SIHIR PERSPEKTIF MAZHAB SYAFII
Sihir merupakan kemampuan supranatural yang identik dengan keburukan dan cenderung merepresentasikan sisi jahat manusia. Secara empiris, praktik sihir adakalanya dilakukan dengan ritual atau bacaan-bacaan tertentu, kadang pula menggunakan bahan-bahan khusus yang disusupkan pada objek yang menjadi target dan dapat memberikan dampak secara signifikan (Asnal-Mathâlib: IV/82). Dalam diskursus kitab kuning, dapat ditemukan uraian beragam dalam menilik positif-negatif sihir dari berbagai aspek, baik aspek substansial ataupun aspek ekstrinsik dari sihir itu sendiri.
Dalam al-Hushûn al-Hamîdiyah disebutkan bahwa para ulama pakar (muhaqqiqûn) itifak perihal mempelajari ilmu sihir bukanlah merupakan keburukan dan tidak dilarang. Akan tetapi yang dilarang dalam syariat adalah pengamalan ilmu sihir itu sendiri (Lihat, al-Hushûn al-Hamîdiyah lil-Muhâfadzah ‘alal-‘Aqâid al-Islâmiyah: 121). Sedangkan dalam Hâsyitâ Qulyûbî wa ‘Umairah disampaikan bahwa mengajarkan ilmu sihir adalah haram, kecuali menghasilkan manfaat atau untuk menolak mudarat. (Lihat, Hâsyitâ Qulyûbi wa ‘Umairah: IV/169).
Dalam az-Zawâjir Imam Ibnu Hajar al-Haitami menyitir pernyataan Imam al-Qurtubi mengenai sihir, apakah boleh meminta bantuan pengguna sihir untuk melawan ilmu sihir jahat ataupun sebagai media pengobatan? Imam al-Qurtubi menyampaikan bahwa Imam al-Bukhari pernah meriwayatkan dari Said bin Musayyab bahwa sedemikian itu diperbolehkan. Pendapat ini diamini oleh al-Marzuazi dan juga Asy-Sya’bi yang tidak mempermasalahkan perbuatan tersebut—Pendapat ini ditentang oleh al-Hasan al-Bashri dan yang lain (Lihat, az-Zawâjir ‘an Iqtirâfil-Kabâir: II/170).
Dari sintesis di atas, dapat ditarik benang merah terkait batas-batas positif-negatif sihir; mempelajari dan mengajarkan sihir, atau juga menggunakan jasa tukang sihir adalah buruk dan terlarang jika bertolak dari motivasi atau tujuan buruk, sebaliknya jika dilatarbelakangi kebaikan dan bertujuan positif, maka mempelajari sihir, mengajarkan, dan menggunakan jasa penyihir tidak lagi terlarang. Namun di sini perlu segera digarisbawahi bahwa mempelajari sihir, mengajarkan, dan menggunakan jasa tukang sihir tidaklah sama dengan mempraktikkan sihir. Dalam beberapa referensi semisal di atas yang memperbolehkan mempelajari dan mengajarkan sihir— dengan catatan terdapat maslahat atau menolak mudarat—bukan berarti melegalkan praktik sihir itu sendiri. Sebab, sebagai sebuah amaliah ‘gelap’, praktik sihir cenderung terstruktur dari materi yang tidak sesuai dengan ajaran syariat dan bahkan dapat merusak akidah sebagai pondasi dari prinsip keagamaan. Maka dari itu, sebagaimana maklum, mempraktikkan sesuatu yang menyalahi syariat adalah dilarang dalam aturan agama (haram). Bahkan, Asy-Syinqithi dalam kitab Adlwâ’ al-Bayân mengkategorikan pengguna sihir sebagai seorang kafir dengan menyitir al-Quran surah Thaha ayat 69:
وَلاَ يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى.
” Namun demikian, dalam Majmû’atu Rasâil Ibni ‘Âbidîn disebutkan bahwa praktik sihir tidak selalu berimplikasi pada kekafiran selagi tidak terdapat unsur yang dapat menyebabkan kekafiran dalam materi sihir itu sendiri, baik dari sisi ucapan (al-qaul), perbuatan (al-fi’il), ataupun keyakinan (al-i’tiqâd).
