Dijelaskan dalam kitab Huququl-Mar’ah wa Wajibatuha fi Dhau’il-Kitab was-Sunnah, “Jika rasa malu yang terdapat dalam diri laki-laki dinilai baik, maka akan lebih baik lagi jika ia terdapat dalam diri perempuan. Jika rasa malu dinilai memiliki keutamaan dalam diri laki-laki, maka sesungguhnya ia lebih utama jika terdapat dalam diri perempuan. Karena rasa malu itu akan memberikan tambahan perhiasan dan keindahan bagi perempuan. Menjadikannya lebih dicintai dan disukai.

Ciri-ciri kebaikan dalam diri perempuan adalah rasa malu. Ciri-ciri keburukan dalam diri mereka adalah hilangnya rasa malu. Rasa malu merupakan pelindung keutamaan yang selalu siaga. Ia adalah penjaga yang bisa dipercaya. Ia tidak akan membiarkan siapa pun untuk merusak kehormatan wanita. Ia yang menghalangi keburukan dan menggantinya dengan keutamaan.

Wajah yang dihias dengan rasa malu bagaikan intan permata yang tersimpan rapi dibingkai kaca. Perempuan tidak akan menemukan perhiasan yang lebih indah dan memukau daripada rasa malu. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah ﷺ, “Tak ada sesuatu pun yang bisa dilakukan oleh sifat malu kecuali ia akan menghiasinya.”

Salah satu indikator sifat malu pada wanita Muslimah adalah memakai jilbab. Jilbab dan rasa malu terdapat keserasian dan keduanya tak bisa dipisahkan. Keduanya bagaikan dua mata uang yang tak bisa dipisahkan satu sama lain.

Imam Baihaqi menerangkan sifat maludalam kitabnya Syu’abul-Iman. Beliau memasukkan pembahasan jilbab perempuan ke dalam bab malu (babul-haya). Hal ini pertanda bahwa adanya hubungan yang lazim di antara jilbab dan rasa malu pada wanita.

Kecenderungan perempuan untuk menutup badannya merupakan perilaku yang alami dan mulia. Kecenderungan ini sesuai dengan perasaan malu yang mereka miliki, sebagai tameng dari perbuatan yang tidak sopan dan bebas tanpa batas.

Diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah, “Aku sering masuk ke dalam rumah dengan melepas pakaianku, padahal Rasulullah dan Abu Bakar dimakamkan di dalamnya. Karena sesungguhnya dia adalah suami dan ayahku sendiri. Ketika Umar dimakamkan di tempat yang sama, demi Allah aku tidak pernah masuk ke dalamnya kecuali jika aku tertutup rapat dengan mengenakan pakaian, karena merasa malu kepada Umar.”

Dalam cerita ini, terdapat bukti nyata rasa malu yang dimiliki Sayyidah Aisyah terhadap orang yang telah meninggal dunia, maka bagaimana rasa malu beliau terhadap mereka yang masih hidup?

Renungkanlah apa yang diriwayatkan dari Ummu Ja’far binti Muhammad bin Ja’far. Beliau berkata, “Sesungguhnya Fatimah binti Rasulullah pernah berkata, Wahai Asma’, aku sungguh memandang buruk apa yang dilakukan terhadap para wanita saat mereka meninggal dan diletakkan di atas keranda. Mereka ditutup hanya dengan pakaian yang bisa menampakkan bentuk tubuhnya.”

Lalu Asma’ menjawab, ”Wahai putri Rasulullah, bolehkah aku memberitahu kepadamu tentang sesuatu yang aku lihat di Habasyah? Lalu Asma mengambil beberapa pelepah kurma yang masih basah dan merangkainya (melipatnya). Kemudian dia meletakkan pakaian di atasnya. Fatimah berkata, “Betapa indah dan bagusnya karyamu ini. Dengan ini jasad wanita bisa dibedakan dari laki-laki.”

Bayangkan! Bagamana darah daging Baginda Nabi sangat memandang rendah kain kafan yang bisa menampakkan bentuk tubuh perempuan yang sudah meninggal. Maka sudah tak diragukan lagi, bahwa pakaian yang bisa menampakkan bentuk tubuh wanita pada saat hidup akan lebih hina dan buruk. Begitu juga seharusnya para wanita merasa malu.

Farj bin Fadhalah meriwayatkan dari Abdul Khabir bin Tsabit bin Qais bin Syammas, dari ayahnya dari kakeknya. Dia bercerita: “Suatu ketika ada seorang perempuan bercadar yang datang kepada Nabi, namanya adalah Ummu Khallad. Dia menanyakan tentang anaknya yang terbunuh dalam perang. Sebagian sahabat berkata kepadanya, “Kamu datang untuk menanyakan anakmu sedangkan kamu adalah wanita yang bercadar?” Dia menjawab: “Aku bisa saja kehilangan putraku tapi aku tidak boleh kehilangan rasa maluku.” Lalu Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya anakmu mendapatkan dua pahala dari orang yang mati syahid.” Dia bertanya, “Mengapa bisa begitu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Karena dia dibunuh oleh Ahli Kitab.” (HR Abu Dawud)

Melepaskan diri dari sifat malu merupakan kehancuran dan kemerosotan harga diri dari satu tingkat ke tingkat yang lebih rendah. Sampai-sampai manusia menjadi orang yang bermuka badak, kehilangan akhlak, suka melakukan hal yang dilarang oleh ajaran agama dan tidak memedulikan hal yang diharamkan.

Tentu saja, di sana terdapat hubungan yang lazim antara menutup aurat yang diwajibkan oleh Allah dan ketakwaan. Keduanya merupakan pakaian bagi manusia. Takwa bisa menutupi aurat batin dan menghiasinya. Sedangkan rasa malu bisa menutupi aurat zahir dan juga menghiasinya. Kedua hal itu akan selalu beriringan dan saling melengkapi.

Di antara tanda bahwa seseorang itu takut dan malu kepada Allah ﷻ adalah anggapan buruknya terhadap perbuatan membuka aurat atau perasaan malunya untuk membuka aurat. Allah ﷻ berfirman: “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang baik. (QS. al-A’raf [7] 26)

Wahab bin Munabbih berpendapat, “Iman itu diumpamakan dengan sesuatu yang masih telanjang. Pakaiannya adalah takwa, perhiasannya adalah sifat malu dan hartanya adalah iffah (menjaga diri). Oleh karena itu, manusia harus memperhatikan, menjaga dan memeliharanya agar tidak hilang begitu saja. Jika rasa malu berhasil dijaga, maka menjaga dan menyelamatkan fitrah manusia dari noda dan penyimpangan akan mudah diwujudkan. Karena di dalam penyimpangan fitrah itu terdapat noda yang bisa mengotori naluri manusia.

                                                                                Dede Febiyan Hidayat/sidogiri

Spread the love