebut melegalkan untuk mendapatkan makanan yang haram. Tapi begitulah kondisi kehidupan duniawi saat ini; banyak orang jungkir-balik bekerja dan mengumpulkan harta, meski harus mengambil dan mendapatkan makanan haram yang sangat dilarang oleh agama.

Sesulit apa pun, seberat apa pun hidup, seseorang tidak boleh memberikan makanan untuk dirinya sendiri dan keluarganya dari barang haram. Banyak dalil yang menjelaskan bagaimana pengaruh makanan haram, bukan hanya pada kesehatan tubuh, tapi juga efek berupa kepribadian yang muncul.

Pengaruh makanan haram dan halal terhadap mental anak, memang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Akan tetapi, bisa dirasakan bahwa nafkah yang diberikan pada anak melalui pekerjaan yang tidak diridhai Allah dapat meracuni mentalnya. Bisa mungkin, darah yang dihasilkan dari makanan haram tersebut mengalir di tubuhnya dan membuat ia terus gelisah. Kegelisahan itulah yang kemudian berujung pada pelampiasan dan menjerumuskan sang anak pada pekerjaan dosa.

Setiap orang tua, pasti menginginkan anaknya tumbuh dengan sehat, baik jasmani maupun rohani. Sehat jasmani saja, jelas tidak akan membahagiakan, karena sehat rohani memiliki efek luar biasa pada akhlak dan moral anak. Makanan dan minuman hasil nafkah haram sangat berpengaruh dalam kehidupan seorang, bahkan untuk kehidupan akhiratnya setelah kematian. Dalam sebuah riwayat Ibn Hibban dari Abu Bakr Ash Shiddiq ra, beliau berkata:

مَنْ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ السُّحْتِ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Siapa yang dagingnya tumbuh dari pekerjaan yang tidak halal, maka neraka pantas untuknya.” (HR. Ibnu Hibban dan al-Hakim)

Dalam hal ini, peran ayah yang berkewajiban untuk memberi nafkah pada keluarga sangat penting dalam menyortir segala rezeki yang didapat. Ayah, yang menjadi sumber ekonomi keluarga tidak boleh memikirkan bagaimana keluarganya kenyang dan bahagia atas harta yang melimpah. Melainkan pula memikirkan, apakah pekerjaan yang telah ia lakukan legal dalam agama sehingga berkualitas halal?

Seorang ayah harus benar-benar menjamin bahwa makanan anak seratus persen halal, karena sedikit saja tercampur dengan yang haram maka anak akan merasakan akibat buruknya. Darah yang mengalir dan daging yang tumbuh di tubuhnya terkontaminasi, terbentuk dari zat haram sehingga menutup rahmat Allah.

Jika demikian, kewajiban orang tua tidak sebatas memberikan makan, bimbingan berikut fasilitas lainnya pada kepada keluarga. Ada hak anak yang wajib diperhatikan oleh orang tua, terkait dengan makanan yang diberikan. Perhatikan, bagaimana sahabat Abu Dujanah menjaga anak-anaknya dari makanan haram yang membuat Rasulullah meneteskan ari mata.

Spread the love