Entah, berapa banyak mata sayu saya menemukan puisi-puisi tentang ibu yang dimuat di majalah, buletin, maupun antologi puisi. Bahkan dulu, saya masih ingat, saat mengikuti lomba puisi, teman-teman saya rata-rata memuisikan tema tentang ibu, berbeda dengan saya, karena waktu itu saya menembangkan puisi bertajuk, Kala Malam Kian Dalam, puisi dari ibu saya sendiri yang entah apa maksudnya. Heh!

Lalu saat ini, kira-kira satu windu lebih sedikit setelah itu, saya memungut sebuah kesimpulan, bahwa ibu itu sangat berarti dalam kehidupan seorang anak. Entah cara pandang ini terburu-buru atau tidak, mengingat saya hanya melakukan survey dari dominasi puisi tentang ibu, tanpa menanyakan kepada masing-masing penyair, “Kamu ikhlas gak baca puisinya?”

Namun tidak apa-apa, toh ketika saya pelajari kitab-kitab hadis, Nabi memang menyampaikan “Ummuka” sebanyak tiga kali saat salah seorang shahabat bertanya, “Siapa yang paling pantas aku berbakti kepadanya?” (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim)

***

Mengingat pentingnya ibu dari hadis tadi, para Muslimah juga harus berangan saat seorang ibu masih bukan ibu; dia masih anak-anak seperti anaknya saat ini; masih anak kecil, perlu bimbingan; saat dia masih perlu belajar menjadi seorang ibu.

Baca Juga: Ibu Jadi rebutan hingga Saling Serah

Nabi tidak akan pernah salah dalam menilai sesuatu, apalagi mengenai pentingnya peran seorang “ibu”. Justru kader-kader ibu itulah yang kadang salah dalam menilai dan memaknai hadis tersebut. Seorang Muslimah tidak lantas pantas disebut seorang ibu yang baik, jika perjalanannya mencari sifat keibuan berada pada jalur yang tidak baik, sehingga memproduksi anak yang tidak baik pula.

Memang secara makna, hadis ini mengingatkan para anak untuk senantiasa berbakti kepada ibunya. Namun jika kita perhatikan, ada sebuah kelaziman, sebenarnya, bahwa seorang ibu juga dituntut untuk mengidamkan anak yang berbakti kepadanya. Yang jelas, bukan dengan cara duduk manis di depan televisi, lalu anaknya datang menciumi tangan dan kakinya, melainkan mendidik anaknya agar bisa menjadi anak yang berbakti. Nah, pendidikan yang baik bagi mereka berawal dari pendidikan baik para ibu saat masih menyandang status “calon ibu”.

Apakah kalian mengenal Ahmad Syauqi, pujangga Kairo Mesir yang dijuluki “presiden para pujangga” yang wafat tahun 1351 H? Dia mengatakan seperti ini:

الاُمُّ مَدْرَسَةٌ اِذَا أَعْدَدْتَهَا أَعْدَدْتَ جَيْلًا طَيِّبَ الاَعْرَاقِ

“Ibu adalah sekolah. Jika engkau menyiapkan generasi ibu dengan baik, berarti engkau menyiapkan generasi yang berkarakter mulia.”

Realitanya, para ulama, khususnya di Indonesia telah melakukan persiapan itu. Di Indonesia, jika pergi ke salah satu pondok pesantren putra, banyak kita temukan pondok putri di sebelahnya dengan sekat tembok yang begitu tebal dengan segenap penjagaan ketat. Ada juga kiai yang hanya fokus memangku pesantren putri. Ini membuktikan kepedulian para ulama dalam mempersiapkan calon-calon ibu yang baik, yang nantinya akan melahirkan generasi-generasi baik pula.

Pertanyaan besarnya, kira-kira, apakah usaha para ulama itu telah diimbangi dengan usaha para Muslimah?

Para Muslimah tentunya sering mendengar hadis Rasulullah berikut:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ

“Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah.” (HR Imam Ibnu Abdil Bar)

Sedangkan realita di masyarakat, terlebih di desa-desa, pemudi-pemudi dimondokkan hanya untuk menunggu calon suaminya yang juga mondok, atau pada awalnya dia sudah berniat mondok, hanya saja dipertengahan jalan dipinang seorang pemuda, akhirnya putus juga pendidikannya. Mondok tidak lama, keagamaannya masih cabai-cabaian. Atau ada yang pendidikannya lama, tetapi terbatas dalam urusan duniawi. Masuk di perguruan tinggi, intelektualitasnya baik, namun nuraninya buruk. Ini hukum aghlabiyah, tanpa menafikan para Muslimah yang sudah berhasil mendapatkan title sarjana “salihah”-nya.

Baca Juga: Surga Dibuat Untuk Semua?

Almaghfurlah KH. Maimoen Zubier pernah menyampaikan bahwa lebih baik seorang Muslim mencari istri yang alim fikih ketimbang hafizah. Bukan berarti beliau mengatakan al-Quran kalah dengan ilmu fikih, tapi karena wanita nantinya akan menjadi ibu bagi anak-anaknya, sedangkan dia adalah madrasah pertama. Untuk mendidik seorang anak, tidak cukup dengan mengajarkannya ngaji saja, masih banyak hal-hal syar’i yang harus diajarkan kepada mereka.

Apa yang disampaikan beliau ini akan menjadi kabur jika dikaitkan dengan kenyataan sebagian Muslimah saat ini. Maka bersyukurlah bagi mereka yang saat ini sedang asyik menyelami ilmu agama di pondok pesantren. Bersiap diri menjadi ibu bagi umat-umat kecil Rasulullah, generasi penerus beliau yang akan memperjuangkan Islam.

Muslimah pasti tahu, dalam banyak hal, Allah lebih mengutamakan pria daripada wanita, semisal dalam masalah warisan, menjadi pemimpin, dan perang. Namun dalam mengurusi anak yang masih bocah (hadanah), Allah lebih memasrahkannya kepada wanita, dialah ibu. Termasuk hikmah yang disampaikan para ulama terkait hal ini adalah bahwa wanita adalah sumber kasih sayang, dia lebih mengedepankan perasaan dalam mendidik dan merawat anaknya. Dia tentu lebih bisa bersabar ketika melihat anaknya yang masih kecil terlihat menjengkelkan. Pasti dia dengan cepat menenangkan anaknya yang menangis dengan kelembutan. Berbeda dengan pria yang lebih memilih mata daripada hati.

Namun, apakah istilah madrasah pertama hanya sebatas permainan hati belaka, tanpa ada doktrin-doktrin agama yang dituangkan dalam konsep kasih sayang tersebut. Justru disinilah seorang calon ibu harus berpikir, asupan agama apa yang akan dia ajarkan kepada pendekar kecilnya. Jika dari awal sang ibu sudah sering memainkan nuraninya, yang ada malah anaknya menjadi anak mama: manja, bisa jadi demikian. Maka dari itu, perlu adanya pemadrasahan madrasah, agar seorang ibu tidak hanya memprioritaskan perasaan hatinya, tapi juga nurani agamanya.

Ifan Afandy/sidogiri

Spread the love