Seorang gadis menyewa sebuah rumah bersebelahan dengan kontrakan seorang ibu miskin dengan dua anak. Ia sering mengamati keseharian keluarga miskin tersebut, hingga suatu malam, tiba-tiba listik padam. Dengan bantuan cahaya handphone, gadis tersebut menuju dapur, bermaksud mencari lilin.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Ternyata, di depan pintu telah berdiri anak miskin sebelah rumahnya. Dengan terlihat wajah risau, anak tersebut bertanya, “Kak, ada lilin tidak?”
Mendapat pertanyaan tersebut, gadis itu berpikir dan terbesit di benaknya, “Jangan beri. Nanti kebiasaan untuk terus meminta.” Akhirnya, ia menjawab “Tidak ada”.
Justru mendengar jawaban itu, si anak terlihat riang. “Saya sudah menduga, Kakak tidak ada lilin. Ini ada dua lilin, saya bawakan untuk Kakak. Kami khawatir, karena Kakak tinggal sendirian dan tidak punya lilin.”
Ungkapan polos anak miskin tersebut, menuruk rasa dan getaran sanubarinya. Ia merasa bersalah, karena memberi penilaian buruk. Ia peluk anak miskin tersebut dengan penuh haru dan tetesan air mata.
***
Setiap orang pasti pernah menaruh curiga pada orang sekitarnya. Terlebih orang yang menjadi objek curiga memiliki rekam jejak yang memang patut dicurigai. Ada tanda-tanda kefasikan pada dirinya. Meski memahami bahwa berburuk sangka tidak boleh, pikiran itu terus saja muncul. Jika sekilas, bisa dimaklumi, bagaimana jika pikiran buruk sangka itu menjadi kebiasan?
Orang yang dalam hidupnya selalu diliputi rasa curiga dan buruk sangka, menandakan ada masalah pada pikiran dan pribadinya. Terlebih jika dugaan dan curiga menjadi tuduhan atau bahkan tudingan. Akibatnya, membuat orang lain menjadi korban kecurigaan sehingga merasa tidak nyaman. Ia pun tersiksa, karena dibelenggu oleh pikiran curiga.
Baca Juga:
Hal itu berawal dari sikap, apa pun yang dilihat diukur dengan pikirannya. Jika itu berlanjut, tentu saja akan menyiksa batin karena akan membuat larut pada rasa cemas, gelisah dan tidak tenang. Dalam penglihatan, semua orang terlihat seperti musuh yang harus diwaspadai, meskipun tidak sepenuhnya benar.
Hati yang dipenuhi oleh prasangka buruk, akan cenderung menampilkan ekspresi yang tak bersahabat pada orang yang dijumpai. Cenderung lebih sensian, mudah marah, membatasi diri dari pergaulan sehingga dampaknya bisa memperburuk hubungan pertemanan, karena orang lain tentu tidak akan merasa nyaman berada di dekat orang yang selalu berburuk sangka.
Dari itulah, Allah memerintahkan agar kita menjauhi kebanyakan berburuk sangka, karena sebagaian tindakan tersebut merupakan dosa.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-car kesalahan orang lain” [Al-Hujurat : 12]
Rasulullah juga mengingatkan agar mewaspadai berprasangka buruk. Dalam sebuah hadis disebutkan:
إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا
“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Pada ayat dan hadis ini, juga terdapat larangan berbuat tajassus. Tajassus ialah mencari-cari kesalahan atau kejelekan orang lain, yang biasanya merupakan efek dari prasangka yang buruk. Artinya, dimulai dari prasangka buruk melahirkan pada tajassus, dan bukan tidak mungkin kemudian muncul rasa dengki, iri dan kemudian saling membenci.
Baca Juga:
Bagaimana jika kemudian, prasangka buruk itu diterapkan pada tetangga? Tentu saja akan melahirkan ketidakrukunan dalam bertetangga. Apa pun yang dilakukan oleh tetangga, dicurigai, dicari kesalahan dan kekurangan, kemudian melahirkan iri dan dengki. Akibatnya, antar tetangga merasa tidak nyaman hidup bertetangga; tersiksa. Bukan oleh tetangga kita, tetapi oleh perasaan dan pikiran kita sendiri, karena kita sendiri yang buat, bukan orang lain.
Pelajaran dari kisah di atas, sang gadis yang curiga pada anak miskin. Melalui pikiran negatifnya, ia menyimpulkan sesuatu yang belum jelas. Dugaannya pun panjang, “kebiasaan meminta-minta”. Kenyatannya, apa yang dipikirkan berbeda dengan fakta. Jika prasangka buruk itu terus ia pelihara, akan membuat dirinya merasa kesepian, jiwanya hampa dan kosong. Merasa bahwa semua orang tidak ada yang mau mengerti dan peduli, padahal itu karena kebaikan seorang selalu dibaca buruk.
Itulah yang sering terjadi di lingkungan kita, hingga Rasulullah demikian kuat berpesan dalam menjalin hubungan bertetangga, sampai-sampai sikap terhadap tetangga dijadikan sebagai indikasi keimanan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan besar dan pentingnya kedudukan tetangga bagi seorang muslim sangatlah ditekankan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْـجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril senantiasa menasehatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta waris” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dua hadis ini, lebih dari cukup untuk menggambarkan tekanan penting menjaga hubungan dalam bertetangga. Tidak hanya sebagai indikator keimanan, penekanan wasiat Malaikat Jibril, menjadikan Nabi menduga akan turun syariat tetangga mendapat warisan.
Baca Juga:
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan bisa lepas dari orang-orang sekitarnya. Keluarga, kerabat dan tetangga menjadi orang yang paling dibutuhkan. Karena itu, mereka memiliki hak yang besar untuk diberikan, bahkan dalam Islam diatur distribusi zakat tidak boleh dipindah tempat, karena bisa menyebabkan tetangga yang berhak merasa tersisihkan.
Karena itu, bersikap baik pada mereka mutlak dijalankan. Dalam hal ini, Rasulullah juga bersabda:
خَيْرُ اْلأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ ، وَخَيْرُ الْـجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِـجَارِهِ
“Sahabat yang paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap sahabatnya. Tetangga yang paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap tetangganya” (HR. At Tirmidzi dan Abu Daud)
Sikap buruk pada tetangga diawali oleh prasangka buruk yang dilanjutkan dengan mencari kesalahan. Akhirnya, tetangga merasa tidak nyaman terus dicurigai, sementara kita merasa tidak nyaman selalu dirasuki rasa curiga. Demikian pula terjadi kebalikan. Pada akhirnya, keharmonisan bertetangga terganggu, dan selama kita masih memelihara pikiran negatif, kita akan sulit mendapatkan kebahagiaan.
Dari itu, wajib membuang segala hal yang dapat membuat kita merasa tidak tenang dan jauh dari rasa bahagia. Salah satunya, selalu berusaha berfikir positif dan selalu berprasangka baik pada siapapun, terlebih pada tetangga, sebab tetanggalah penolong pertama, saat kita terdesak dalam kesulitan yang tak terduga.