Memperkuat pendapat di atas yang mempertimbangkan maslahat-mudarat dalam menilik positif-negatif sihir, pernyataan Imam Fakhruddin yang menyebutkan bahwa sihir sebagai sebuah ilmu tidaklah buruk dan pula tidak terlarang. Sebab, hakikat sebuah ilmu secara umum adalah mulia. Dalam al-Quran disebutkan:
هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُون
Jika esensi dan mekanisme sihir tidak diketahui, maka potensi untuk membedakan sihir dan mukjizat (atau karamah) menjadi sukar. Ba’dhuhum juga menyampaikan bahwa wajib bagi seorang mufti mengetahui hakikat dan cara kerja sihir hingga si mufti bisa membedakan antara sihir yang memiliki potensi membunuh dan yang tidak. Hal ini berkaitan dengan ketetapan hukum kisas bagi seorang yang membunuh menggunakan sihir.
Namun demikian, pendapat yang ashah dalam Mazhab Syafii tidaklah mempertimbangkan maslahat-mudarat dalam menilai baik-buruk sihir. Mempelajari dan mengajarkan sihir adalah perbuatan fasik dan haram secara mutlak—meskipun dengan tujuan baik apalagi buruk. Haram pula melakukan praktik sihir dan dianggap fasik orang yang mengamalkannya sesuai ijmâ’ (konsensus) ulama. (Lihat, I’ânatuth-Thâlibîn: IV/122). Bahkan dalam kasus daf’ush-shâil (menolak serangan/ bahaya), adalah terlarang menggunakan instrumen sihir untuk melindungi diri atau orang lain, sebab secara esensial sihir adalah dilarang (haram) dalam syariat (Lihat, Tuhfatul-Muhtâj fî Syarhil-Minhâj: IX/238). Pendapat ini sekaligus menolak golongan yang menyitir riwayat Said bin Musayyab yang memperbolehkan menggunakan jasa tukang sihir untuk menolak serangan orang lain.
Bahkan dalam Asnal-Mathâlib disebutkan, orang yang meyakini boleh (mubah) melakukan praktik sihir dapat menyebabkan kekafiran. Dan apabila seseorang secara sengaja mempelajari atau mengajarkan sihir, maka haram dan menyebabkan dosa. Imam al-Haramain dan yang lain menyebutkan bahwa sihir tidak akan muncul kecuali dari seorang yang fasik sebagaimana karamah tidak akan terpancar kecuali dari seorang wali. Pernyataan tersebut tidaklah berdasarkan rasio namun secara empiri dan berdasarkan kesepakatan umat. Begitu juga haram menggunakan jasa penyihir berdasarkan nas sahih (Lihat, Asnal-Mathâlib fi Syarhi Raudhuth-Thâlib: IV/82; Hâsyiyatul-Jamal alal-Manhaj: X/146).
Kemudian terkait dengan hadis Imam al-Bukhari yang diriwayatkan dari Said bin Musayyab tentang bolehnya menggukan jasa sihir, telah ditolak oleh Imam al-Hasan al-Bashri, dan pendapat inilah (Imam al-Hasan al-Bashri) yang hak. Sebab, sihir adalah penyakit kotor yang dapat menjerumuskan pada keburukan dan membawa pada kehancuran (Lihat, I’ânatuth-Thâlibîn: IV/122). Sedangkan pendapat yang disampaikan oleh ba’dhuhum yang menyatakan bahwa mengetahui esensi dan dan implikasi sihir adalah wajib bagi seorang mufti adalah tidak benar (ghairu shahîh), sebab, fatwa seorang mufti tentang wajibnya kisas bagi seorang yang membunuh menggunakan sihir tidaklah harus mengetahui esensi sihir itu sendiri. Sebagai gambaran, seorang mufti bisa mengetahui hal tersebut melalui dua orang âdil yang mengetahui hal ihwal sihir (yang sudah bertaubat dari dunia sihir), apakah sihir yang digunakan si pembunuh secara galib bisa membunuh atau tidak. Atau bisa pula menanyakan kepada si pembunuh itu sendiri, apakah sihir yang ia gunakan berdampak membunuh atau tidak.
Begitu juga dengan pembedaan antara mukjizat (atau karamah) dan sihir tidaklah harus mengetahui esensi dari sihir itu sendiri. Sebab, mayoritas ulama (aktsarul-‘ulamâ’) bisa membedakan manakah yang masuk kategori mukjizat (atau karamah) dan mana yang tergolong sihir tanpa mengetahui esensi sihir. Cukuplah membedakan antara sihir dan mukjizat (atau karamah) bahwa mukjizat (atau karamah) eksistensinya muncul dari seorang yang saleh dan taat pada aturan syariat, sedangkan sihir muncul dari seorang yang fasik dan cenderung melanggar aturan syariat. Wallahu a’lam.
M Romzi Khalik/sidogiri
Baca juga: Hubungan Sihir dan Yahudi
Baca juga: Solusi Melawan Sumpah Iblis
Baca juga: Sihir Bola VS Spirit Ramadhan