Jika ada kata yang saat ini sedang ngetrend diulang-ulang dalam setiap kesempatan dan pembicaraan, maka ia adalah kata “narasi” atau “narasi politik”, sebab memang hari-hari belakangan ini ia cenderung digunakan dalam diskursus perpolitikan kita, yang tentu saja tensinya terus meninggi.
Membaca narasi politik yang berseliweran di sana sini dan menyesaki telinga kita setiap hari, apakah itu di televisi, dunia online maupun offline, tentunya membikin kita bisa mengukur banyak hal dalam diri bangsa dan umat ini, dalam kedewasaan berpolitik, kecerdasan individu dan kolektif, termasuk dalam hal keberagamaan, karakter relasi sosial dan bahkan kepribadian mereka.
Namun bagaimanapun, dengan pengamatan sekilas, akan segera tampak di hadapan kita bahwa narasi politik kita masih lebih didominasi oleh unsur-unsur negatif ketimbang unsur-unsur yang positif. Jangankan dalam ruang lingkup yang terbatas semacam di sosial media, bahkan dalam diskusi-diskusi politik yang eksklusif sekalipun, seperti kita saksikan pada sejumlah program stasiun televisi, narasi-narasi politik negatif masih menjadi warna yang cukup dominan.
Adalah benar bahwa medan politik adalah ajang untuk memperjuangkan kepentingan, akan tetapi aturan legal-formal dan kode etik yang telah disepakati dan dipahami oleh setiap pihak yang memperebutkan kue kekuasaan itu, menjadi syarat mutlak untuk mencapai sesuatu yang lebih besar ketimbang kekuasaan itu sendiri, yakni kedewasaan suatu bangsa, kecerdasan, sportifitas, dan komitmen untuk membangun bangsa menuju capaian yang lebih besar lagi, yakni bangsa yang bermartabat dan berperadaban luhur.
Di sinilah kita melihat, kenapa pertarungan atau kompetisi di dunia olahraga di dunia modern kita kini telah berhasil menyumbangkan sesuatu yang jauh lebih besar ketimbang memperjuangkan kepentingan dan perebutan gelar, yakni mampu menjadi penanda bagi identitas suatu bangsa, apakah ia bangsa yang beradab atau tidak, apakah ia berjiwa besar atau bermental kerdil, dan seterusnya.
Bahkan dalam banyak momentum, olahraga menjadi perekat yang mampu menyatukan unsur-unsur bangsa yang sebelumnya diretakkan oleh kepentingan dan pertarungan politik.
Sebabnya karena meskipun olahraga adalah pertarungan dan kompetisi untuk memperjuangkan kepentingan subjektif, namun setiap orang yang terlibat di dalamnya, mulai dari panitia penyelenggara, pemain, hingga fans dan penonton, bisa mengikuti aturan main yang ditetapkan di masing-masing lini, serta berhasil menihilkan narasi-narasi negatif yang bisa merusak sikap sportifitas dan respek terhadap kubu lawan.
Baca juga: Konflik Politik di Sosial Media
Jika seandainya dunia olahraga sarat dengan narasi-narasi negatif, seperti saling ejek dan bully, caci-maki, tebar hoax, merendahkan pihak lain, rasis, curang dan main kotor, tentu dampak yang diberikannya tak akan sebagus yang kita lihat saat ini. Dan boleh jadi, ‘sumbangsih’ yang diberikan malah kerumitan, kekacauan, dan kerusakan belaka, sebagaimana masalah yang menimpa sepak bola Nasional kita beberapa tahun yang lalu.
Jadi, membangun narasi politik yang positif, sebetulnya adalah langkah awal dari membangun bangsa yang bermartabat.
Moh. Achyat Ahmad/sidogiri